Review Perjalanan Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag
Lancar.
Kamis 2/3 pkl 21:00 tiba di USA, dan besok 3/3 khutbah Jum'at di Houston.
___________________________________________
Jum'at
Subuh 3/3 sebagai muadzin di Masjid Madinah, komplek Fitness Centre Houston
________________________________________________
Khutbah
Di Istiqlal Houston, "kami tidak dilahirkan untuk manusia, Muslim dan
non" (QS. 3:110)
________________________________________________
Tks,
doa Anda luar biasa. Jazakumullah. Cucu sy ke 5 (pr) lahir di Amsterdam (3/3).
Workshop
"Terapi Sholat Bahagia" Session 3 of 4
Instruktur: Prof. Dr. Moh Ali Aziz
Masjid Istiqlal Houston, 5 Maret, 2017
LKII ICMI-NA
Instruktur: Prof. Dr. Moh Ali Aziz
Masjid Istiqlal Houston, 5 Maret, 2017
LKII ICMI-NA
___________________________________________
Bacaan
Al Qur'an saya banyak salah dan dibetulkan oleh Imam MASJID AL AQSHA,
Jerussalem: Syekh Ali Al Abbasi.
English Version "Terapi Sholat Bahagia", Session 4 of 4
The Last Session: Summary & Practice
Instructor: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag
Masjid Istiqlal Houston, March 5, 2017
LKII ICMI-NA
The Last Session: Summary & Practice
Instructor: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag
Masjid Istiqlal Houston, March 5, 2017
LKII ICMI-NA
Di Houston, ada sekitar 165 masjid. 75 di antaranya seluas
rata-rata 3 hektar, termasuk Masjid Istiqlal atas swadaya masyarakat Indonesia.
Saya terkagum melihat Masjid Hamza dengan aula besar, gedung pemandian dan
perawatan jenazah, dsb. Dalam perjalanan menuju tempat Training Terapi Shalat
Bahagia, eh eh ternyata oleh Pak Munir, sesepuh muslim Houston, saya diajak
masuk ke halaman Masjid Maryam yang jauh lebih luas (kira-kira lima hektar)
dengan lembaga pendidikan Islam yang megah dan halaman parkir seluas stadion
sepak bola.
________________________________________________
"God
bless you," itulah etika orang Amerika setiap mendengar orang bersin.
You??
___________________________________________
Selasa (7/3) diminta sebagai selingan mengajar baca Al Qur'an di
Iman Academy, Texas, sekolah Islam seluas 10 hektar, dengan 1 lapangan
sepakbola, dua lapangan basket untuk putra/putri, dan 10 gedung berdiri gagah
dan mewah di tengah lokasi. Video kegiatan ini akan diupload menyusul.
Rabo (8/3) pukul 13.00 atau Kamis (9/3) pkl 02.00 WIB terbang ke
Chicago untuk Training Terapi Shalat Bahagia berikutnya dengan persiapan jaket,
kaos baju rangkap, celana dan celana monyet, karena udara tiga kali lipat dari
Houston.
________________________________________________
RESEARCH PAPER
Usai shalat
shubuh (8/3) di Masjid Al Huda milik komunitas Pakistan, Pak Joko Supriyanto,
salah satu tokoh senior ICMI Chicago menjelaskan bahwa di Milwoukee Chicago,
ada SD Salam dalam Komplek Masjid ISM (Islamic Society of Milwoukee). Siswa
kelas tiga SD, termasuk putranya, Fawaz paling sedikit semingggu sekali melakukan
riset apa saja dan membuat laporan tertulis. Pembuat laporan dan alat peraganya
yang terbaik, serta presentasi di depan kelas yang jelas dan mudah dipaham
teman-teman sekelas akan diberi Bintang (mumtaz) oleh sang guru. Sebulan
sekali, mereka juga diminta melakukan field trip di ladang pertanian, gereja,
kebun binatang dsb lalu membuat laporan dan presentasi yang sama. Di rumah
beliau, saya melihat bekas dos televisi ukuran 1x 05 m yang penuh dengan
tempelan gambar-gambar dan kutipan dari ilmuwan dengan judul Contribution of
Islamic Civilization in Tanzania, karya ananda Fawaz.
Beleive it or
not. Saya bertemu langsung dengan Fawaz dan mebolak-balik doz untuk alat peraga
presentasi itu.
Saat itulah, saya teringat bahwa saya harus
segera menulis komentar yang diminta oleh Prof Muzakki untuk bukunya yang baru
tentang Inspiring Education yang kemudian disingkat Eduspiring. Sepulang dari
Chicago, saya harus melakukan sesuatu yang baru dalam pengajaran di semua
jenjang pendidikan dimana saya terlibat di dalamnya, khusunya untuk
mahasiswa-mahasiswa saya terkasih, sebagai calon ilmuwan dan ulama kelas dunia
kelak. Saya yakin mereka memiliki potensi untuk itu.
__________________________________________________________________
"Sakit
apa di kepalamu, sehingga harus ditutup begitu?" tanya American pada Bunda
Yanuar, muslimah Indonesia pekerja restoran tentang jilbabnya di Chicago
beberapa tahun silam. Baru menganggukkan kepala, "Oh..I see" setelah
diberi penjelasan.
Research on
Tempe
Setelah
diteliti mahasiswa Indonesia di Chicago, ragi terbaik dari Brazil, dan kedelai
dari AS. Hasil eksperimen dengan menghilangkan sejumlah bakteri: rasanya
lekker-lezat dan bisa disimpan selama 6 bulan dalam kulkas. Ia makanan elit dan
harus sabar menunggu antri pesanan. The price? Ha ha it is more expensive than
beef.
One theme of
Training Salat as Key of Happiness (Chicago, Fri 10/3): Work hard at daylight,
and do long sujud at a quiet night. By prostraiting comprehensively, remove the
grief and reach stars in the sky (moh ali aziz)
Satu tema pelatihan shalat sebagai kunci dari kebahagiaan (Chicago,
Jumat 10/3): bekerja keras di siang hari, dan melakukan sujud yang panjang di
malam yang tenang. Oleh yang prostraiting, menghapus kesedihan dan jangkau bintang
di langit (Moh Ali Aziz)
THE HUMBLE AND
SMART IMAM
(Chicago, Juma't (10/3).
Betapa akrabnya Imam Masjid Al Huda di Chicago ini, Syekh Sa'ad
Quwadry. Sebelum takbir, seorang di belakangnya bertanya, "Agak sakit
ya?" Ia menoleh lalu ngobrol sejenak, dan baru memulai shalat. Usai
shalat, tanpa zikir apapun, dan tanpa salam pembuka, ia mengangkat papan kecil
bertuliskan doa bebas kesedihan dalam teks Arab dengan terjemah Inggris di
bawahnya untuk dibaca bersama-sama. Cara itu dilakukan beberapa hari sampai
semua orang hafal. Di tengah ceramah yang tanpa didahului protokol apapun itu,
ia sempat berdiskusi dengan seorang jamaah dengan senyum yang menambah kesantunannya,
sekalipun jenggotnya lebih dari 30 cm panjangnya.
Kajian subuh dengan kitab pegangan Riyadus Shalihin itu berlangsung
tidak lebih dari enam menit, termasuk tanya jawab. Ceramah ditutup tanpa salam,
hanya doa, "Hope, we take advantage of this speech."
Mengapa ia dicintai jamaah? (1) hafalan dan bacaan Al Qur'an beliau
yang luar biasa. Ia sengaja tidak melantunkan ayat dengan lagu yang
mendayu-dayu, semata-mata - menurut dugaan saya - untuk menjaga tajwid dan
makhraj serta keikhlasan, sehingga jamaah tidak akan terpukai hanya pada
lantunan, tapi pada isinya. (2) ia memenuhi harapan pengelola masjid,
sebagaimana keharusan semua imam di Chicago, yaitu kreatif dan menyatu dengan
jamaah serta akrab dengan semua anak-anak dan remaja. Ia terkenal ikut mengatur
parkir mobil, membersihakn WC, bermain basket dengan remaja (youth),
berlari-lari dengan anak-anak, dan ..ha ha juga mengajak camping mereka pada
musim panas. Setiap datang ke masjid, ia selalu memarkir mobilnya sangat jauh
dari masjid, agar pengunjung yang datang terlambat bisa mendapat parkir dengan
cepat dan mereka bisa shalat berjamaah. Jadi imam di sini tidak hanya dituntut
pandai dalam hafalan dan bacaan, tapi harus juga mampu sebagai mufti (pemberi
fatwa agama) serta kreatif, bagaimana menjadikan jamaah kerasan, khususnya
generasi mudanya. Menurutnya, "Children and youth are the future of Islam
in USA." Pak Joko Suprayitno yang mengajak kami ke masjid mengatakan,
"Anak-anak saya senang ke masjid ini karena sang imam yang akrab, bisa
mengambil hati semua anak, rendah hati, dan tidak gila hormat." Saya tidak
tahu, apakah ungkapan pekerja di General Electric America yang telah bekerja
lebih dari 15 tahun ini menyindir imam-imam di Indonesia termasuk saya atau
tidak. Tapi yang jelas, profil imam kelahiran Amerika dan alumni timur tengah
tersebut memacu saya untuk selalu belajar dari kehidupan untuk meningkatkan
kecerdasan intelektual dan emosional saya. Dalam mobil yang berheater menuju
pulang, saya teringat pesan Nabi SAW yang disampaikan dengan melonjorkan tangan
ke depan, lalu membalik telapak tangan dan mengangkatnya, "man tawadha'a
lillah rafa'ahullah." (Siapapun yang rendah hati semata-mata karena Allah,
pasti Allah akan mengangkat keimanan dan kemuliaannya).
Tak apalah tulisan ini terlalu panjang dan membosankan orang
membacanya, tapi biarlah saya baca sendiri berkali-kali dan berulang-ulang
sambil introspeksi. Jika Anda juga tertarik introspeksi, silakan juga
melakukannya bersama Imam Al Bushiry (You Tube: moh ali aziz, klik Burdah)
________________________________________________
BACK BITING
Inilah yang sangat dibenci orang Chicago. Back biting secara bahasa
berarti penggigitan dari belakang, yaitu membicarakan kekurangan orang kepada
orang lain, tidak mau menegur secara langsung. Hampir mirip dengan istilah
tersebut, Al Qur’an menyebut tindakan menyakitkan itu secara lebih ekstrim,
“ya’kul lahma akhihi mayta” (mengunyah daging mayat). Allah SWT berfirman, “Dan
janganlah kamu mencari-cari kejelekan orang, dan jangan (pula) menggunjing satu
sama lain. Apakah seorang di anatara kamu suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Pastilah kamu jijik (melakukan) kepadanya.” (QS. 49:12).
Mengapa tingkat back biting di Indonesia lebih tinggi daripada
Chicago? Jangan kaget, ini bukan hasil riset, tapi dugaan saya sendiri.
Pertama, budaya masyarakat Chicago yang bicara terus terang kepada orang yang
melakukan sesuatu yang tidak baik atau tidak disuka. Misalnya, “I don’t like
the way you do.” (Saya tidak suka cara Anda melakukan hal itu). Lalu
ditambahkan, “Menurut saya, sebaiknya, kamu begini….begini…” Dengan cara ini,
pengritik tidak lagi menyimpan sakit hati, dan penerima kritik segera mengetahui
apa yang seharusnya tidak boleh diulang pada pergaulan berikutnya. Apalagi
pengritik tidak hanya mengritik, tapi juga memberi solusi dan masukan. Ini
sejatinya ajaran Al Qur’an yang lama kita abaikan, “Demi masa, sungguh manusia
akan merugi besar, kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan kebaikan, dan
saling memberi kritik dalam kebaikan dan kritik untuk kesabaran.” (QS. 103:
1-3). Karena mengingkari ayat ini, maka dalam kehidupan sehari-hari, kita –
misalnya - lebih sering membicarakan kekurangan seorang imam shalat yang kurang
bagus dalam hal bacaan Al Qur’an, daripada memberi masukan dimana letak
kekurangannya. Atau kita hanya menyimpan dalam hati dengan kedongkolan, tidak
berani mengungkapkan secara terus terang kepada kawan sekantor yang sering
tertawa terbahak-bahak dalam ruangan atau banyak bermain HP pada saat melayani
publik, atau merokok dalam ruangan. Yang bersangkutan tidak mengerti apa yang
salah dalam dirinya, sehingga mengganggu kenyamanan kita, dan kita sendiri
mendongkol sambil sesekali menebar kekurangannya kepada banyak orang. Saat
itulah kita berdosa sekaligus “bunuh diri” pelan-pelan, sebab setiap
kedongkolan merusak sistem tubuh yang mengurangi imunitas, dan selanjutnya
berarti mempercepat kematian kita. Allah SWT berfirman, “Matilah kamu dengan
kemarahanmu itu.
Sungguh Allah mengetahui isi hati orang.” (QS. 03:119). Di sebuah
perusahaan multinasional Chicago, manajer memberi award setiap bulan kepada
karyawan yang paling banyak memberi kritik kepada teman atau pimpinan disertai
saran atau alternatif solusinya. Komputer kantor secara otomatis memaparkan
laporan bulanan data-data tersebut. Dengan cara demikian, dalam perspektif QS.
103: 1-3 di atas, berarti siapapun yang tawashaw (senang memberi dan menerima
kritik), maka promosinya lebih cepat dan berarti ia tidak akan terpuruk (la fi
husrin) karir dan ekonominya. Sebab, melalui kririknya, ia mendapat bonus, dan
melalui kritik orang lain, ia bisa meningkatkan kualitas dirinya serta tidak
mengulang kesalahan yang sama. Sungguh benarlah firman Allah.
Dalam perjalanan pulang dari preview Terapi Shalat Bahagia di North
Side of Milwaukee (Jum’at 10-03- 2017), Pak Joko Suprayitno, salah satu
redaktur Jurnal Indonesia Focus meneceritakan pengalamannya sebagai pengelola
jurnal. Semua penulis harus presentasi hasil penelitiannya sebelum dimasukkan
dalam jurnal. Seorang profesor yang mendapat kririk bertubu-tubi, bahkan sampai
pada substansi penelitiannya, ia tetap menanggapinya dengan santai dan
berkali-kali mengucapkan terima kasih. Bahkan, usai acara, ia mendatangai para
pengritik yang paling tajam untuk meminta tambahan kritik untuk revisi papernya
sebelum dikirim kembali ke jurnal.
Ha ha, dua hari setelah itu (Ahad 12-3-2017), saya diuji untuk
meniru ketulusan hati profesor di Indiana University of Pensylvania tersebut.
Usai memimpin shalat shubuh, Harits Rodhin Danusubroto (23 tahun), calon doktor
Psikologi Bisnis di Chicago School menghampiri saya. “Mohon maaf, bacaan Al
Qur’an bapak perlu dibetulkan, khususnya qalqalah pada huruf dal yang kurang
benar menurut petunjuk guru mengaji saya dari Mesir.” Pemuda kelahiran Amerika
dan hafal Al Qur’an juz 30 itu juga membetulkan pengucapan bahasa Inggris saya
pada ceramah di ICC (Indonesia Cultural Center) di jantung kota Chicago sehari
sebelumnya.
Benar-benar indah. Allah SWT mengirim saya ke AS, ternyata bukan
hanya untuk memberi pelatihan shalat, tapi justru yang paling penting adalah
memperbaiki bacaan Al Qur’an saya. Ternyata juga, belajar Al Qur’an tidak
selalu harus di Saudi Arabia atau Negara-negara timur tengah lainnya. Demikian
juga belajar praktek Surat Al ‘Ashr tentang keluasan hati untuk menerima sebuah
kritik.
Kedua, masyarakat Chicago tidak banyak memperhatikan hal-hal yang
bersifat pribadi orang lain. Mereka tidak mempersoalkan, apakah baju seseorang
terbalik atau tidak, bagian bawah celananya agak tinggi atau melebihi tumitnya,
apakah rambutnya gundul total atau hanya seperempat, apakah pasangannya sah
atau kumpul kebo. Saya tahu, bahwa ini tidak sepenuhnya benar, tapi sikap demikian
dapat mengurangi secara drastis penggunjingan. Betapa konyolnya, jika seorang
muslim memandang sinis kawannya hanya karena potongan celananya tidak sama
dengan dirinya, atau cara shalatnya yang berbeda dengan shalatnya. Lebih fatal
lagi, keunikan pribadi itu kemudian difoto tanpa seijin yang bersangkutan lalu
disebar ke penjuru alam, sampai malaikat di langit ikut membacanya.
Kadangkala kita menilai orang dengan ukuran perasaan atau budaya
sendiri. Seorang berteriak mengritik kehidupan suatu Negara dimana seorang anak
mengirimkan orang tuanya ke sebuah panti. Tahukah Anda, bahwa dalam pandangan
masyarakat Chicago, tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya adalah
mengirimkan orang tuanya ke sebuah panti, sebab di sana kaya fasilitas melebihi
fasilitas di rumah sendiri. Karenanya, biayanya amit-amit mahal. Si anak bangga
dan orang tuanya happy tinggal dalam panti yang amat nyaman. Padahal menurut
budaya Anda, pengiriman orang tua ke panti merupakan kedurhakaan yang terkutuk,
karena sama dengan membuang mereka dari rumah, dan seolah tidak mau lagi
mengurusnya. Substansi bakti kepada orang tua dalam Islam adalah memberikan
hormat dan kebahagiaan kepada mereka. Sedangkan teknisnya diserahkan kepada
masing-masing keluarga berdasarkan kearifan lokal.
Selama di Houston, Bang Aji Wibowo, pagawai Konsul Jenderal RI
menceritakan sesuatu yang unik tentang perbedaan budaya tersebut. Masyarakat
Houston memandang gadis yang masih perawan berarti gadis yang tidak menarik,
sebab berarti ia tidak banyak diminati orang. Sedangkan masyarakat kita
memandang sebaliknya. Pak Joko Suprayitno, doktor dan pekerja di General
Elecric, asal Ngawi Jawa Timur menambahkan, suami istri di Chicago yang makan
di restoran akan membayar sendiri-sendiri, dan bagi mereka hal biasa dan happy-happy
saja. Justru yang menderita adalah Anda sendiri, karena heran, menggerutu dan
mengritiknya berdasar ukuran budaya Anda. (Chicago, 12-3-2017)
Keterangan gambar: (1)
Peserta Preview Terapi Shalat Bahagia di Northside Chicago: Tom (suami Natalina
asal Surabaya) dan Bilal (nama baru, suami Nurjannah asal Bojonegoro) (2) di
depan Masjid Islamic Society of Milwaukee (3) Para lansia jamaah shalat Jum'at
di masjid yang sama, di atas kursi berderet seperti di gereja)
__________________________________________________________
I LOVE YOU, ZABIHA
Pada hari kesepuluh (11-3-2017) tour dakwah di Amerika Serikat,
saya diantar panitia dari Milwaukee melalui perjalanan darat menuju
ICC(Indonesia Cultural Center) di tengah kota Chicago. Untung saya tidur di
mobil, sebab perjalannya sangat “mengerikan.” Jarak 150 km itu ditempuh hanya
dalam 90 menit, melintasi tol panjang dan kebetulan jalanan sepi. Saya lelap,
sebab sejak usai shalat subuh sampai jam 09:30, saya menjadi nara sumber
Lentera Pagi melalui Radio IMSA yang disiarkan secara live ke seluruh dunia.
Radio yang dipandu oleh Prof. Dr. Yusmin Alim (Cornel University) di New York
itu bisa diakses melalui video, bahkan bisa mengikuti dan menshare slide power
point untuk topik yang dipilih saat itu, SOUND HEALING BY AL QUR’AN. Anak saya,
Advan Navis Zubaidi yang sedang menyelesaikan doktor dan sesekali menjadi imam
di Masjid Al Ikhlas di Amsterdam pun bisa mengaksesnya. “Bolehkah Al Qur’an
dilagukan dengan intonasi Amerika?,” “Benarkah ada larangan memelihara anjing
dalam Islam?” “Bagaimana pengaturan tempat shalat jamaah di masjid bagi wanita,
sehingga tidak terkesan diskriminatif.” Itulah beberapa pertanyaan
“pemirsa-pendengar” Radio IMSA. Pertanyaan pertama itu diajukan karena di tanah
air pernah terjadi kontroversi tentang hukum Al Qur’an yang dilantunkan dengan
lagu Jawa. Saya lupa nama para penanya, sebab amat banyak yang bergabung,
antara lain: Prof. Dr. Kustim Wibowo (Indiana University of Pensylvania, tretan
dibi dari Madura), Prof. Doni Wulandana (New York University), Prof. Kristiadi
(West Virginia University), Prof. Agus Sufyan (Kentucky University) dan Prof.
Nur Hidayat (Tenese University). Jujur saya katakan, pada mulanya saya sedikit
grogi, karena ini acara besar secara live pertama yang saya alami yang diikuti
oleh berbagai pakar dengan alam pikiran dan disiplin keilmuan yang beragam. Ah
itu tak seberapa, yang lebih susah adalah mazhab keagamaan mereka yang
berbeda-beda pula, mulai dari yang paling soft sampai yang ultra hard. Tapi,
karena saya mengharamkan minder pada semua mahasiswa saya, maka sayapun harus
percaya diri, dan ternyata biasa-biasa saja. Inilah yang selalu tanamkan kepada
mahasiswa saya, “Kerjakan yang paling kau takuti. Ketakutan itu pasti akan
lenyap sendiri.”
Setiba di Chicago, wah..senanglah hati saya, sebab sebentar lagi bisa
foto bersama Spiderman dan Batman. Dua film kolosal itu dibuat di kota ini.
Gagal, ternyata hanya bisa berjabat tangan dengan patung Abraham Lincoln di
dekat sungai yang dihajaukan total untuk menambah keindahan kota pada hari itu
sebagai hari istimewa bagi masyarakat Chicago. Di ICC Chicago itulah, Training
Terapi Shalat Bahagia dalam bahasa Inggris angkatan kelima (selama di Amerika)
dilaksanakan. Udara sangat dingin (<2 C), sehingga dengan dua lapis jaket
dan empat lapis kaos tipispun, saya tidak berani mengeluarkan tangan dari saku.
Tapi, tiba-tiba terasa hangat setelah melihat semangat para peserta yang sudah
menunggu. Penyambut pertama kali adalah Leo Schwaub, mualaf putra pendeta yang
menikahi Anisah (asal Bandung). Sambil mengangkat talam penuh bakwan (ote-ote
Surabaya), ia membukakan pintu. Pasangan inilah yang kemudian mengijinkan
anaknya usia SMP, Adam Schwaub untuk mendemonstrasikan hafalan Surat Al
Baqarah. Merdu sekali suaranya. Saya malu…trainer jauh-jauh dari Surabaya
ternyata kalah hafalan dengan remaja kelahiran Amerika.
Berbeda dengan acara ibu-ibu di Indonesia, hampir semua muslimah
peserta training tidak membawa mukna. Mereka shalat dengan pakaian yang dipakai
untuk acara itu, sehingga telapak dan punggung tangan masih tetap terbuka pada
saat shalat. Mereka juga membawa aneka makanan Indonesia untuk dijual atau
untuk sedekah dimakan bersama. “Silakan pak, ini sayur pare. Pahit, tapi mak
nyus pak,” kata Bu Syafira, alumni Philip Moris University yang sekarang
bekerja di US Health Care Management. Saking lamanya di AS, sampai saya tidak
mengerti beberapa istilah dan bahasa umum yang dia ucapkan. Tapi, ya saya
pura-pura mengerti saja daripada tidak ikut makan karena sibuk bertanya. Ia
akan mengirim anaknya yang di Jakarta, alumni Inggris ke Surabaya untuk lebih
prestasi dan lebih lurus melalui training shalat.
Menjelang magrib, acara selesai. Saya diajak menikmati ice cream
yang paling terkenal di Chicago, lalu putar-putar sejenak ke tengah kota
melewati Trump Tower milik presiden sekarang dan hotel milik Oprah Winfrey di
antara deretan hotel termahal dunia. Oleh Bapak Iskandar Danoe Soebroto, salah
satu tokoh senior dakwah di USA, saya juga diajak melewati Michigan Avenue,
pusat perbelanjaan paling keren yang dipenuhi para turis dengan busana dan mode
rambut unik-unik yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Paling menarik bagi
saya adalah ketika saya ditunjukkan Devon Street. Jalan sepanjang 3 km itu
hampir semua dipadati toko dan restoran-restoran muslim Pakistan dan India
dengan kaligrafi Arab, “Ma Syaa Allah” di pintu masuknya. Mobil kami parkir
persis di depan Basmalah Restaurat. Saya melihat juga Zabiha Halal Meat,
Mihrab, Lasan Zabiha Halal Meat, Mihrab dan nama-nama lain yang menunjukkan
identitas Islam. “Unik ya pak, pertokoan dan restoran halal ini justru berada
di tengah perkampungan masyarakat Yahudi,” kata Ibu Chandri Januari, ibu asal
Jakarta yang sudah lebih dari 20 tahun menetap di Indiana State. Pratama
Wicaksana Danoe Soebroto yang akan menjadi salah satu panitia training di
Canada setelah acara di Chicago ini adalah putra beliau juga.
Di depan salah satu restoran halal di jalan yang amat strategis tersebut, terdapat halte bus dengan background papan panjang bertuliskan: GOD IS ONE. Tulisan di bawahnya: Adam, Noah, Abraham, Moses, Jesus, and Muhammad are PROPHETS OF GOD. Kata pak Fajar Yusuf dari KJRI Chicago, “Pemasangan papan dakwah itu tidak gratis pak. Pajaknya sangat mahal dan itu dibayar oleh komunitas Pakistan dan India.” Pegawai Konsulat yang terlihat sangat santri ini juga staf redaksi jurnal Indonesia Focus yang dikelola bersama para dosen dan mahasiswa Indonesia di Cornel University, Tenese University, Kentucky University, West Virginia University, dan Indiana University of Pensylvania. Jurnal ini sengaja dibuat untuk membantu para dosen di Indonesia untuk menyalurkan hasil-hasil penelitiannya secara internasional. Ia mempersilakan dosen UIN Sunan Ampel untuk mempresentasikan hasil penelitiannya di forum ilmiah yang dirancang oleh redaktur untuk selanjutnya di masukkan ke dalam jurnal bergensi itu. “Silakan, saya tunggu pak September depan,” pinta Joko Suprianto yang duduk di sebelah saya.
Di depan salah satu restoran halal di jalan yang amat strategis tersebut, terdapat halte bus dengan background papan panjang bertuliskan: GOD IS ONE. Tulisan di bawahnya: Adam, Noah, Abraham, Moses, Jesus, and Muhammad are PROPHETS OF GOD. Kata pak Fajar Yusuf dari KJRI Chicago, “Pemasangan papan dakwah itu tidak gratis pak. Pajaknya sangat mahal dan itu dibayar oleh komunitas Pakistan dan India.” Pegawai Konsulat yang terlihat sangat santri ini juga staf redaksi jurnal Indonesia Focus yang dikelola bersama para dosen dan mahasiswa Indonesia di Cornel University, Tenese University, Kentucky University, West Virginia University, dan Indiana University of Pensylvania. Jurnal ini sengaja dibuat untuk membantu para dosen di Indonesia untuk menyalurkan hasil-hasil penelitiannya secara internasional. Ia mempersilakan dosen UIN Sunan Ampel untuk mempresentasikan hasil penelitiannya di forum ilmiah yang dirancang oleh redaktur untuk selanjutnya di masukkan ke dalam jurnal bergensi itu. “Silakan, saya tunggu pak September depan,” pinta Joko Suprianto yang duduk di sebelah saya.
Berbeda dengan pada tahun 1990an, sekarang restoran halal ada di
mana-mana, demikian juga penjualan daging halal, baik Zabiha ataupun Koshr.
Zabiha adalah daging sembelihan orang Islam, sedangkan Koshr sembelihan orang
Yahudi. “Sekalipun sama-sama halal, kami selalu membeli Zabiha. Sebab kita
harus ikut membesarkan pengusaha muslim, sekaligus tingkat halalnya dalam hati
100%,” kata Ibu Chandri Januari ketika menyuguhkan jus smoothy untuk keluarga
dan saya agar memiliki ketahanan tubuh menghadapi salju yang mulai turun
menutupi jalan raya dan halaman rumah. Asyik, pengalaman pertama melihat
hamparan salju. Rerumputan juga telah merata “berjilbab putih.” Jus Smoothy
adalah jus yang terdiri dari 11 buah organik, yaitu kiwi, pisang, apel, kurma,
kelapa muda, nanas, apukat, jeruk, anggur dan sebagainya. Benar, badan saya
sangat segar dan sampai siang tidak terasa lapar. Ketika menikmati jus buah
itu, saya teringat beberapa pengemis penduduk asli AS di beberapa jalan raya.
Di samping rasa syukur bahwa orang Indonesia lebih sejahtera dari mereka, saya
juga berpikir betapa mencoloknya kesenjangan antara si kaya dan miskin di
negara super power ini. Hampir tak percaya, tapi nyata.
Sayang sekali, masjid di tengah komunitas Pakistan dan India di
bawah payung organisasi Holyland tersebut ditutup sejak tahun 2011, sebab salah
satu anggotanya diduga terlibat dalam peristiwa pengeboman twin towers (911)
pada era pemerintahan George Bush. Dampak psikologis peristiwa itu masih
dirasakan muslim AS sampai hari ini. Sekarang tantangan itu bertambah lagi
sejak terpilihnya presiden baru di negeri ini. Ini juga kata motimatif untuk
mahasiswa saya: “Gantilah kata kesulitan dengan tantangan. Itu lebih
menggairahkan.” (Indiana State, Senin, 13-03-2017)
Keterangan
Gambar: (1) Bersama
Leo Schwaub (2) Bersama Prof. Dr. Kustim Wibowo, asal Sumenep (3) Restoran
Halal Chicago (4) "iklan" dakwah
__________________________________________________________
BELAJAR BAHASA
AMERIKA
MELALUI SHALAT BAHAGIA
Pada hari ke 12 dan 13 (Senin, Selasa 13-14 Maret 2017) tidak ada
kegiatan dakwah sama sekali, sebab salju tebal telah mengafani tempat saya
tinggal, Indiana State, 32 km sebelah selatan Chicago. Di rumah Bapak Iskandar
Danoesoebroto inilah hampir semua ustad dari Indonesia beristirahat. Rumah ini
juga sekaligus dijadikan tempat pelatihan dan penginapan peserta pesantren
kilat. “Dulu pesantren kilat, sekarang diganti namanya dengan LKII (Latihan
Kajian Islam Intensif),” kata seorang panitia sambil menyiapkan makanan dua
anaknya yang sama-sama tidak bisa berbahasa Indonesia. Unik. Sekalipun anak
usia TK itu lahir di Amerika, tapi makannya hanya nasi dan kecap Indonesia.
Selain itu tidak.
Saya sangat kagum pada kedua anak yang sama-sama berani azan dan
iqamat dalam beberapa kali shalat jamaah sekalipun masih usia TK dan SD. Berani
tampil, berani ditertawakan, berani salah (tentu tanpa kesengajaan), berani
bertanya, berani mengritik, dan berani-berani lainnya merupakan bagian dari
pendidikan di negara ini. Saatnya, anak didik kita di Indonesia dibangkitkan
confidensnya agar bisa tampil memimpin dunia, sebab “masa depan dunia hanya
berada di tangan orang yang percaya diri.” Meskipun anak Anda cerdas dan the
best dalam semua jenjang pendidikan, ia akan tenggelam dalam kesepiannya jika
semua kecerdasannya terkubur dalam-dalam oleh mindernya.
Karena tidak ada kegiatan di luar, maka yang ada hanya beberapa
kali diskusi terbatas dengan 3-10 orang tentang isi dari beberapa buku saya.
Bisa diduga, diskusi tentang buku Terapi Shalat Bahagia paling menarik. Bahkan
Prof. Dr. Kustim Wibowo dari Indiana University of Pensylvania dan istri yang
sudah pamit duluan karena perjalanan pulang harus ditempuh 13 jam, tertarik dan
ikut duduk untuk berdiskusi kembali. Ibu Hukli asal Sulawesi yang sudah tinggal
40 tahun di Amerika juga tega meninggalkan suaminya di rumah sakit dan bermalam
di rumah ini bersama seorang temannya karena esok harinya ingin diajari secara
khusus bagaimana kiat “bersiul riang di tengah badai yang menghadang” melalui
shalat. Kawan yang menyertainya, Ibu Syafira mengatakan, “Pak, dulu sahabat
nabi harus berdarah kakinya menempuh perjalanan sekian hari hanya untuk
mendapatkan satu hadis, masak dalam mencari ilmu saya menyerah karena alam.”
Saya kaget, dan dalam hati saya, “Wuh..ibu ini hebat, hafal sejarah hidup Abu
Hurairah r.a.”
Sambil menyaksikan salju yang terus turun indah seperti kapas
lembut yang beterbangan melalui jendela kamar lantai dua, saya membuat
persiapan training selanjutnya yang diminta dalam bahasa Inggris sepenuhnya.
Mohon maaf, kisah salju saya utarakan, sebab saya lahir di sebuah desa di
Lamongan. Di desa ini, yang sering saya lihat adalah banjir di musim hujan
ataupun kapas randu yang beterbangan di musim kemarau, bukan salju. Ya, memang
dulu pernah dakwah musim dingin di Belanda dan Inggris, tapi kebetulan tak
bersalju.
Kembali ke training shalat dalam bahasa Inggris. Dulu, sewaktu
training shalat di China dan beberapa negara lain, boleh presentasi dengan
campuran bahasa Indonesia dan Inggris. Sekarang, hanya diijinkan jika khusus
diikuti orang Indonesia. Lha, di sinilah saya menemukan teori baru belajar
bahasa Inggris. Dan teori ini baru saja saya sampaikan ke Bapak Prof. Dr. Abd.
A’la, rektor kebanggaan saya melalui telpon tadi pagi, di samping menanyakan
hal-hal lain, termasuk puting beliung di kampus seminggu sebelumnya yang saya
saksikan melalui internet. Maklum, karena belum pernah melihat angin sekencang
itu, maka beritanya jadi dilebih-lebihkan oleh sebagian pengguna medsos.
Ingat kan Anda, “The Power of Kepepet?” Sebuah fakta: orang yang
hanya bisa melompat satu meter, ternyata bisa melompat lebih jauh ketika
dikejar anjing yang akan menggigitnya. Tukang ojek tua di Jakarta yang tidak
pernah pegang HP, tiba-tiba bisa memainkan HP android, karena ia kepepet, hanya
dengan cara itu ia bisa bergabung dalam ojek on-line. So, believe me, kepepet
makes you the best. Saya amat yakin, potensi Anda sangat besar, tapi terus
terpendam bahkan tidak muncul sampai mati, karena tidak ada situasi yang memaksa
Anda. Maka bersyukurlah dalam kesulitan dan keterpaksaan, sebab itulah tangga
yang disiapkan Allah untuk mengantarkan Anda ke puncak sana.
Sayapun, tidak pernah bisa menggunakaan android WA sebelum ke
Amerika ini. Tapi, setelah kepepet, bisa juga. Dan ternyata tablet tipis pintar
ini banyak memberi kemudahan yang membantu saya selama berdakwah di negara
Donald Trumph ini. Dengan HP ini, saya bisa membuka kamus bahasa
Inggris-Indonesia atau Indonesia-Inggris, mencari terjemahan al Qur’an dan
hadis dalam bahasa Inggris. Jadi, sebelum ceramah harus menyapa dan belajar
dulu bahasa Inggris pada guru yang mendampingi saya di perantauan: HP.
Itu belum cukup. Semua terjemah Al Qur’an dan doa-doa shalat dari
Nabi harus saya hafal dan saya pergunakan untuk bahan renungan dalam semua
gerakan shalat. Setelah mulai lancar, saya tambahkan curhat pribadi dalam hati
(sekali lagi dalam hati, tidak diucapkan agar tidak membatalkan shalat) dan
bermesra-mesra dengan Allah dan Rasulullah dalam bahasa Inggris. Bagi alumni training
Terapi Shalat Bahagia, teori perenungan shalat ini cepat dimengerti. Bagi yang
lain, diperlukan sedikit kesabaran untuk memahaminya agar tidak tergesa-gesa
menghakimi secara negatif. Saya sudah tahu bahwa doa-doa shalat dari nabi sudah
paten, alias tidak boleh ditambah dan dikurangi sama sekali. Semua perenungan
ini hanya merupakan terjemah dari semua ayat al Qur’an dan doa-doa dalam shalat
dari Nabi SAW ataupun breakdown atau rincian makna yang tersirat sari doa-doa
tersebut. Dan, itupun hanya dalam hati, bukan diucapkan. Hanya doa dalam teks
Arab dari Nabi yang diucapkan secara lisan.
Agar Anda tidak penasaran, saya cuplikkan sebagian renungan dalam
bahasa Inggris itu. Setelah membaca surat Al Fatihah, jangan tergesa-tergesa
melanjutkan membaca surat al Qur’an ataupun rukuk. Tapi, renungkan terlebih
dahulu artinya dalam bahasa Inggris yang telah Anda hafal sebelum shalat.
Sekali lagi, Anda harus telah hafal sebelum pelaksanaan shalat.
Contoh yang lain. Setelah membaca doa pada posisi duduk di antara
dua sujud, maka Anda bisa merenungkan arti pokok dan detailnya dalam hati
sebelum melanjutkan sujud. Antara lain: Oh Allah, forgive me. Have mercy on me.
Provide me prosperity and Health. Forgive me. I often complain for problems of
my life. Forgive me. I did not worship you the best like your prophet SAW does.
Oh Allah, forgive me, I speak much and do less. Have mercy on me, that you
forgive the sins I committed. Have mercy on me that you recover my deseases and
open the doors of my prosperity and blessings for me.
Sekali lagi sebuah contoh praktek. Setelah selesai membaca doa
tasyahud, Anda bisa berkontemplasi sebagai berikut: Oh Allah, may peace and
blessing of Allah be upon Muhammad. Oh Allah, provide me courage and guidance
so that I and my family can imitate the best behavior of Rasulullah. Oh Allah,
I wish Rasulullah came to me with his beautiful smile and fresh fragrance to
guide me reciting La ilaha Illallah when Izrail will pass me away. Oh Allah, I
wish You reunite me and my family later with Rasulullah in paradise.
Sengaja tidak saya terjemahkan untuk memberi kesempatan Anda
menerjemahkan sendiri atau membetulkan redaksi kalimat di atas. Saya tidak malu
dan marah, jika alumni sastra Inggris atau orang Amerika menertawakan kalimat
di atas yang amat beraroma Jawa saya.
Saya amat terbantu bahasa Inggris saya melalui perenungan in
English seperti itu. Sebab, berarti setiap hari saya praktek conversation in
English. Adakah belajar bahasa yang cepat tanpa praktek rutin?. Jangan mengira
Allah tidak mengerti dialog bahasa Inggris dan hanya bisa bahasa Arab.
Selain itu, jika shalat Anda lebih lama, adakah kemuliaan manusia
melebihi orang yang berdialog berlama-lama melalui shalatnya? Tapi, memang
melelahkan, sebab dua rakaat shalat malam harus diselesaikan lebih dari 45
menit. Maaf, salah ucap. Kata melelahkan harus diganti “menyenangkan,” sebab
kata yang terakhir itu lebih memberi motivasi. Telinga mahasiswa saya selalu
saya sambungkan dengan teriakan, “Jika ingin bersinar seperti matahari, kamu
harus siap terbakar sepertinya” dan “Berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian.”
Ustad Muthohir Arif LC, imam baru dari Indonesia di Masjid Istiqlal Houston
yang bersama-sama saya meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dengan cara
itu, kemarin malam menyampaikan terima kasih dan apresiasi atas metode itu.
Subhanallah, dua hal sekaligus dapat diraih: khusyuk yes, English yes.
Bagi yang berminat dan setuju silakan dipraktekkan. Bagi yang tidak
setuju, saya kutipkan stiker besar di pintu masjid milik komunitas orang Arab
Saudi di Central Lake City Houston, yang saya kunjungi sepulang dari NASA
bersama Pak Irwan Thamrin Tantu, “You can disagree without being disagreeable.”
Lha yang ini saya terjemahkan, “Silakan tak setuju, tapi jangan marah, ya.”
(Indiana State, Selasa 14-3-2017).
Keterangan gambar: (1)
Bersama Bapak Iskandar Danoesoebroto di depan rumah berjilbab salju (2) Bekas
gereja yang dibeli masyarakat Indonesia untuk Masjid Istiqlal Hosuton (luas 4
h.a) (3 dan 4) board "disagrreable" depan pintu masjid Komunitas Arab
di Central Lake City Houston yang dipenuhi taman bermain anak-anak dan ruang
fitness agar anak-anak dan orang ketagihan datang ke masjid (4 dan 5) Bersama
pak Irwan Thamrin Tantu dan istri di NASA, Space Center dalam pesawat shuttle
angkasa yang sudah dipensiunkan. Beliau salah satu pemilik sekolah Islam Iman
Academy (10 h.a) dengan tiga cabang sekolah, dan 25 tahun silam, saya diminta
membaca doa pada acara pinangan mereka di Surabaya.
![]() |
MENGUSIR
SETAN
DENGAN DOGGY BAG
Catatan
ini saya tulis di atas Porter Airlines (Rabo, 15-03-2017) keluar beberapa hari
dari Amerika (Chicago) menuju Ottawa Canada dengan transit di Toronto untuk
tiga kajian Islam, yaitu di Fantera Way, di Rockcliffe Park, dan puncaknya,
Workshop Terapi Shalat Bahagia di KBRI Ottawa. Ruang tunggu bandara terasa
hangat setelah di luar berangin-salju minus 7 celcius. Di ruang tunggu itulah
saya menemukan “yarhamukallah” (semoga Allah merahamtimu) dalam bahasa Inggris
ketika saya bersin. “God bless you,” ucap wanita 70an tahun yang duduk di
sebelah saya. “Thank you,” jawab saya. Terulang, ketika di toilet, saya bersin
agak keras, dan anak muda agak jauh dari saya mengucapkan yang sama sedikit
kencang sambil mencukur kumisnya. Dalam hati saya, “Kenapa kebanyakan muslim
diam, tetap bermain HP, dan tak berdoa apapun untuk orang bersin di
sebelahnya?” Maaf, terkecuali Anda. Untung seminggu sebelumnya, dalam suatu
pengajian di Woodland ada pertanyaan, “Orang Amerika selalu mengucapkan “God
bless you” ketika mendengar orang bersin. Bolehkah saya menjawab yang sama,
padahal kita dilarang berdoa tentang ampunan dan rahmat untuk non muslim?”
Sebelum
meninggalkan Indiana State, malam harinya saya diajak ke Aladdin Pita, restoran
milik orang Palestina dengan menu timur tengah. Sayup-sayup musik Arab
terdengar menyambut pengunjung. Tidak lama kemudian, dua wanita jangkung
berseragam ketat hitam-hitam tanpa jilbab menyodorkan menu. Mereka kaget ketika
saya ajak bicara dengan bahasa Arab. “Ana minal Urdun, la min Falestin”
jawabnya sambil menulis menu pesanan, ketika saya bertanya, “Min Falestin?.” Di
restoran besar dengan dekorasi padang pasir, antara lain pohon kurma, unta dan
sumur dengan gantungan timba air di atasnya itu, terdapat tempat shalat dengan
sajadah yang unik. Setiap orang menarik kertas putih selebar sajadah dari
gulungan kertas di pojok ruangan untuk shalat, dan dibuang ke tong sampah usai
shalat. Praktis dan higiens memang, tapi ya agak boros.
Harits
Rodhin Danoesoebroto yang duduk di sebelah saya mengajari cara menikmati
hidangan yang baru disajikan. “ Sup adas hangat ini dulu pak,“ tunjuknya dan
menambahkan adas adalah salah satu makanan yang disebut dalam Al Qur’an. Oh ya,
saya ingat sedikit dalam Al Qur’an, “wa’adasiha wabashaliha.” Menurut saya,
Rodhin adalah pemuda super. Umur 21 tahun sudah lulus master bidang psychology
of business di Purdue University Indiana. Sekarang calon doktor di Chicago
University. Kesulitan bicara dan kekurangan fisik pada kakinya sama sekali
tidak mengurangi semangatnya untuk berprestasi. Sekalipun tidak bisa membaca Al
Qur’an sebagaimana orang normal pada umumnya, ia hafal juz ‘amma dan sangat
menguasai ilmu tajwid dari guru-guru yang berasal dari timur tengah. Maka, tak
heranlah ia pernah membetulkan bacaan Al Qur’an saya, khususnya bacaan qalqalah
yang kurang “menggigit” katanya, di samping – tentu – membetulkan pengucapan
bahasa Inggris. Misalnya kritik pengucapan bowing (rukuk) yang seharusnya
dibaca “bauing,” tapi saya mengucapkannya “boowing. Ia sangat periang serta
tidak minder sedikitpun. Dialah yang perlu dicontoh dalam menerapkan semboyan
orang-orang yang sukses, “Maksimalkan kelebihanmu, dan lupakan kekuranganmu”
atau, “Bersuka citalah dengan yang ada, dan hindari mengandai-mengadai apa yang
tidak ada.” Atau meyakini poster dalam masjid di Clear Lake Islamic Center di
Houston ini, “Everyone is gifted, but some people never open their package”
yang artinya setiap orang, tak peduli sempurna fisiknya atau tidak, pasti dibekali
Allah sebuah bakat yang mahal, tapi sayang beberapa orang tidak mau
menggalinya. Harits Rodhin adalah pemuda muslim Indonesia-Amerika yang cerdas
menginspirasi diri dengan kisah tentang pemain golf dengan satu tangan yang
berhasil mengalahkan ratusan lawan yang lengkap tangan, karena ia tidak minder
dan memaksimalkan tangan kirinya dengan latihan bertahun-tahun, tanpa mengingat
sama sekali tangan kanannya yang tidak dimiliki sejak lahir.
Masyarakat
Amerika lebih banyak berinteraksi dan berguru dengan orang-orang Arab daripada
orang Indonesia. Tidak terkecuali, orang-orang Indonesia di negara ini juga
lebih banyak berguru kepada orang Arab, karena lebih banyak masjid komunitas
Syiria, Saudi Arabia dan sebagainya, dan di situlah mereka belajar Islam. Maka
beberapa toilet masjid Indonesia di Amerika, tempat wudlu dan sebagainya
dirancang seperti timur tengah. Jangan kaget, jika suatu saat Anda bermakmum
pada orang Indonesia di manapun di Amerika dengan bacaan surat-surat panjang.
Berkali-kali saya mendapat ucapan dari orang-orang Indonesia yang jarang saya
dengar di Indonesia, kecuali di perkampungan Arab atau pada komunitas alumni
timur tengah. “Fi amanillah,” yang artinya semoga tetap dalam perlindungan
Allah, amat sering saya dengar ketika melepas orang yang berpamit. Dalam
pergaulan sehari-hari, baik langsung maupun lewat media sosial, saya sering
mendengar ungkapan-ungkapan bernuansa Islam atau timur tengah pada umumnya.
Misalnya, “ma’as salamah (semoga selamat dalam perjalanan),” “jazakallah khaira
(semoga Allah membalas Anda dengan keberkahan),” “tafaddhol (silakan),” “isbal
(memanjangkan celana di bawah tumit)” “al haya’ (rasa malu),” dan sebagainya.
Setelah
menikmati dinner, saya lihat makanan di meja masih banyak tersisa, karena porsi
jumbo. “Agar pak ustad bisa memilih dengan lengkap,” kata orang tua Harits yang
duduk persis berhadapan dengan saya. Harits lagi-lagi mengucapkan kalimat indah
yang susah saya pahami sebelum ibundanya menjelaskan, “Someone’s trash is
someone else’s treasure” yang artinya sampah seseorang bisa jadi sesuatu yang
berharga bagi orang lain. Maksudnya, makanan yang tersisa di restoran harus
dibawa pulang untuk dimakan di rumah atau diberikan orang. Jika sampai terbuang
oleh restoran, maka yang berdosa adalah pembeli makanan itu.
“Doggy
Bag?,” tanya pelayan restoran kepada kami berempat. Dalam hati saya, apa kita
ini dianggap anjing atau punya piaraan anjing, sehingga ditawari tas anjing.
Ternyata arti doggy bag adalah membawa pulang sisa makanan di restoran.
Mungkin, dahulu untuk makanan anjing di rumah. “Orang Amerika memang sangat
bersia-sia dalam makanan atau wasty pak,” kata Bapak Iskandar, ayah Harits.
Lalu saya teringat penjelasan Fajar Yusuf, staf KJRI Chicago dua hari
sebelumnya, bahwa Presiden Clinton pernah mengkampanyekan doggy bag setelah
melihat berapa ton makanan sisa di restoran-restoran Amerika yang terbuang
setiap hari. Padahal, sekian juta orang di dunia masih kelaparan. Di Amerika
sendiri juga masih dijumpai orang-orang gelandangan (homeless).
Menurur
staf KJRI, yang ternyata teman sekampus Fathan Aniq, dosen UIN Sunan Ampel
sewaktu kuliah di Belanda tersebut, ada kebiasaan orang Amerika untuk
menyisakan makanan, baik di piring atau di meja makan. Tujuannya memang baik,
yaitu untuk menunjukkan pada pemberi makanan rasa terima kasih, bahwa mereka
amat puas dan kenyang, sampai tidak bisa menghabiskan suguhan. “Oh begitu,”
rasa heran saya. Sejak itu, saya berkampanye untuk mengusir setan melalui hidup
yang lebih hemat, dan menjauhi semaksimal mungkin berprilaku boros. Silakan
Anda buka Kitab Suci Al Qur’an atau hanya melalui android Anda AQ. Surat Al
Isra [17]: 26-27: “..dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara
boros. Sungguh, orang-orang boros adalah saudara-saudara setan, dan setan itu
amat ingkar keada Tuhannya” Semakin Anda boros, semakin lengket Anda dengan
setan. Jika diterus-teruskan, tidak lama lagi nama Anda dimasukkan dalam KSK
(Kartu Susunan Keluarga) dan Iblis sebagai kepala keluarga.
Yang
menarik dalam obrolan makan malam itu adalah tentang Fathullah Ghullen, ulama
Turki yang sedang melarikan diri di Amerika ini. Keluarga yang mengajak dinner
ini memiliki dua menantu yang sama-sama Turki. Mereka berbicara banyak tentang
Ghullen dan perdana menteri Turki sekarang yang sedang berselisih dengannya.
Mengapa menarik, sebab saya sedang membimbing disertasi Sokhi Huda dan akan
ujian tertutup di pasca sarjana UINSA tahun ini dengan judul dakwah sufistik
Fathullah Ghullen. Jadi amat membantu saya untuk membimbing disertasi tersebut
lebih teliti. Maaf … maaf tulisan ini harus saya putus, sebab pramugari telah
menyuruh saya menutup laptop, pesawat segera mendarat di Toronto, Canada.
“Ma’as salamah, fi amanillah” (Toronto, Rabo, 15-03-2017)
KETERANGAN
GAMBAR:
(1) Masjid Madinah dekat pusat Fitness Center
Hosuton dengan imam dari Arab dan setiap subuh memberi kajian Al Qur'an dan
hadis kira-kira 5 menit. Di situlah saya diminta adzan subuh, ketika pertama
kali menginjakkan kaki di Amerika 3-3-2107 (2) Restoran Palestina (3) Masjid
ISM (Islamic Society of Milwaukee) Chicago (4) Poster di masjid komunitas Arab
di Clear Lake Islamic Center.


__________________________________________________________________
OMA PERAJUT
LINTAS AGAMA
Catatan hari ke 16 (17-3-17)
Tour
Dakwah Amerika Canada
Pada pintu
keluar bandara Ottawa, Canada (Rabo 15/3), tiga orang kekar dengan tutup muka
dan kepala hitam menghadang saya dan bertanya, “Pak Ali dari UIN Surabaya?”
Ternyata mereka penjemput dari KBRI Ottawa. Bukan teroris, itu pakaian untuk
melawan salju yang menggunung di depan bandara, minus 10 derajat celcius.
Mereka bukan kekar, hanya jaketnya yang berangkap. Sebelum disediakan termal
(pakaian ketat pembungkus celana penahan dingin), saya memang jadi bahan
ketawa, karena sarung yang saya masukkan ke dalam celana, sehingga terlihat
bengkak, bukan kekar, karena tidak merata, ha ha.
Setelah
istirahat semalam di kediaman Ibu Suwartini Wirta, Deputy Chief of Mission
KBRI, Kamis subuh diajak Bapak Sukardi, suami beliau, untuk shalat berjamaah di
Masjid OMA (Ottawa Mosque Association) agak jauh, kira-kira 20 menit perjalanan
mobil dari wisma. Badan sangat fresh karena istirahat di kamar dengan fasilitas
yang nyaman dan luks. Apalagi mampir dulu di Café kopi terkenal, Tim Hortons.
Begitu luksnya sampai saya cukup lama di kamar mandi, wah..karena tidak
mengerti cara membuka kran air. Perlu saya tambahkan juga, sejak di Houston dan
Chicago Amerika, sampai di Canada ini, tidak ada satupun toilet, baik di masjid
ataupun rumah yang lantainya basah. Semua serba tissue. Maka, saya
membayangkan, bagaimana jika penduduk negeri ini bertamu di rumah saya atau
masjid Anda. Wah, bisa-bisa muntah atau jatuh kepleset atau membatalkan
hajatnya.
Masjid OMA
adalah masjid besar tiga lantai dan tertua di Ottawa, yang didirikan oleh
komunitas muslim antara lain dari Pakistan, Turki, Mesir, dan Indonesia.
Diperlebar terus, tapi selalu tidak muat untuk shalat Jum’at. Maka, gereja di
sebelahnya saat ini juga sedang dalam proses pembayaran untuk dibeli.
Senang sekali
saya mendengarkan bacaan Surat Ali Imran yang dibaca oleh Syekh Sami.
“Marhaban, marhaban,” kata imam masjid dari Mesir dengan jubah putih dan jengot
hitamnya yang tidak terlalu tebal sambil menjabat tangan saya. Senyum dan tutur
katanya sangat mengesankan dan saya harus menirunya. Tidak lama kemudian, saya
dipertemukan dengan brother Mumtaz, jamaah masjid yang ditunjuk sebagai ketua
Food Bank, lembaga sosial pengumpul makanan untuk dibagikan kepada orang-orang
miskin, tanpa membedakan agama dan latarbelakang apapun. Kebanyakan mereka
berasal dari para pengungsi yang belum lama tinggal di Ottawa. Saya bangga,
mendengar orang-orang Indonesia juga aktif sebagai sukarelawan untuk mengepul
dan membagikan makanan setiap hari Sabtu tersebut. Mereka antri, kadangkala
sampai 500 orang yang disantuni.
Pemerintah dan
masyarakat Ottawa memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap kegiatan ini.
“Rata-rata mereka mengatakan, muslim Ottawa luar biasa dalam empatinya kepada
manusia tanpa membedakan agama,” kata Pak Sukardi Ralin Ronopawiro sambil
menyuruh anaknya memanaskan mobil menuju pulang dari masjid, menirukan komentar
positif untuk muslim Ottawa. Bahkan suatu saat, Dubes USA ikut membagikan
makanan itu, berbaur dengan para sukarelawan. Pada sejumlah acara di kedubes
USA, Mumtaz juga sering diundang menghadirinya. Masjid ini juga beberapa kali
menjadi tempat dialog lintas agama untuk membangun saling pengertian dan
kebersamaan dalam hidup damai di Ottawa.
Apa reaksi
penduduk Ottawa ketika terjadi penembakan brutal yang menewaskan lima orang
yang sedang shalat, termasuk imam di masjid Quebec 29 januari 2017 yang lalu?
Uh dahsyat. Mereka tidak hanya mengutuk pelaku, tapi ikut empati memadati
stadion untuk melepas jenazah. “Pada subuh buta, seorang wanita tua datang ke
masjid membawa sekuntum bunga segar untuk diberikan jamaah sebuah masjid,”
kenang pak Sukardi, pegiat muslim Ottawa yang berasal dari Jawa Tengah dan
pernah mendampingi istri di KBRI Belanda tersebut. Pada Jum’at pertama setelah
kejadian yang menjadi issu utama media saat itu, ratusan warga non-muslim
Ottawa antre mengucapkan belasungkawa kepada para jamaah masjid.Tidak
tanggung-tanggung, perdana menteri, walikota, dan banyak pejabat penting juga
ikut hadir pada acara tersebut.
Tidak hanya
itu, perdana menteri dan beberapa pejabat penting juga mengunjungi hampir semua
masjid untuk menunjukkan itikad baiknya melindungi umat Islam. “Itu benar-benar
tulus dan mewakili realitas sesungguhnya perasaan masyarakat sini pak,” kata
Amin Maktup, warga Indonesia yang bekerja di kedutaan besar Brunei Darussalam.
Ia termasuk panitia pendiri masjid, sukarelawan Food Bank, dan pembaca Al
Qur’an terbaik. Semua masjid yang dikunjungi Amin Maktup, selalu memintanya
untuk mengumandangkan azan. Saya tahu, memang azan dan bacaan Al Qur’annya
sangat indah dan menyentuh hati, ketika mengumandangkan azan pada shalat magrib
sebelum saya menyampaikan ceramah pada hari Kamis malam. Menurutnya, masyarakat
Ottawa sangat santun kepada semua orang tanpa melihat agama, etnis dan
sebagainya.
“Bapak
perhatikan selama perjalanan sejauh ini, saya jamin bapak tidak akan mendengar
satupun klakson, “ kata Budi Mulyono, warga Indonesia yang bekerja sebagai staf
lokal di Kedutaan Qatar meyakinkan saya dalam perjalanan pulang dari pengajian
di KBRI. Benar, dalam setiap perempatan atau pertigaan, mereka berhenti sejenak
dan berebut mempersilakan pengendara lainnya untuk berjalan lebih dulu.
Pensiunan pegawai KBRI itu juga mengutip pernyataan Sayid Qutub, - saya tidak
perlu bertanya sumbernya - ketika mengunjungi Eropa, “Di Mesir, aku melihat
muslim tanpa Islam, sedangkan di sini aku melihat Islam pada non muslim.” Ini
pernyataan yang selalu saya dengar di manapaun saya berada di luar negeri
sebagai ekspresi keprihatinan atas keagamaan muslim yang lebih banyak retorika
daripada pada akhlak dalam kehidupan nyata, termasuk di Indonesia.
Dalam kajian
Islam, Kamis (16/3) di rumah Bapak Candra Negara, minister counselor bidang
ekonomi KBRI, saya bertanya kepada Dr. Atiq Rahman, ahli gizi alumni
Universitas Australia yang datang lebih awal pada acara itu, “Bagaimana respon
masyarakat Ottawa ketika terjadi kekerasan atas nama Islam di sini atau di
negara lain?” Suami muslimah Jogja itu mengatakan, “Masyarakat sini sudah
sangat dewasa dan obyektif. Semua teror tersebut mereka yakini dilakukan oleh
muslim yang tidak benar dan sama sekali bukan cermin muslim Ottawa.”
Di Masjid
Ottawa, saya memang menyaksikan coretan-coretan pada sejumlah papan halaman
masjid, tapi perdana menteri dan masyarakat Ottawa selalu meyakinkan umat Islam
bahwa itu hanya vandalism segelintir orang, bukan wajah sesungguhnya masyarakat
Ottawa. Sebagai muslim, sudahkah Anda meniru Allah yang selalu mengdepankan
kasih kepada semua manusia lintas Agama? Itulah yang saya sampaikan pada kajian
malam tersebut dalam bahasa Inggris yang seringkali tersendat karena kemiskinan
kosa kata.
Menjelang acara
pengajian, saya diajak pak Sidik Ratmono, staf lokal KBRI untuk mengelilingi
kota yang semua bangunannya menyerupai Inggris. Benar, karena memang masih satu
kerajaan dengan Inggris sampai sekarang. Saya diajak menyisir sungai menuju
semua kantor kedubes semua negara dan memasuki lorong-lorong perumahan elit.
Logat bicara orang Cilacap ini sudah berganti dengan logat dan istilah-istilah
Inggris. “It’s nice day pak,” katanya. Dalam hati saya, “Apa? Udara segar? Lha
wong saya gemetar kedinginan, kok dia bilang nice day. Ngomong yang bener pak!”
Menurutnya, udara yang berat itu jika minus 40 derajat. Saya melihat tidak ada
satupun pohon di kanan kiri jalan yang berdaun kecuali cemara. Semuanya
pingsan, subhanallah. Tapi, jika sudah berganti musim, semuanya mengeluarkan
bunga terlebih dahulu baru daun-daunnya yang menyusul, sehingga indah. Sambil
menunjuk sungai yang juga sebagian tertutup salju, ia mengatakan, pada musim
panas nanti, semua ikan akan keluar, ribuan bebek dan angsa yang sekarang
sedang berhijrah ke wilayah musim panas, akan kembali ke sini. Semua unggas itu
sangat bersahabat, tidak lari jika dibelai, sebab mengerti para pembelai
berhati lembut, bukan pemangsa. Telur-telur angsa dan bebek bisa dijumpai di
semak-semak tepi sungai. Lalu menetas dan persis pada msuim dingin berikutnya
mereka sudah siap fisik untuk hijrah bersama. “Pak, siapa yang ambil
terlurnya,?” tanya saya sambil membayangkan apa yang terjadi jika di Surabaya
banyak bebek liar dan telur berserakan, pasti wassalam alias habis. Para lansia
Ottawa hidup lebih makmur daripada masa mudanya, sebab semua sudah dipersiapkan
secara detail sebelumnya melalui dana pensiun sebagai pegawai, dana asuransi
hari tua, plus uang lansia dari pemerintah. Begitulah hidup yang indah dengan
rencana yang matang. Sudahkah Anda menyiapkan hari tua demikian, sehingga kelak
hidup mandiri dan tidak meminta belas kasihan dari anak, menantu, saudara atau
siapapun?” Saya kemudian teringat firman Allah dalam surat Al Hasyr ayat 18,
“Wahai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok?” Shadaqallahul
adhim. Aqulu qauly hadza. (Ottawa, Kamis 17-3-2017).
KETERANGAN GAMBAR:
(1) Bersama
Sheikh Sami (jubah putih) dan Mumtaz (sebelah kiri Shekh) (2) Masjid OMA (3)
Vandalisme di OMA (4) di depan rumah DCM Ottawa, (5) kantor KBRI Ottawa (6)
Kedai kopi ternikmat Ottawa
(1)
![]() |
|||
![]() |
|||
![]() |
|||
![]() |
|||
__________________________________________________________________
WINGKO
MANIS UNTUK TAHLIL BERBAHASA INGGRIS
Catatan hari ke 17 (18-3-17) Tour Dakwah
Amerika dan Canada.
Ada
tujuh masjid besar di Ottawa yang berpenduduk kurang dari satu juta orang ini,
antara lain, Masjid OMA (Ottawa Mosque Association), Assalam, Rahmah, Jami
Omar: Jamiatul Muslemeen, dan Masjid Bilal: Islamic Society of Cumberland.
Untuk shalat Jum’at (18/3) ini, sengaja saya minta diantar ke masjid selain
masjid OMA yang telah saya kunjungi sebelumnya, yaitu Masjid Rahmah. Maaf, ada
yang terlewat tentang masjid OMA pada catatan laporan saya sebelumnya, bahwa
kira-kira pada tahun 1975, ketika masyarakat muslim Ottawa belum memiliki
masjid, mereka menyewa untuk beberapa tahun gedung lantai bawah (basement)
gereja sampai bisa membangun sendiri di sebelahnya seperti yang berdiri
sekarang. Pak Amin Makruf, warga Indonesia yang ikut berdarah-darah membangun
masjid tersebut bercerita dengan semangat dan bangga, “Luar biasa pak, dulu
kami menyewa gereja itu, dan atas kehendak Allah, ternyata awal tahun 2017 ini,
kami bisa membelinya.” Pengurus gereja tidak menjualnya kecuali kepada jamaah
masjid OMA, sebab telah merasakan kehangatan persaudaraan dengan mereka, serta
kegunaannya untuk keagamaan daripada untuk bisnis atau hiburan.
Masjid
Rahmah yang saya kunjungi sekarang ini terdiri dari tiga lantai di wilayah
Southkeys dan dibangun pada tahun 1992 di bawah Yayasan Assunnah Muslims
Association (AMA). Luas halamannya 5 h.a, hanya kira-kira, karena tertutup
gunungan salju. Sekarang, beberapa masjid di dunia yang saya ketahui mengganti
kata mosque dengan masjid. Konon, mosque berasal dari mosquito yang berarti
nyamuk, sebuah ungkapan pelecehan untuk minoritas muslim jaman kuno dahulu.
Saya
melihat jamaah perempuan, yang kebanyakan berkulit hitam shalat di lantai 3.
Menurut ukuran orang Indonesia, ada yang unik di masjid ini, yaitu beberapa
jamaah lelaki menggendong atau menuntun balita perempuan ke dalam barisan
(shaf) laki-laki. Balita inilah yang menangis keras dalam gendongan bapaknya
ketika shalat Jum’ah berlangsung. Sama sekali beda dengan di Indonesia, para
jamaah di sampingnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi terganggu dengan
tangisan tersebut. “Para jamaah sangat memahami, bahwa pembawa balita tersebut
tidak mempunyai pembantu. Justru mereka ingin menolongnya,” kata Arsyad Kusuma
Aji, putra wakil dubes RI Ottawa yang sedang menyelesaikan kuliah di bidang
manajemen kewirausahaan. Sekitar 40 lansia duduk di bangku empuk, memanjang
masing-masing 5 meter yang diletakkan di tengah masjid dan di barisan belakang.
Sepintas seperti sembayang orang Kristen di gereja.
Tidak seperti di masjid Chicago yaitu adanya ceramah
panjang sebelum khotbah, di masjid dengan bangunan segi empat tanpa menara ini,
khutbah dilakukan sebagaimana di Indonesia, yaitu adzan, lalu diikuti dua kali
khotbah. Hanya saja panjang khotbah yang kedua hampir
sama panjangnya dengan khutbah pertama. Masing-masing khutbah berdurasi 10
menit.
“Assalamu’alaikum warahmatullah,” salam pembuka Syekh
Ismail dari Iraq tanpa melanjutkan “wabaraktuh.” Bisa
difahami mengapa kebanyakan jamaah tersebut beretnis Arab, sebab masjid ini
berada dekat pusat bisnis orang-orang timur tengah, berupa restoran,
obat-obatan, makanan dan minuman, restoran dan sebagainya. Khotbah yang
disampaikan dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris secara selang seling tersebut
mengambil tema: Syarat Keabsahan Ibadah, yaitu cinta, takut, dan harap (al
mahabbah, al khauf war raja’). Khatib yang muda, tampan, berjenggot dan
berkumis tipis, serta berjubah coklat tua tanpa tutup kepala itu memang
terkenal selalu khotbah dengan tema-tema sufistik atau kebeningan dan kedamaian
batin. Ia menyelipkan dalam khutbahnya kisah pembakaran mayit oleh sang anak
atas wasiat almarhum. Ketika abu pembakaran dibuang ke laut, Allah
memerintahkan bumi untuk menyatukan kembali, “Be, and tobe (kun fayakun)” dan
hiduplah kembali si mayat. “Kenapa engkau minta dibakar?” tanya Allah.
“Makhafatak, Wahai Allah, semata-mata karena aku takut siksa-Mu.” Sebutir debu
rasa takut siksa Allah (al khauf) itulah yang mendatangkan ampunan Allah dan
memasukkannya ke surga. Saya bisa paham khutbah berbahasa asing tersebut,
karena saya pernah khutbah dengan topik yang mirip. Silakan visit www.terapishalatbahagia.net, lalu
search: Debu Takwa Pembebas Derita.
Baik di Amerika maupun di Canada ini, setiap Jum’at
selalu ada beberapa orang yang mendaftar sebagai sukarelawan sebagai pembersih
masjid, pengatur parkir, dan tugas-tugas lain demi kenyamanan para jamaah. Tidak
sembarangan, di antara sukarelawan itu, ada beberapa orang dengan status
pendidikan dan ekonomi yang tinggi. “Oh indahnya, jika itu ada di Indonesia,”
kata saya dalam hati.
Usai
shalat Jum’at, saya harus membuat persiapan untuk pengajian di basement rumah
DCM KBRI Ottawa, Ibu Suwartini Wirta, tempat saya menginap. Enak, tidak jauh
seperti pengajian sebelumnya. Saya tinggal turun dari lantai 3. Sebelum memulai
pengajian, seorang ibu meminta saya memimpin tahlil untuk almarhum bapak KH.
Hasyim Muzadi yang berita wafatnya menyebar di semua WA warga Indonesia di
sini. Sebelumnya, saya juga dipesan panitia untuk lebih banyak menggunakan
bahasa Inggris, sebab kebanyakan putra-putri mereka sudah kesulitan memahami
bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, doa-doa tahlil juga saya campur dengan
penjelasan maknanya dalam bahasa Inggris. Saya jelaskan juga, bahwa yang akan
kita lakukan ini doa, bukan tahlil, agar beberapa orang yang tidak berkenan
atau tidak biasa tahlil tidak enggan mengikutinya. Juga saya jelaskan bahwa,
doa ini juga untuk orang tua kita semua, khususnya semua anggota keluarga yang
telah berada di alam kubur. Ya, agak gagap sedikit dan kadang jedah tahlil agak
lama, karena ini pertama kali memimpin tahlil berbahasa Inggris. “Just be
quiet, brotehrs and sisters who do not want the supplication for their parents
that I will read later,” pinta saya dengan hormat kepada sebagian orang yang
tidak berkenan dengan doa bersama selama lima menit tersebut.
Doa dan
ceramah sudah berakhir, dan saatnya semua hadirin menikmati makan malam.
“Monggo pak, ini semua sudah lapar. Bapak-bapak menunggu pak ustad memulai
dulu,” kata ibu setengah baya sambil membukakan mangkok besar yang berisi sayur
asam dengan irisan jagung manis dan kacang panjang di dalamnya. “Monggo meniko
wingko ugi teh manis kagem bapak (silakan, ini wingko dan teh manis untuk
bapak),” kata pak Sukardi, asal Sragen yang sejak saya di Ottawa selalu sibuk
menyediakan untuk saya semua pakaian penakluk salju dan segala makanan yang
saya suka. Saat itu, saya duduk berhadapan dengan Bapak Hendro yang harus menempuh
2,5 jam perjalanan dari Montreal. Beliau pakar teknisi hebat di pabrik pesawat
terbang terkenal dunia, Bombarder Canada. Bayangan saya, karena tahlil dengan
campuran bahasa Inggris, makahidangannya: humberger, fried chicken, French
potatoes dan sejenisnya. Weleh-weleh, ternyata, sama dengan Indonesia:
Humbergedel, CFC: Cilacap fried chiken, potetoes: kentang goring tipis pedas,
kerupuk puli, sayur asam, bayam opor, bakwan, tempe, tahu, otak-otak, nasi
liwet, nasi putih, sambal trasi, wingko, martabak, kopi, teh manis dan
sebagainya. Setelah semua makanan diabsen, yang tidak hadir hanya satu,
“Jengkol,” kata ibu wakil dubes, diplomat karir asal Cirebon sambil tertawa.
Makanan jenis itulah yang amat dirindukan, serta hanya ditemui ketika ada
pengajian dari rumah ke rumah.
Sebenarnya
masih ada masjid yang tak kalah menariknya untuk ditulis dalam laporan ini,
yaitu Assalam Mosque and The Ottawa Islamic Center di St. Laurent Boulevard,
Ottawa, ON K1G 5G6, Canada. Inilah nite club yang dibeli oleh komunitas muslim
Somalia pada tahun 2007 untuk dijadikan masjid. Beberapa gereja di Ottawa
akhir-akhir ini juga ditawarkan kepada masyarakat muslim, tapi sayang, keuangan
yang tidak mencukupi untuk membeli semuanya. Pengurus gereja rata-rata berharap
bahwa gereja itu bisa beralih untuk peribadatan, bukan untuk penjualan miras
atau kegiatan-kegiatan negatif lainnya. Sayang, saya tidak bisa mengunjungi
masjid-masjid atau sentra-sentra kegiatan Islam secara keseluruhan, karena Ahad
pagi besok harus melanjutkan tour dakwah ke Toronto. (Ottawa, Sabtu 18-3-17).
Keterangan
Gambar: (1) depan Masjid Rahmah, usai shalat Jumat (2)
bangunan Masjid Rahmah (3) putra-putri Indonesia yg sudah sulit berbahasa
Indonesia (4) lesehan setelah tahlil. Di antaranya Bapak Hendro, tenaga ahli di
pabrik pesawat Bombarder Canada
___________________________________________________________________
KEAHLIAN MESIN PESAWAT
UNTUK KUALITAS SHALAT
UNTUK KUALITAS SHALAT
Catatan ke 18,19 (Ahad, Senin, 19-20 Maret
2017) Tour Dakwah Amerika Canada
Ketika
berwudlu pada Sabtu subuh (17/3), saya terkejut melihat darah kental agak
menghitam keluar dari hidung. Bukan karena apa-apa, hanya karena lebih banyak
dari biasanya. Dulu, ketika di Iran dengan udara yang amat panas, saya pertama
kali takut melihat tetesan darah dari hidung, karena itu pertama kali dan baru
tahu kemudian, itu hal biasa akibat keterkejutan fisik menghadapi cuaca akstrim
yang baru. Hari itu sedikit menegangkan, sebab beberapa jam lagi, dilaksanakan
Training Terapi Shalat Bahagia, puncak dari semua rangkaian tour dakwah di
Ottawa. Sedikit tegang, karena biasanya training didampingi tim, sekarang
sendirian, dan berbahasa Inggris lagi.
Dalam perjalanan menuju kantor KBRI, tempat training
dilaksanakan, saya menerima kiriman dua foto yang sangat saya butuhkan, yaitu
foto antrean panjang warga Ottawa Canada yang beragama Kristen, Yahudi atau
ateis di depan masjid OMA (Ottawa Mosque Association) usai shalat Jum’at untuk
menyatakan belasungkawa atas penembakan teroris yang menewaskan beberapa muslim
di salah satu masjid Ottawa, sebagaimana saya laporkan pada catatan sebelumnya.
Kekaguman
dan apresiasi saya kepada warga Canada semakin besar, setelah Ibu Suwartini
Wirta, wakil dubes RI Ottawa yang semobil dengan saya bercerita tentang
ketulusan Perdana Menteri Canada. Ia super cepat merespon penembakan itu dengan
mendatangi semua masjid untuk meminta maaf atas kejadian memalukan itu. Beberapa
hari setelah peristiwa penembakan, sejumlah warga non-muslim berjaga di setiap
masjid yang sedang melaksanakan ibadah. “Saya benar-benar merinding kagum
melihat pemandangan tersebut,” kata ibu wadubes asal Cirebon itu. Di Ottawa,
hampir dalam semua kegiatan agak besar oleh komunitas muslim, pemerintah
mengirimkan pejabat penting untuk menyampaikan pesan damai dan persaudaraan
yang lebih kuat.
Melihat kesejukan hidup antar umat beragama di Canada
tersebut, sekarang ini sejumlah muslim Amerika sedang antrean di Manitabo,
daerah perbatasan, sebagian hanya membawa tas rangsel menuju Canada untuk
mencari udara kehidupan agama yang lebih segar. Oleh
pemerintah Canada, semua mereka diterima dengan tangan terbuka.
Segera
setelah Bapak Teuku Faizasyah, dubes RI tiba di tempat acara, training shalat
dimulai. “Mohon maaf pak, nanti saya pindah duduk di kursi karena tidak kuat
duduk lesehan lama,” kata dubes yang juga menjabat perwakilan tetap RI pada
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Luar biasa, beliau dan istri
mengikuti enam jam training sampai selesai. Saya tidak tahu mengapa ada tugas
tambahan bagi beliau selain tugas sebagai dubes. Tapi, bisa saja dikaitkan
karena Canada memiliki pabrik pesawat bergengsi internasional, Bombarder di
Montreal, dan sebagian dari ahli-ahli mesin pesawat di dalamnya adalah
orang-orang cerdas dengan keahlian yang dibanggakan dari Indonesia. “Kami
bersama teman-teman dari pabrik pesawat, Bombarder datang khusus untuk
mengikuti acara bapak,” kata Pak Sigit, salah satu dari mereka yang kelihatan
agak lelah setelah menempuh ratusan kilometer (2,5 jam) dari Montreal ke
Ottawa. Mereka memaksakan datang ke Ottawa karena acara training di Montreal
dan Vancouver dibatalkan karena suatu hal. Peserta yang serius lainnya adalah
Muhammad Yasin Hutasuhut yang baru datang dari Mekah, karena berpenduduk Mekah
dan Dr. Atik Ramadlan, doktor bidang gizi asal Pakista. “Bapak wajib mampir ke
rumah setiap umrah,” kata Yasin yang juga mempunyai rumah di Canada sambil
merangkul pundak saya dengan bahasa Arab yang cepat sampai saya hanya bisa
menjawab sekenanya, “ayhuwa, ayhuwa. Jazakallah.”
Ada
sedikit hambatan dalam training ini, yaitu belum ada satupun peserta yang telah
membaca buku Terapi Shalat Bahagia. Sebenarnya, setahun sebelumnya, soft-copy buku
sudah saya kirimkan ke pengurus ICMI Amerika Utara yang mengundang saya, untuk
diterbitkan di Amerika agar mereka membacanya terlebih dahulu. Tapi, rupanya
terdapat beberapa kendala. Antara lain, biayanya sangat mahal. Orang-orang
Pakistan pun di Amerika selalu pulang ke negaranya untuk mencetak buku-buku
Islam, lalu dikirim lagi ke sini melalui kapal. Kedua, hanya generasi tua yang
masih menggunakan buku kertas, dan selebihnya lebih suka E-book. Benar, saya
melihat hanya orang-orang lansia yang membaca buku kertas di bandara Houston
ataupun Chicago. Ketiga, buku itu berbahasa Indonesia, sedangkan sebagian besar
anak-anak mereka sudah tidak bisa lagi berbahasa selain Inggris. Saya baru
sadar, bahwa pemasyarakatan buku saya yang menginjak cetakan ketiga belas ini
tidak bisa tidak harus juga dicetak dalam bahasa Inggris dan juga bukan dengan
kertas lagi.
Selama
training, saya sangat terkesan betapa peserta, khususnya 25 peserta dari
Bombarder Montreal sangat serius dan amat kritis. Mereka sangat cepat menangkap
keterangan dan panduan training serta praktek menyusun doa secara afirmatif,
sebagaimana petunjuk dalam semua training yang dilaksanakan sebelumnya. Para
ahli mesin pesawat ini dulu adalah tenaga ahli di pabrik pesawat kita di
Indonesia hasil pendidikan Jerman yang dikirim oleh Bapak Habibie. Tapi
pergantian kepemimpinan nasional membawa masa depan perusahaan kebanggan waktu
itu suram. Bahkan, harus memutuskan hubungan kerja sebagian karyawan. Saat
itulah orang-orang potensial tersebut dijadikan rebutan pabrik-pabrik pesawat
dunia, termasuk Bombarder.
Pada
sesi tanya jawab, terjadilah dialog yang macam-macam dan unik. Antara lain,
“Pak, jangankan shalat dengan renungan panjang, shalat saya saja masih
lobang-lobang. Bagaimana bisa menutup lobang itu?” “Apakah ada dasar dari Nabi
tentang doa dalam shalat yang panjang-panjang itu?” “Apa ukuran bahagia, dan
apakah jika sudah bahagia, kita boleh meninggalkan shalat?” “Sekarang ini saya
tambah bingung dalam beragama, setelah semrawutnya fatwa-fatwa agama dalam
media sosial. Apakah ini tanda akhir zaman,?” Pertanyaan terakhir sebagai
penutup dari bapak dubes, “Mengajari agama, khususnya shalat untuk anak-anak
kita yang lahir di negara asing dan lama bergaul dalam lingkungan yang tidak
sama dengan Indonesia memerlukan teknik yang khusus. Bagaimana caranya pak?”
“Lha
sudah tahu media sosial menambah bapak bingung, kenapa diteruskan. Tutup saja.
Insyaallah tidak bingung lagi,” jawab saya, yang disambut gerrr peserta. Saya
tambahkan juga keunikan ataupun hoax dalam media sosial. Sopir yang menemani
saya dalam setiap kegiatan pengajian di Houston menunjukkan arah tempat jutaan
burung yang akan berhijrah bersama-sama dalam suatu pergantian musim. “Ternyata
gambar kawanan burung itu masuk di internet dengan tulisan di bawahnya,
“Pasukan burung ababil didatangkan Allah untuk menyerang Trumph akibat
kebijakan baru terhadap orang-orang Islam.” Anehnya, posting itu dipercaya,
dikutip dan dishare ke banyak orang.
Untuk
kelengkapan jawaban tentang cara mendidik keagamaan anak di Amerika, saya
meminta pak dubes dan semua jamaah untuk menggunakan buku terbitan muslim
Indonesia di Inggris yang tergabung dalam KIBAR (Keluarga Islam Britania Raya)
yang ditulis menyusul kegelisahan yang sama tentang pendidikan anak. Penjelasan
itu dikuatkan oleh Bapak Abul Asri Siregar yang pernah lima tahun di Inggris,
sebelum sekarang menjadi staf KJRI Toronto. Dia datang ke acara training,
karena sebagai ketua pengajian MIT (Muslim Indonesia Toronto), ia menjemput
saya, sekaligus mengetahui hal-hal apa saja yang diperlukan untuk training
shalat di Toronto.
Inilah sejumlah pertanyaan yang sering dikemukakan
anak-anak atau remaja yang saya jumpai selama di Amerika dan juga saya
gabungkan dengan pangalaman di Inggris beberapa tahun sebelumya. Di Houston,
saya ditanya, “Benarkah Nabi menikahi wanita berusia 7 tahun? Bisakah itu
dibenarkan?” Beberapa orang tua di Amerika mengeluh karena ketika menyuruh
anaknya shalat, ia menjawab, “Untuk apa shalat? Teman-teman sekolah saya lebih
cerdas dan bahagia tanpa shalat” “Katanya kami harus bergizi dan cerdas,
mengapa seusia saya ini harus berpuasa?” “Mengapa bapak menjadi imam terus di
masjid, apakah saya dianggap tidak mampu?” “Mengapa tidak ada satupun nabi yang
wanita. Semua monopoli lelaki? “Sebaiknya, untuk mengangkat jari telunjuk pada
saat tasyahud, lebih baik ibu jari yang diangkat sebagai pengganti jari
telunjuk, sebab itu lebih mengena, yaitu menunjukkan Allah itu Esa dan
excellent.” “Bapak memukulku karena tidak shalat, dan katanya itu ajaran nabi, apakah
Islam mengajarkan kekerasan begini.?” “Mengapa suami diijinkan memukul istri
sekalipun dengan sapu tangan, sedangkan istri tidak memperoleh hak yang sama?”
Jangan
dikira saya bisa menjawab semuanya. Saya bukan kamus Islam atau buku pintar
yang berjalan. Kepada mereka kita tidak bisa hanya mengatakan, misalnya,
“Ya…sebagai muslim, kita harus taat kepada Al Qur’an dan hadis Nabi SAW. Titik,
jangan dibantah lagi!” Pada sesi itu, saya hanya bisa menganjurkan, “Mempunyai
anak di negara begini, kita juga harus lebih cerdas dan banyak berdoa. Hanya
orang tua yang ceroboh yang tidak mau bangun malam dan bersujud panjang untuk
memintakan petunjuk dan perlindungan untuk anaknya dari pemikiran yang sesat.
Mulut kita terbatas, tangan kita hanya setengah meter, mata kita yang sejauh
memandang untuk mengawasi anak, maka kita perlu bantuan Allah. Melalui shalat ,
kita harus yakin (3x) bahwa Allah pasti (3) Maha Kuasa membimbing anak kita.”
Jawaban
itulah yang kemudian ditirukan peserta usai acara untuk gurauan. Pada saat
makan malam itu, saya mendengar dua orang yang bersahutan, “Saya yakin (3x),
pasti (3x) ini makanan lezat,” sambil mengambil piring dan mangkok untuk nasi
dan bakso dalam deretan hidangan di atas meja memanjang yang dalam undangan
mereka sebut, potluck.
Inilah
Subuh pertama kali (Senin, 20/3) di Toronto (kira-kira perjalanan empat jam
dari Ottowa). Udara tidak terlalu dingin dibanding Ottawa. Saya diajak pegawai
KJRI jalan kaki berjamaah shubuh di masjid Toronto. “Nanti sepulang dari
masjid, bapak harus tritmil di lantai 1 kantor kita agar berkeringat, dan
setelah itu kita menikmati roti begel dan kopi Tim Hortons.” Begel adalah
makanan breakfast kebanyakan orang Yahudi. Inilah salah satu masjid Toronto
yang mengadakan shalat Jum’at empat angkatan karena kepadatan pengunjung, yaitu
dua “kolter” sebelum masuk waktu dhuhur, dan dua kloter sesudahnya. Menarik
kan? Insya-Allah akan disambung pada catatan berikutnya. (Toronto, Senin,
20-3-2017).
Keterangan Gambar: (1) Pelaksanaan Training
di KBRI Ottawa (18/3), (2) Antrean non-muslim mengucapkan belasungkawa usai
shalat Jum'at di masjid OMA Ottawa (3) Peserta training: Ust Yasin dari Mekah
dan Dr. Atik Ramadhan asal Pakistan (4) Dubes RI Ottawa, Teuku Faizasyah.
“GEREJA” DENGAN
KALIGRAFI AL QUR’AN
Catatan hari ke 20,21
(Selasa, Rabo, 21-22 Maret 2017)
Tour Dakwah Amerika Canada.
Tour Dakwah Amerika Canada.
Tulisan ini saya catat
sepulang dari shalat subuh di Masjid Toronto (21/3) di jalan protokol Adeleide
Toronto Canada. Tidak ada nama khusus untuk masjid yang dibangun di bawah MAC
(Muslim Association of Canada) ini. Inilah lembaga yang menanungi semua masjid
di Canada. Tidak hanya menaungi, tapi juga mencari titik-titik mana wilayah
yang masih membutuhkan masjid. Hampir sama dengan sejarah beberapa masjid
lainnya di Canada, masjid tempat saya shalat subuh ini baru didirikan sekitar
dua tahun silam (2015) setelah meminjam secara gratis ruangan gereja Katedral
St. James yang terletak 50 meter di depannya selama kira-kira 5 tahun untuk
shalat berjamaah dan kegiatan-kegiatan Islam lainnya.
Masjid Jami Toronto, masjid tertua yang dimiliki umat
Islam sejak tahun 1968 juga bekas gereja protestan Anglo Saxon atas biaya
pemerintah Saudi Arabia. Masjid yang terletak di tengah kota paling elit di
jalan High Park Toronto itu merupakan hadiah raja Saudi Arabia kepada muslim
Toronto setelah mengenal lebih dekat kehidupan mereka selama ia ditangani oleh
dokter-dokter pilihan di Canada. Sampai sekarang, bentuk bangunan gereja itu
masih tetap, sekalipun sudah berubah fungsi. Jika Anda mencari bangunan gereja
raksasa dengan ornamen timur tengah dan kaligrafi Al Qur’an yang cantik, maka
datanglah ke masjid ini. Sama dengan masjid-masjid di Eropa yang bekas gereja,
bentuk bangunan luar tidak boleh dirubah sama sekali. Antara lain Masjid Al
Hikmah milik komunitas Indonesia di Den Hag Belanda, hanya loncengnya saja yang
dilepas, dan masjid bekas gereja juga di Amsterdam yang dibeli komunitas
Maroko. “Andaikan tidak dibatasi oleh pemerintah Canada sekarang, mungkin lebih
banyak lagi gereja yang beralih menjadi masjid,” kata Syafruddin Marzuki, asal
Aceh yang menemani saya tinggal di wisma dan mengantar saya ke beberapa masjid.
Subuh itu saya tidak shalat di masjid tertua yang
paling unik di dunia tersebut, sebab agak jauh dari penginapan. Saya hanya
shalat di masjid kecil seluas 8 x 20 m terdekat, yang sama sekali tidak nampak
sebagai masjid, sebab pintunya sempit, tanpa halaman dan terdapat dalam deretan
pertokoan Adeliede. Masjid ini hanya ramai waktu dhuhur dan ashar, sebab dekat
mall dan pusat pusat bisnis. Jika shubuh, ya hanya satu shaf sebanyak 20 orang.
Mungkin Anda yang pertama kali shalat di masjid ini agak terganggu
konsentrasinya. Mengapa? Azan dan iqamat dikumandangkan oleh pria usia 60an
dengan jubah biru muda, berwajah bersih dan tutup kepala bulat putih. Semula
saya yakini, lelaki tampan, wibawa dan menarik itulah yang akan menjadi imam.
Eh.. ternyata ia justru mempersilakan anak muda dengan rambut keribo agak
panjang, bercelana jeans krem yang kusut dan berjaket kulit cokat tua. Tapi,
ketika ia mulai membacakan surat al Fatihah dan surat Yusuf yang panjang,
masing-masing rakaat kira-kira satu halaman mushaf Al Qur’an, saya baru bisa
melupakan penampilannya yang seperti pekerja kasar Indonesia itu, dan hanyut
dengan kefasihan dan irama lagunya. Setelah memimpin shalat, ia langsung
memegang mik untuk mengumumkan perubahan jam shalat shalat shubuh esok harinya,
tanpa salam dan sangat singkat, kira-kira hanya 20 detik. Setelah itu, iapun
langsung ngeluyur keluar masjid mendahului para jamaah dan tanpa satupun orang
menjabat tangannya. Begitulah masyarakat di sini menyetarakan status sosial
semua muslim, dan para imampun tidak mengemis-ngemis penghormatan. Saya yang
pakai kopyah putih dan baju takwa dengan jaket tebal yang membalutnya tidak
hafal Al Qur’an, sedangkan orang yang berpenampilan amburadul berprestasi
menghafalnya. “Dia orang Arab pak, dan bukan imam tetap, hanya pekerja yang
sering shalat di sini,” kata Syafruddin Marzuki yang baru saja berangkulan
dengan sesepuh masjid yang dipanggilnya “uncle.” Panggilan uncle biasanya untuk
orang yang lebih tua dan disegani. Sedangkan panggilan brother atau sister
untuk yang seusia atau lebih muda. “Assalamu’alaikum. How are you brother,”
adalah panggilan di antara mereka yang paling sering saya dengar di Toronto.
Pada subuh sebelumnya, terjadi peristiwa yang sama.
Tak saya duga sama sekali, lelaki berkulit hitam, kekar dengan celana jeans,
berjaket olahragawan dan tanpa tutup kepala justru yang ditunjuk sebagai imam.
Sekalipun lagunya tidak semerdu imam sebelumnya, tapi saya heran akan pilihan
ayat yang dibacanya yang panjang dan hafalannya yang tidak tersendat
sedikitpun. Imam yang membaca surat Jin pada rakaat pertama tersebut juga bukan
imam tetap. “Ana Khalid min Ethiopia (saya Khalid dari Ethiopia),” katanya
menjawab pertanyaan saya tentang asal negaranya. Lalu saya jawab, “Oh, minal
Habasyah, baladin ilaihi hajara Rasulullah SAW liawwali marrah (oh, negeri
Habasyah tempat hijrah rasulullah SAW pertama kali,” dan ia tersenyum sambil
menjabat tangan saya, “marhaban, marhaban”. Saya sengaja menggunakan bahasa
Arab, sebab rata-rata muslim Toronto yang berasal dari Afrika atau timur tengah
lebih akrab dan apresiatif dengan bahasa itu. Mereka heran, bagaimana penduduk
Asia bisa berbahasa Arab lancar dengan standar grammar yang benar.
Sekarang, masjid yang berhadapan dengan gereja Katedral
St. James yang pernah berbaik hati meminjami umat Islam untuk ibadah beberapa
tahun tersebut sudah tidak bisa menampung jama’ah. Shalat Jum’at harus
dilaksanakan empat shift, dua shift dilakukan sebelum memasuki waktu dhuhur,
dan dua shift berikutnya setelah dzuhur seperti dilakukan di Indonesia. “Hah
empat angkatan? Hah dilaukan sebelum dhuhur?,” heran saya. Karenanya, MAC
(Muslim Association of Canada) telah membeli gedung percetakan di sebelah kiri
masjid dengan luas tiga kali lipat dari masjid yang ada.
“Apakah sah pak hukumnya, shalat Jum’at sebelum waktu
dhuhur?” tanya pria Indonesia berkulit putih dengan jenggot pirang yang sudah
beberapa kali khuruj (pergi keluar kampungnya untuk dakwah) di India dan
Pakistan yang menemani saya. Pada saat saya berkeringat di atas tritmil setelah
30 menit berlalu dan berhasil membakar 126 kalori, secara tidak langsung ia
tidak sependapat dengan cara shalat Jum’at demikian, sekalipun ia tidak punya
hak untuk berbicara. Untung, di dalam masjid tersebut ada kitab Fiqhus Sunnah
karya Syekh Sayyid Sabiq di antara deretan kitab-kitab Islam klasik lainnya,
yaitu Riyadus Shalihin, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Dhilalil Qur’an karya
Sayyid Qutb dan sebagainya. “Tak apa Anda tak setuju, tapi jangan memusuhi,
sebab dalam Fiqhus Sunnah ini sudah dijelaskan panjang lebar berbagai pendapat
tentang waktu shalat Jum’at,” kata saya menghibur dan memberi pendangan. Sejauh
yang saya ketahui selama kunjungan ke beberapa masjid di Canada, selalu ada
perpustakaan di dalamnya dengan kitab-kitab tafsir dan fikih yang banyak dikaji
di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Di sebuah masjid, juga terlihat
pengumuman sebuah acara penutupan (khatam) kajian kitab hadis Al Bukhari.
Rabo (22/3) kosong, tidak ada jadwal pengajian, karena
banyak pertimbangan, antara lain udara di bawah 20 C. Subuh itu, saya harus
menambah lapisan jaket dan memakai kaos tangan. Tiba-tiba setelah selesai
shalat sunah, para jamaah beretnis Afrika, Pakistan, Arab dan etnis lainnya di
Masjid Toronto itu menarik tangan saya untuk menjadi imam. Saya yang biasa
membaca basmalah dengan kencang dan qunut pada rakaat kedua harus meniadakan
keduanya demi menghormati kebiasaan di masjid setempat. Setelah shalat, tak ada
satupun orang yang mengajak jabat tangan saya atau memberi komentar. Jangan
berprasangka negatif bahwa mereka tidak apresiatif, karena tidak lazim jamaah
harus berjabat tangan dengan imam usai shalat, dan memang secara kualitas,
bacaan Al Qur’an saya tidak lebih baik daripada imam-imam yang ada. Apalagi
dibandingkan dengan imam di masjid-masjid besar lainnya.
Sehari sebelumnya, saya juga mengunjungi Masjid Darus
Salam di wilayah Thorncliff yang berpenduduk 80 % muslim. Di daerah ini
terdapat tiga masjid besar dan satu mushala. “Tidak termasuk masjid Syi’ah pak.
Ia tidak saya hitung,“ kata Syafruddin, mantan pengusaha kafe yang kemudian
gulung tikar, yang anaknya telah hafal 3 juz Al Qur’an. Ia menambahkan bahwa
masjid yang dikunjungi ini adalah bekas gudang yang dibeli umat Islam. “Jadi
perwajahannya ya begini ini, “ tambah Bapak Konsul Jenderal RI di Toronto
setelah mengajak saya makan siang di restoran Cina muslim. Pilihan restoran itu
memang permintaan saya, setelah ia menyodorkan pilihan sejumah nama restoran.
Saya hanya ingin bernostalgia dengan makanan Cina seperti yang saya nikmati di
Hong Kong atau Taiwan beberapa tahun silam. Menurutnya, di Toronto ini, makanan
muslim apa saja dan jenis masakan dari mana saja ada. “Lihat berapa puluh
restoran zabiha di sana itu pak,” tambahnya sambil menunjuk deretan bangunan
yang tertata rapi dekat masjid. Zabiha adalah istilah populer untuk daging
kambing atau sapi hasil sembelihan muslim, sedangkan Koshr adalah daging
sembelihan Yahudi. Masjid dengan komplek bisnis beginilah yang diinginkan
masyarakat Indonesia di Toronto, jika suatu saat dana terkumpul.
Menyusuri lorong masjid menuju pintu keluar, saya
melihat beberapa kelas pengajaran Islam dalam kelas-kelas formal yang mereka
sebut madrasah untuk anak-anak kecil dan remaja. Saya tidak sempat melihat
kurikulumnya, tapi yang jelas, pada jam itu semua pelajar yang berjubah sedang
belajar atau menghafal Al Qur’an. Mungkinkah kelak Indonesia mengimpor imam
dari Canada? Akan saya tulis jawabannya pada catatan berikutnya. (Toronto
Canada, 22-3-2017).
Keterangan Gambar: (1) Bekas gereja Anglo Saxon dan sekarang menjadi masjid jamik tertua di
Toronto (2) Gereja Katedral St. James yang meminjami umat Islam untuk shalat
berjamaah dan kegiatan Islam di Adeleide sebelum punya masjid sendiri 2 tahun
silam (3) Depan masjid Darus Salam, bekas pergudangan bersama Konjen KJRI (4)
Masjid kecil Toronto setelah tidak lagi meminjam gereja Katedral di depannya.
![]() |
|||
![]() |
|||
__________________________________________________________________
24 Maret pukul 21:52
SOTO UNTUK PESANTERN TORONTO
Catatan hari ke 22-23 (Kamis Jum’at 23-24 Maret 2017)
Tour Dakwah Amerika Canada
Sejak di Houston, Chicago, Indiana State (USA), maupun di Ottawa (Canada),
saya selalu menolak keluar penginapan selain untuk jadwal pengajian yang telah
ditetapkan. Bukan karena apa-apa, semata-mata untuk menjaga kondisi fisik,
sebab perjalanan masih jauh. Bem ada separuhnya. Ahad depan (26/3) saya harus
terbang ke Los Angeles, Las Vegas, Seattle, Phoenix Arizona dan beberapa kota
lainnya di USA. Saya tidak boleh main-main, sebab tidak sedikit orang Indonesia
yang jatuh sakit setelah tiba di negara ini karena ketidaksiapan fisik
menghadapi cuaca yang amat kontras dengan cauaca Indonesia. Dan, ingat ini:
jika sakit, pundi-pundi simpanan kita bisa habis untuk berobat di sini. “Tangan
anak saya terkilir sewaktu sekolah dasar. Untuk sekali ke dokter, Rp. 6 juta
pak,” kata salah satu pegiat dakwah. “Jika istri sakit gigi, lebih murah untuk
beli tiket pulang pergi ke Indonesia plus berobat di sana. Jadi, berobat yes,
dan silaturrahim keluarga juga yes,” kata pegawai KJRI yang setia menemani saya
selama di Toronto. Saya bersyukur ditemani alumni S2, MBA Houston Texas ini.
Setiap subuh, ia mewajibkan dirinya shalat berjamaah di masjid sekalipun tulang
harus remuk redam diremas salju. Jum’at (24/3) hujan. Tak ada payung, ia tetap
mengajak saya shalat shubuh. Ia tenang saja kehujanan sedikit berlari dan saya
ditutupi jas tebal miliknya. Saya amat bersyukur mendapat suntikan infus cinta
masjid darinya. Jangankan kepada saya, suami Sonya, alumni Unversity of British
Columbia Vancouver ini tidak ragu sama sekali untuk mengetuk pintu semua
tetangganya yang muslim untuk shalat berjamaah, kenal atau tidak. Tapi untuk
kali ini, saya tidak bisa menolak keluar. “No excuse. Bapak harus ikut saya ke
Niagara Falls, air terjun terajaib di dunia. Saya berdosa jika tidak mengantar
bapak kesana,” katanya dengan nada seratus persen memaksa. Hari itu harus
pergi, karena udara berikutnya tidak memungkinkan, kira-kira minus 20 C dan
hari-hari berikutnya acara sangat padat.
“Silakan tidur pak, insyaallah perjalanan 120 km ini bisa kita tempuh 90
menit,” katanya kepada saya yang duduk di sebelah kanannya. Di Amerika dan di
Canada sama-sama posisi stir mobil sebelah kiri. Benar-benar indah memang.
Beberapa orang menggunakan jas hujan dekat air terjun itu. “Ini bukan hujan
pak. Ini percikan dari kerasnya air terjun yang memanjang sekian kilo meter
itu,” terangnya. Saya menyaksikan arus dahsyat aliran air biru nan jernih
sebelum terjun ke bawah, persis seperti arus air laut yang menghanyutkan
mobil-mobil dan semua bangunan pada bencana Sunami Aceh sekian tahun silam,
sebagaimana kita saksikan di televisi. Air itu berasal dari Amerika, tapi hanya
bisa disaksikan dari daratan Canada yang berbatasan dengan New York State.
“Itu, tu pak, pintu imigrasi untuk memasuki USA,” tunjuknya.
Dalam mobil perjalanan pulang, sambil melepas pembungkus kepala dan kaos
tangan penghangat, saya membacakan doa hafalan saya karya Ibrahim bin Ad-ham
versi Indonesia untuk pak Syafruddin Marzuki, yang sekaligus sebagai driver,
“Oh Allah, aku ingin bertasbih bersama lautan yang bertasbih dengan gemuruh
gelombangnya, bersama semua ikan di laut yang bertasbih dengan gerakan-gerakan
bibirnya, bersama langit yang bertasbih dengan gemerlap bintangnya, bersama
pohon yang bertasbih dengan tarian daun-daunnya.” Lalu saya tambahkan, “Oh
Allah, aku juga bertasbih bersama nyanyian air terjun Niagara dan milyaran
butir percikan air yang dilemparkan ke udara.” Mengapa saya ingat doa itu?
Karena itulah doa dalam Kitab Al Qulubud Dhaari’ah oleh Fethullah Gulen, ulama
kharismatik Turki yang sekarang berada di Amerika ini, demi keselamatan dari
pengejaran teman sekelasnya yang sekarang memimpin Turki. Saya memang pecinta
buku-buku karyanya. Apalagi sekarang saya sedang membimbing desertasi tentang
tokoh modern sufistik Turki itu.
Sampailah saya kemudian ke Lake Toronto yang airnya berasal dari Niagara
Falls di atas. Saya menolak untuk diajak turun. Cukup dari mobil saja. Saya
lihat sangat luas, biru dan agak memutih karena begitu banyaknya burung putih
yang berterbangan rendah di atasnya. Burung yang di tepi danau juga akrab
dengan pengunjung. Teringatlah saya akan rubuan bebek dan angsa di Ottawa River
yang justru menyuguhkan kepalanya untuk dibelai pengunjung dari penduduk
setempat.
Maaf, sekali lagi maaf. Kemungkinan besar, Anda tidak akan diberi
kesempatan oleh burung, bebek dan angsa-angsa liar di Ottawa itu untuk
membelainya, sebab kelembutan jiwa Anda telah tercerabut sampai ke
akar-akarnya. Anda dipandang sebagai pemangsanya. Bisa saja hewan-hewan tak
berdosa itu berkata sinis kepada Anda, “Jangankan engkau mengasihi kami, kepada
sesama manusia saja engkau bermuka bengis.” Atau lebih ekstrim lagi, “Jangankan
kepada non-muslim, kepada sesama muslim saja engkau tega mengalamatkan kata
“musyrik, bid’ah” bahkan “anjing, setan, iblis” atau kata-kata lain yang kurang
enak di daun telinga perindu kedamaian. Tahukah Anda mengapa jadwal tour dakwah
saya digeser dari New York ke Ottawa Canada? Tidak lain, karena bulan-bulan ini
sesama pengurus masjid di kota tersibuk di USA itu lagi berselisih sampai harus
ke meja hijau menunggu palu hakim di diketok. Jika saya memenuhi undangan salah
satu dari dua kubu dimungkinkan menambah masalah, maka lebih baik tidak sama
sekali. Cukup, cukuplah kulkas (kuliah ringkas) ini. Ayolah sekarang kita
memperbanyak sujud panjang untuk menyerap sifat Rahman Rahim (kasih sayang)
Allah SWT, melembutkan hati dan menebarkan sifat Allah itu untuk semua
binatang, lebih-lebih sesama manusia, lebih-lebih lagi sesama muslim.
Sedikit lelah tapi senang perjalanan pulang telah memasuki downtown
Toronto, sudah mendekat wisma KJRI, tempat saya menginap selama 10 hari. Tapi,
azan magrib di cell phone (istilah yang lebih dikenal daripada hand-phone)
terdengar, maka kami berdua salat maghrib berjamaah di Masjid ISNA, yang
terletak di 2200 South Sheridan Way, Missisauga. Inilah masjid yang memiliki
ISNA School, sekolah Islam terfavorit karena paling berkualitas di Toronto.
Tapi, pasti juga termahal. Di masjid itulah saya menjumpai puluhan remaja
berjubah coklat muda yang sudah hafal Al Qur’an. Saya juga melihat anak-anak
kecil dalam kelas “medressa” masing-masing yang duduk dengan menegakkan salah
satu lututnya sambil mengangguk-anggukkan kepala untuk menghafal Al Qur’an.
Beda dengan cara duduk anak-anak kita di Indonesia.
Di pintu keluar masjid itulah, saya diperkenalkan dengan warga Indonesia
yang tinggal dekat masjid itu. “Maaf kemarin sore, kami tidak bisa mengikuti
training shalat bapak di KJRI,” sapa wanita, istri Indra Satria, chef di
restoran ternama di Toronto. “Hari itu kami berdua menjenguk anak saya yang
sekarang tinggal di Darul Ulum,” lanjutnya. Sambil mendengarkan percakapan
mereka, saya terkagum karena mereka mengirim anaknya di pondok pesantren
Jombang Jawa Timur. “Sekarang masih sekolah menengah dan hifz (hafal al Qur’an)
baru 20 juz pak,“ lanjutnya sambil mengikat tali sepatunya yang tinggi menutup
tumit untuk penahan dingin. Kata hifz tidak asing bagi telinga semua muslim
Toronto. “Sabtu, pak Ali akan melanjutkan training. Bisa ikut kan?” kata pak
Syafruddin Marzuki yang setiap pagi tidak pernah absen membelikan saya Double
Chocolate di Tom Hortons. Eh..ternyata, Darul Ulum yang dimaksudkan adalah
Darul Uloom Canada, semacam pondok pesantren yang berlokasi di 51 Prince St. N,
Catham, dua ratusan kilometer dari Toronto atau sekitar 4 jam perjalanan dari
Toronto. “Wah, anak saya yang hifz baru tiga juz, apa mau ya saya pindah ke
sana?” tanya Syafruddin kepada dirinya sendiri.
Esok harinya, Kamis (23/3) saya ketemu lagi dengan imam masjid dengan anak
muda beretnis Arab yang sudah saya ceritakan pada catatan sebelum ini. Lebih
norak lagi pakaiannya, kali ini berkaos oblong putih dengan tulisan nama
kampusnya, “University of Toronto” yang terbalut jaket coklatnya. Pagi ini,
celanya ganti levies biru yang sudah setengah memudar. Saya tidak lagi
dipersilakan menjadi imam, ya.. mungkin karena pada subuh sebelumnya saya
mendapat kirtik terlalu pendek dan kurang panjang bacaan saya untuk ukuran
masjid tersebut. Semua imam membaca sekitar satu halaman Al Qur’an untuk setiap
rakaat. Pada subuh Kamis itu, saya merasakan keasyikan mendengar bacaanna
seperti hari dua hari sebelumnya. Ia memberi komando takbir untuk sujud tilawah
pada raakaat pertama sebab dalam surat yang dibaca tersebut ada ayat tilawah.
Jum’at (24/3) juga bersujud tilawah sebab pada rakaat pertama itu dibaca surat
As Sajadah tuntas, yang salah satu ayatnya mengandung perintah sujud tilawah,
dan surat Al Insan pada rakaat kedua.
Begitulah suasana shalat berjamaah hampir di semua masjid di Toronto,
kecuali untuk shalat maghrib dengan surat-surat pendek. Dan itulah yang ikut
mewarnai kehidupan muslim Indonesia di sini. Kalau dihitung, sudah puluhan anak
Indonesia yang hafal Al Qur’an lebih dari lima juz. Dalam beberapa kali
perkumpulan pengajian, selalu terdengar pembicaraan di antara komunitas
Indonesia soal hifz tersebut. Dalam interaksi di sekolah-sekolah Islam,
anak-anak Indonesia juga sudah terbiasa mendengar hifz teman sekelasnya.
“Ustad, ini hadiah dari saya, agar ustad lebih keren,” kata Rudy Hartono,
pegawai KJRI asal Kediri Jatim yang tiba-tiba memasuki kamar saya di lantai
bawah KJRI, sambil menyerahkan topi abu-abu berasesori merah. “Wah bagaimana
jika rindu pecel Kediri mas,” tanya ringan saya kepadanya. “Semua bumbu dan
sayur pecel apa saja ada di sini. Jangan khawatir pak,” jawabnya meledak-ledak.
Sekarang, dengarkan pengalamannya mengenai perbandingan kehidupan keagamaan
anak-anak kita di Toronto dan Indonesia. Saya harus membetulkan posisi duduk
saya agar tampak siap dan serius mendengarkan kisah-kisah spiritual dirinya serta
teman-temannya di Toronto.
“Di sini, tidak ada ruang abu-abu. Kalau mau jadi orang baik, ya ada
tempatnya, dan kalau mau jadi orang bejat (rusak) ada tempatnya juga. Aturannya
ketat dan itu ditegakkan. Pembeli rokok harus menunjukkan kartu identitas untuk
diketahui usianya. Demikian juga pemeriksaan ketat dan membayar tiketnya yang
mahal dengan batasan usia di atas 18 tahun untuk pembeli miras dan pertunjukan
porno.” Pria yang bekerja sebagai staf konsuler itu kemudian berdiri untuk
mendemonstrasikan sepenggal joget porno Indonesia dan melanjutkan kisahnya
dengan nada semakin meninggi, “Mana ada pembatasan usia pembelian rokok, miras,
memasuki bar dan nite club di Indonesia. Jika ada, apa sudah ditegakkan?” “Pak,
anak saya sedih dan bertanya terus menerus, “What’s that daddy?” ketika saya
ajak pulang ke Indonesia dan melihat pertunjukan musik di lapangan terbuka.
Bagaimana bebasnya anak-anak usia sekolah kita berjoget mengikuti putaran
pinggul penyanyi di atas panggung dengan bagian atas dan pahanya terbuka sampai
minus sekian derajat.” “Apakah ini tidak direkam dalam otak generasi kita pak?”
Saya lalu mengambil pulpen untuk mencatat pandangan-pandangannya tentang
masa depan anak Indonesia. “Oh ya pak, mana pakaian bapak yang kotor untuk saya
bawa ke laundry,” pintanya kepada saya sebagai selingan, lalu mengatakan sambil
menghela nafas, “Sudah sangat pantas, jika Allah menurunkan azab bertubi-tubi
ke Indonesia.” Sunyi sejenak. Sama-sama diam. Lalu ia melanjutkan dengan suara
lirih, “Saya bersyukur pak ditakdirkan Allah bekerja di negara yang banyak
orang Indonesia menyebutnya negara “kafir” ini. Tak apalah.”
Dia melihat jam, dan harus kembali ke ruang kerjanya. Sambil merangkul
pundak saya, ia menutup kisahnya dengan bangga. “Pak, setelah 21 tahun saya
bekerja di sini, jika bapak mau, akan saya tunjukkan daftar teman-teman
Indonesia yang justeru menjadi santri setelah tinggal beberapa tahun di sini.
“Ibu-ibu yang semula berpakaian minim dan perokok berat, sekarang pada pintar
mengaji, berhenti merokok dan berhijab. Teman-teman yang semula kecanduan
narkoba dan pecinta musik yang kencang-kencang sekarang mengisi cell phone nya
dengan suara-suara mengaji imam masjid Makkah dan Madinah Anak-anak mereka juga
disekolahkan ke sekolah-sekolah Islam dengan program hifz. Di sini mereka
belajar juga bagaimana kita harus mendahulukan orang tua, wanita dan anak-anak
dalam semua pelayanan publik.”
“Eh pak, coba lihat undangan, Sabtu besok potluck (konsumsi) nya Soto
Lamongan lho pak,” katanya menutup pembicaraan. Benar, saya cek demikian
bunyinya undangan melalui WA. Saya kembali rebah istirahat ke kasur sambil
introspeksi dan berkata dalam hati, “Astaghfirullah, setelah di tanah air
nanti, saya akan meminta anak-anak saya untuk menambah download Al Qur’an dan
mengurangi konten-konten lainnya.”
Bisakah Indonesia melahirkan siswa-siswa hifz Al Qur’an? Bisa, antara lain
dengan cara mengurangi jumlah mata pelajaran dan jam belajar intra kurikuler di
sekolah. Tidak sepadat sekarang. “Anak saya yang SMA di sini, sangat santai. Mata
pelajarannya sedikit dan amat menyenangkan, “ kata Hadi Sapto, Konjen KJRI, dan
dibenarkan oleh Abdul Asri Siregar, ketua MIIT (Masyarakat Islam Indonesia
Toronto) yang semobil dengan saya menuju makan siang di restoran prasmanan
Pakistan, tidak jauh dari masjid bekas diskotik, kira-kira 30 menit perjalanan
dari KBRI. Saya lupa nama lokasinya.
Catatan saya akhiri karena saya sudah dijemput untuk
shalat Jum’at (24/3) di masjid tertua full kaligrafi Al Qur’an, bekas gereja
Anglo Saxon Toronto. Menurut saya Toronto bena-benar sebuah “pesantren” besar
yang bisa saja kelak akan diimpor untuk menjadi imam di masjid-masjid
Indonesia. (Toronto, 24-Maret 2017)
Keterangan Gambar: (1) "Ponpes" Darul Uloom Canada (2) ISNA School, sekolah Islam
terfavorit Toronto (3) Niagara Falls Toronto (4) Bersama Rudy Hartono
__________________________________________________________________
KHAUF-RAJA DALAM ALTAR “GEREJA”
Catatan hari ke 24-25 Tour Dakwah Moh. Ali Aziz di Amerika Canada
Lha, inilah yang lebih menarik daripada catatan sebelumnya tentang Gereja
Anglo Saxon Toronto yang sekarang menjadi masjid sejak 1968, karena catatan
sebelumnya baru tentang bagian luarnya, dan sekarang tentang interior
bagunannya serta pelaksanaan ibadah di dalamnya. Catatan ini baru bisa saya
ditulis setelah mengikuti shalat Jum’at (24/3).
Saya tidak tahu mengapa hati saya bergetar memasuki “gereja” tua menjulang
tinggi itu setelah membaca kaligrafi warna putih “Lailaha Illaallah” di bagian
teratas, persis sejajar dengan pintu masuk yang terbuat dari kayu jati tebal
dan amat berat didorong itu. Silakan cermati kaligrafi tersebut lurus di atas
kepala saya dalam gambar. Sekalipun masjid ini tertua, tapi sejauh yang saya
amati, masjid ini sepi dibandingkan masjid-masjid yang saya kunjungi selama di
Toronto. Pengunjungnya tidak memenuhi ruangan. Sedangkan masjid-masjid lainnya
justru tidak bisa menampung, dan harus mengadakan shalat Jum’at rata-rata 2-4
kali angkatan.
Melihat anak-anak kecil turun ke basement masjid, saya langsung membuntuti
mereka. “What are doing, children?,” tanya saya. “Pardon me,” pinta mereka
untuk mengulangi pertanyaan saya. Mungkin bahasa Inggris saya kurang familiar
di telinga mereka. “Are you from Turki?,” tanya mereka. Setelah saya jawab
bahwa saya bukan dari Turki tapi dari Indonesia, mereka bingung, “Negara mana
itu?,” katanya sambil menoleh kepada temannya yang berkulit hitam. Anak-anak
seusia kelas satu SD itu rupanya sedang mendapat tugas dari gurunya untuk
menggambar cara-cara orang berwudlu. Setelah berhasil membujuk mereka untuk berfoto,
saya naik ke lantai satu lagi. Ternyata saya menembus bekas altar yang biasa
dipergunakan untuk proses ritual ibadah gereja. Benar-benar sunyi, karena saya
datang memang lebih awal untuk menghindari kemacetan. Saya hanya melihat dua
orang tua usia 70an tahun di atas altar itu membaca Al Qur’an tanpa suara.
Selama saya di Houston, Chicago dan Canada ini, belum pernah saya lihat satupun
orang membaca Al Qur’an di masjid dengan suara, sekalipun lembut. “Pernah dulu,
ketika pertama kali ke sini, saya ditegur brother karena saya membaca Al Qur’an
dengan suara lirih, karena katanya mengganggu orang lain di sekitarnya,” cerita
salah satu warga Indonesia. Juga belum ada satupun masjid yang mengumandangkan
azan ke luar. Azan hanya terdengar dalam masjid saja. Begitulah penghormatan
kepada hak-hak asasi orang lain.
“Pak Abul, papan larangan apa di halaman parkir belakang gereja itu,” tanya
saya. Abul Asri Siregar adalah ketua MIIT (Masyarakat Islam Indonesia di
Toronto) atau Indonesian Muslim Community , Association of Toronto and The
Vicinity di jalan 2-235 Fifth Line West, Missisassuga Ontario Toronto yang
mengundang saya khusus di Toronto ini. “Itu larangan menghadapkan kenalpot ke
rumah warga yang tinggal dekat masjid ini. Mereka tidak mau bising atau bau asap
mobil sedikitpun dari pengunjung masjid. Jadi, kenalpot mobil harus diarahkan
ke masjid atau halaman tengah,” jawab pria Batak yang sehari-hari sebagai seksi
perdagangan di KJRI Toronto. Saya hanya menggut-manggut saja sambil
introspeksi, selama ini saya tidak merasa berdosa sama sekali mengganggu
kenyamanan orang dengan suara mesin mobil di rumah, atau cara berkendara di
jalan raya, atau ketika memarkir kendaraan dan sebagainya. “Pak, dari segi ini,
mana yang lebih Islam, orang-orang bule itu atau kita?” tanya Syafruddin
Marzuki yang mengantar saya ke masjid ini. Karena saya sudah tahu arah jawaban
yang diminta, saya diam saja, tidak menjawab.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar,” suara azan dikumandangkan orang berkaos
oranye lengan panjang dan bercelana longgar dengan empat saku lebar di kanan
kirinya sebagai tanda waktu zuhur sudah masuk. Uh…saya merasakan suara azan
dalam masjid ini sangat pas di telinga, mirip di Masjidil Haram Mekah. Tak ada
gema, tidak ada gaung, sangat bening dan enak di telinga. Saya kemudian melihat
ke bagian atas masjid. Ternyata semua atap terbuat dari kayu berplitur coklat
tua yang ditata rapi sampai bagian atas tertinggi yang tak terlihat ujungnya
karena sangat tinggi dan juga karena tidak ada cahaya di sekitarnya. Saya juga
sempat menghitung ada 15 kipas gantung kuno yang saya yakini sebagai
peninggalan gereja. Sebab, enam alat pemanas ruangan dalam ruangan itu juga
besar dengan sekat-sekat besi tua, tidak seperti alat pemanas yang modern
sekarang: ramping dan cantik. Jadi, kualitas suara azan yang menentukan
efektifitas komunikasi tersebut karena sound sistemnya yang bagus dan arsitek
bangunan gereja yang telah dirancang untuk menghasilkan suara yang enak di
telinga.
Dalam ruangan itu, saya hanya terganggu sedikit kedinginan, karena mesin
pemanas tidak dihidupkan. Menurut ukuran orang setempat, udaranya enak, sangat
hangat. “Maklumlah, bapak kan dari Surabaya, kota yang lebih panas dari
Jakarta,” jelas pak Abul Asri Siregar setelah shalat dengan rukuk dan sujud
yang sangat lama. “Yah…mulai praktek terapi shalat bahagia pak,” tambahnya
sambil melihat pengkhotbah yang bersiap menaiki tiga tangga mimbar.
Ketika khatib berjubah hitam dengan pelipis kuning seperti yang dipakai
Raja Salman memulai khotbah, saya jatuh cinta dengan suara, intonasi dan diksi
atau pilihan katanya. Ya, sangat tertarik, karena ketiga aspek retorika (suara,
intonasi dan diksi) itulah yang sedang dikuliahkan oleh dua asisten saya di
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel selama saya tour dakwah ini:
Mbak Baiti Rahmawati dan Ibu Ati Nursyaafa’ah. Mereka berdua asisten yang luar
biasa ketulusan dan keseriusannya dalam mengajar. Mereka selalu berkonsultasi
tentang persiapan kuliah dengan saya melalui facebook atau WA. Saya merekam
separuh khutbah sang imam, dan video itu nanti akan saya putar di depan kelas
untuk dipelajari bersama. Di samping saya harapkan bisa berkhutbah seperti
khatib masjid ini, para mahasiswa yang saya banggakan itu juga saya harapkan
bisa menulis laporan sebuah kegiatan dakwah seperti yang saya tulis ini, bahkan
harus lebih baik dari saya. Saya tidak merekam semua khutbah karena lama-lama
tangan saya lelah juga.
Syekh Hamdi, imam dan khatib tetap masjid ini berkhutbah dengan topik “The
Journey of Soul (Perjalanan Ruh)" dengan bahasa campuran: Arab dan
Inggris. Saya lebih mudah memahami bahasa Arabnya daripada Inggrisnya yang
masih kental dialek Mesir. Kutipan ayat dan hadis yang dibacakan dengan tekanan
suara pada setiap penggalan kata yang menarik membuat saya lebih antusias
mendengarkannya. Saya menoleh ke kanan, kiri dan belakang untuk melihat
bagaimana ekspresi para jamaah. Semuanya tertegun, sebab khatib yang berbadan
kekar itu bercerita bagaimana perjalanan nyawa orang mukmin dari saat keluar
dari tubuhnya sampai ke langit tertinggi. Saya sedikit heran, orang-orang
modern di negara maju seperti ini ternyata tertarik juga dengan masalah
kematian dan alam roh. Beda jauh dari dugaan saya. Sebelum saya ke Amerika dan
Canada ini, otak saya berisi keyakinan, mereka lebih suka khutbah yang ilmiah
dan aktual. Tema yang sama: khauf war raja juga dikhotbahkan di Masjid Rahmah
Ottawa pada dua jum'at sebelumnya.
Beberapa kali telunjuk tangan pengkhotbah diarahkan ke atas, dan sesekali
kedua tangannya dibentangkan melebar ketika membacakan kutipan ayat yang amat
terkenal, yaitu QS. Fusshilat [41]:30 tentang malaikat-malaikat yang
diperintahkan Allah mendatangi orang-orang mukmin yang tangguh imannya
(istiqamah) menjelang kematian untuk menghiburnya, ”Jangan takut dan jangan
pula bersedih.” Untuk mencapai keimanan yang bagai gunung tersebut, yaitu tak
hanyut terkena banjir, tak meleleh terkena sengatan panas, dan tak bergerak
terkena angin itu, setiap muslim harus mengisi hatinya dengan khauf war raja’
(rasa takut dan harap), takut siksaan Allah dan penuh harap akan kasih dan
ampunan Allah. Pengkhotbah juga mengutip hadis Nabi SAW, bahwa tak akan ada dua
hal yang bersatu pada diri setiap orang, yaitu rasa senang dan takut. Siapa
yang takut melanggar aturan Allah selama hidupnya, pasti tidak akan super takut
lagi di akhirat. Juga, siapapun yang selalu senang, bebas hidup tanpa aturan di
dunia, pasti tidak akan merasaka kesenangan di akhirat. Dengan suaranya yang
dinaikkan sedikit, sang pengkhotbah menekankan sekali lagi petingnya khauf war
raja untuk penguatan iman.
Kembali tentang the journey of soul, Syekh Hamdi meyakinkan para jamaah
dengan bahasa Inggris, “Oh beleivers, when Izrail come to you …Wahai
orang-orang yang beriman, ketika Izrail mencabut nyawa Anda, semua malaikat di
langit turun dan memanggil-memanggil ruh Anda, “Wahai ruh yang harum, segera
keluarlah, cepat keluarlah, engkau sudah ditunggu Allah.” Dan setelah roh
keluar, para malaikat berebut membawanya untuk dipesembahkan kepada Allah di
langit yang tertinggi.” Dalam hati saya, “Wah.. mantap, mantap sekali gaya
khutbah syekh ini untuk saya ajarkan kepada mahasiswa saya.”
Ketika iqamat dikumandangkan, saya segera mengambil barisan terdepan
setelah semula duduk di baris ketiga untuk memudahkan video-record khutbah.
Saya berdiri di belakang imam, dan saya lihat mik kecil yang semula dipasang di
krah bajunya dilepas dan dipegang selama memimpin shalat. Dalam hati saya,
“Imam ini faham tentang pengaturan suara, jarak antara mulut dan mik untuk
menghasilkan suara yang bagus.”
“Pak, apa sah shalat dengan memegang mik, dan apakah bisa khusyuk menjadi
iamam dengan cara demikian,?” tanya Syafruddin dan Abul Asri dalam perjalanan
pulang sambil menawarkan menu lunch hari itu. Saya jawab, “Tak da masalah, tapi
kalau dilakukan di Indonesia, imam shalat dengan pegang mik seperti itu pasti
jadi bahan pembicaraan.” “Semua makanan sudah pernah pak ya, tinggal restoran
Afghanistan yang belum. Bapak tidak boleh meninggalkan Toronto sebelum semua
restoran dengan menu masing-masing negara dicicipi.” “Cocok pak,” jawab saya
dengan cepat agar segera pulang, sebab saya tidak terlalu suka makanan-makanan
jenis itu, dan saya lebih suka sayur asam dan pindang goreng kecil-kecil, atau
sayum bayam dan dadar jagung, atau makanan-makanan ndeso lainnya, dan ingin
segera istirahat untuk persiapan ceramah berikutnya.
Sambil menikmati jus manga bercampur yoghurt ala Afganistan, di meja makan
itulah saya mendapatkan cerita dari dua orang KJRI yang menemani saya, dan saat
itulah saya menemukan jawaban mengapa masjid bekas gereja yang elit itu sepi
jamaah. Pertama, masjid itu berada di komplek perumahan orang-orang bule dan
kaya raya. Hanya orang yang kaya bisa membeli rumah di situ. Oleh sebab itu,
jamaah yang datang ke masjid ini orang-orang jauh dan - ini penting untuk
dicatat - sealiran dengan pengurus masjid. Kedua, gereja ini dibeli dengan
mengangsur di bank. Akibat terjadi gesekan antara sesama pengurus, angsuran ke
bank menjadi tersendat-sendat, sampai dibekukan bank sampai angsuran lancar.
Tidak jelas konflik itu karena etnis atau mazhab atau yang lain. Pecahan dari
masjid inilah yang kemudian mendirikan masjid besar ISNA yang memiliki sekolah
Islam paling maju di Toronto, sebagaimana saya ceritakan pada catatan
sebelumnya. Weleh weleh…konflik, berpecah-belah sesama muslim benar-benar
menjadi “tradisi dan hobby” di mana saja sampai saat ini. Sampai kapankah ini
berlangsung? Kelak, tantangan dakwah sedunia bukan dari non-muslim, tapi dari
saudara seiman sendiri. Pembaca yang terhormat, sering-seringlah membaca
“rabbisyrah li shadry” (Oh Allah, expand for me my breast with assurance) (QS.
Thaha [20]: 25) agar Anda bisa memberi sumbangan paling berharga untuk masa
depan Islam, yaitu kelapangan hati (jembar atine, dalam bahasa Jawa) untuk
menerima dengan ikhlas, tanpa terpaksa perbedaan pandangan dalam beragama.
Catatan ini saya tulis di atas pesawat Air Canada dari Toronto menuju Los
Angles. Separuh waktu penerbangan come back to America selama 5 jam tersebut
saya pergunakan untuk tidur pulas, karena harus berangkat ke bandara sebelum subuh,
dan paruh sisanya untuk untuk menulis catatan ini. Battery lap top habis.
Wassalam. Ikuti catatan berikutnya tentang Qulhu dekat Hollywood, tempat saya
tinggal sekarang. (Toronto, Ahad 26 Maret 2017).
Keterangan Gambar: (1) Kaligrafi Lailaha Illallah di pintu Masjid-Gereja Tua (2) Syekh Hamdi,
imam masjid (3) Murid mengaji di basement Masjid Gereja Tua (4) Aturan asap
knalpot mobil bagi pengunjung masjid.
(2) (3) (4)
__________________________________________________________________
29 Maret pukul 21:08
BEDUG KENTONG PENGGETAR HOLLYWOOD
Catatan hari ke 26 dan 27 Tour Dakwah di Amerika Canada
Keluar dari Bandara Los Angeles dari Toronto (Ahad 27/3) badan sedikit
lemas dan kaki terasa berat, sebab sepatu penahan salju dan jaket berlapis
sudah tidak cocok lagi. Udara normal seperti Malang atau Bogor, tapi badan agak
limbung karena badan masih memerlukan penyesuaian. Saya kadang geli melihat
badan saya di foto yang terlihat menggelembung, sehingga anak saya teriak,
“Ayah kok jadi gembrot!” Bukan tambah daging tapi lapisan pakaian belaka.
Setelah saya hitung, selama tinggal di daerah bersalju atau minus sekian
derajat, ada 15 unit pakaian yang setia menempel di badan. Hanya saya yang bisa
menghitung lho, yaitu sepatu tebal tinggi, kaos kaki, celana tipis termal,
celana dalam, celana biasa, kaos singlet, kaos penghangat satu, kaos lengan
panjang penghangat dua, kaos lengan pendek, baju utama, jaket kulit tebal, kaos
tangan, tutup kepala untuk shalat, tutup kepala sekaligus telinga dan selendang
atau slayer. Jadi, setiap ke masjid atau keluar untuk makan siang, perlu
sedikit waktu untuk mengenakan “pakaian kebesaran” itu. Dengan pakaian
demikian, maka ketika bersujud, rasanya badan kaku sekali. Bandingkan di
Indonesia yang lebih praktis dan cepat: baju lengan pendek, sandal jepit dan
sarung tipis, go..go..go..bahkan kadangkala tidak memakai selembarpun pakaian
dalam karena tergesa.
“Wah.. ini menyiksa saya pak. Saya baru datang dari negara lain dan hanya
dua jam istirahat, sudah harus memberi pelatihan shalat,”kata saya memohon
pengertian Bapak Farhat Ambadar, pengurus masjid KJRI Los Angeles yang namanya
sangat terkenal semangat dan kelincahannya di antara para penggiat dakwah
masyarakat Indonesia di Amerika. “Alahmadulillah, istri dan anak-anak saya juga
mendukung jihad saya di negeri ini,” kata pria keturunan Yaman dan ber-KTP
Amerika itu dalam perjalanan dari bandara menuju restoran Bangladesh sambil
mengarahkan telunjuknya ke arah jalan menuju markas bintang-bintang dunia,
Hollywood. “Hanya 15 menit saja dari sini,” tambahnya. Saya akhirnya memahami
jadwal itu, sebab jika acara tidak pada hari libur, sangat susah mengumpulkan
orang, sedangkan Rabo sudah harus hijrah ke San Bernardino. Saya sendiri tidak
tahu itu daerah di sebelah mana. Saya pasrah saja kepada panitia.
Dalam hotel JJ Grand Hotel di Harvard Bouleverd tidak jauh dari KJRI, saya
cepat-cepat rendam air hangat mengusir penat, lalu shalat dengan rukuk dan
sujud yang ekstra lama. Dalam rukuk dan sujud itulah, saya merintih kepada
Allah, “Oh Allah, You are The Knowing that I am tired, and some viruses will be
endangering me when I don’t take a rest. But, your servants here in Los Angeles
are waiting for me, and ask me to improve their shalat which brings them into
happiness in this world and hereafter. I am sure, and indeed I believe in You,
that You are certainly competent and able to have strength on me. You are Dzul
Quwwatil Matin: Source of Great Energy. You are the Lord of Angel Michael. Oh
Allah, order him to open the gates of blessing, health and easiness for this
shalat course. I totally submit everything even my soul to You. It’s up to You,
and I will accept happily whatever Your destiny on me.”
Sengaja saya tulis aslinya dalam bahasa Inggris, sebab dalam catatan saya
sebelumnya yang berjudul “Belajar Bahasa Amerika Melalui Shalat Bahagia” saya
menganjurkan bagi peminat bahasa Inggris untuk melakukan perenungan makna doa
shalat dan semua permohonan dalam hati, sekali lagi dalam hati, dengan bahasa
Inggris. Dengan demikian, setiap hari berkali-kali ia praktek bercakap-cakap
dalam bahasa Inggris.
Baiklah saya terjemahkan doa di atas, sama sekali bukan karena menganggap
pembaca tidak mengerti, tapi semata-mata berharap mendapat koreksi jika ada
kesalahan: “Wahai Allah, Engkau paling tahu bahwa aku sedang letih, dan
sejumlah virus semakin mengganas merusak tubuhku jika aku tidak cukup
istirahat. Tapi, hamba-hamba-Mu di sini, Los Angeles telah menunggu dan
memintaku menyempurnakan shalatnya agar kebahagiaan dunia bisa diraih, demikian
juga kebahagiaan akhirat. Aku yakin (x3), Engkau pasti (3x) Maha Kuasa memberi
kekuatan kepadaku. Engkaulah Dzul Quwwatil Matin atau sumber semua energi.
Engkaulah Tuhannya Malaikat Mikail. Perintahkan dia untuk memberi kekuatan dan
kesehatan ekstra kepadaku dan membuka pintu rahmat, ampunan dan kemudahan untuk
pelatihan shalat ini. Aku pasrahkan segalanya kepada-Mu, bahkan nyawaku.
Terserah Engkau, dan aku menerima dengan ikhlas dan ridlo apapun takdir-Mu
untukku”
Tepat jam 17:00 saya dijemput di hotel menuju Masjid KJRI Los Angeles.
Hotel ini terletak di wilayah padat penduduk asal Korea yang terkenal dengan
“Korea Town.” Alhamdulillah, banyak orang belum datang, sehingga saya
dipersilakan tidur dulu di kantor masjid dengan bantal selimut abu-abu tebal
karena tak tersedia bantal asli. “Lampu saya matikan saja pak ya,” kata orang
keribo bermarga al-Katiri dan masih lancar berbahasa Indonesia. “Teh apa kopi
untuk minum penghangat, pak ustad” tawarnya sambil menutup pintu. Kebetulan
juga sound system yang tersambung ke lap-top memerlukan pembetulan. Beginilah
cara-cara Allah menolong saya untuk memberi istirahat dan kekuatan baru agar
saya tetap sehat. Ketika dibangunkan untuk memulai acara, saya benar-benar
segar seperti telah teraliri energi Allah.
Di depan kantor berukuan 2x3 m yang dipenuhi alat-alat tulis tempat saya
istirahat itulah saya melihat bedug dari jati dan kulit sapi berdiameter 50 cm
x 75 cm di atas kayu yang disilangkan sebagaimana kita jumpai di beberapa
masjid Indonesia. Bentuknya tidak bulat sepenuhnya, susah digambarkan. “Weleh..
weleh.., ada kentongan juga yang terbuat dari pangkal bambu keras dan
membengkok cantik pada ujungnya dan digantungkan di bawah bedug,” cekikikan
saya dalam hati. “Inilah suara unik yang akan bisa mengalahkan suara musik
keras dan film ternama dari sono: Hollywood,” senyum saya melucu sendiri
mengawali tidur sejenak. Beduk dan kentongan itu tidak pernah dipukul, hanya
untuk asesori yang mencerminkan budaya masjid di Indonesia. Memang masjid ini
dalam satu atap dengan KJRI. Masak bintang-bintang film dan penyanyi-penyanyi
Holywood ataupun warga Amerika dipanggil dengan bedug dan kentongan? Melihat
bentuk kentongan yang kasar dan melengkung itu saja mereka sudah ketawa sampai
pingsan ha ha.
Sekilas ada perbedaan masyarakat Indonesia di sini dibandingkan dengan
mereka yang tinggal di Houston, Texas, Chicago dan Canada. Di sini jumlahnya
banyak dan amat kental cara interaksi dan bahasa Indonesianya. Mereka tampak
guyup dan anak-anaknya juga masih lumayan bahasa Indonesianya. Tapi, mungkin
saya salah, tingkat rata-rata ekonominya sedikit lebih rendah, berdasar variasi
latar belakang pendidikan dan jenis pekerjaannya. “Bu, saya ceramah dengan bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris?” tanya saya mengawali pelatihan. “Bahasa
Indonesia saja pak ustad,” jawab mereka serentak, lebih-lebih oleh ibu-ibu yang
jumlahnya lebih banyak. Sedangkan di tempat lain, saya diminta menggunakan
bahasa Inggris atau minimal campuran bahasa Indonesia dan Inggris. Biasa,
mereka juga jualan macam-macam makanan Indonesia seperti pada semua perkumpulan
masyarakat Indonesia lainnya. “Ini untuk camilan pak, bikinan saya sendiri,
silakan,” kata seorang ibu tambun berbusana batik sambil menyerahkan kotak
plastik transparan berisi rempeyek kacang yang diambilkan dari stand
penjualannya. Pertanyaan mereka juga tidak sekritis lainnya. Hanya heran saya,
di semua pengajian di negara manapun yang saya kunjungi, mengapa selalu ada
pertanyaan tentang Ahok, baik yang pro maupun yang kontra. “Maaf, saya diundang
di sini hanya untuk pelatihan shalat bukan pelatihan politik. Jadi mohon
bertanya tentang shalat saja,” jawab saya setiap menerima pertanyaan tentang
pilkada Jakarta itu. Dalam hati saya, “Kalau tidak puas, ya pulangkan saja aku
ke pangkuan istriku,” sedikit menirukan lagu melankolis tempo doeloe.
Pada Pelatihan Terapi Shalat Bahagia sebelumnya di KJRI Toronto Canada
(Sabtu, 26/3) ada beberapa anak yang mengagumkan saya. Pembaca Al Qur’an pada
pembuka acara itu adalah kakak beradik, Nada Jannah (SMP) dan Bilal Abdsus
Shomad (SD) dengan percaya diri. Putri dan putra Bapak Yul Suwendah, pegawai JP
Morgan, bank terbesar Amerika itu mendemonstrasikan hafalan Al Qurannya yang
mengundang decak kagum hadirin. Pada sesi tanya jawab, dua anak di bangku
terdepan yang sama-sama siswa SD mengajukan pertanyan yang unik dan menyulitkan
saya. “Mengapa burung-burung selalu berkicau pagi buta setiap hari? Dan
“Bagaimana saya meladeni kawan-kawan sekelas yang melecehkan Islam?” Saya hanya
bisa paham 25 % dari pertanyaan itu. Maka saya minta bantuan moderator apa
maksud pertanyaan mereka dengan bahasa Inggris yang full logat Amerika itu.
Moderator acara itu adalah Bapak Ahmad Fuad Fanani, dosen UIN Jakarta yang
sedang menempuh program doktor bidang ilmu politik di Toronto. “Saya juga tidak
paham sepenuhnya pak,” kata penulis andalan di Harian Kompas, yang menurut
pengakuannya hasil didikan bapak rektor UIN Sunan Ampel, Prof. Dr. Abd A’la,
kebanggan saya. Saya baru paham ketika bapak mereka menjelaskan dengan bahasa
Indonesia. Plong rasanya, teman yang sudah setahun saja kesulitan, maka dapat
dimaklumi jika saya mengalami kesulitan yang sama. Mengapa sulit dipaham,
antara lain, rata-rata bunyi huruf R anak-anak yang lahir di Amerika nyaris
hilang, sebab dalam bahasa Inggris, bunyi huruf itu memang sangat soft dan
samar. Maka para guru yang mengajar membaca Al Qur’an harus memiliki seni
tersendiri khususnya yang terkait dengan huruf R.
Pertanyaan pertama saya jawab, “Children, burung-burung itu berkicau pagi
hari untuk menyambut dan menghibur ayah ibumu dan kamu sendiri yang berwudu
untuk shalat subuh.” Anak kecil dengan jilbab agak miring yang bertanya
tersebut kelihatan senang. Untuk pertanyaan kedua, saya harus berpikir dulu.
“Katakan saja, oke friend, kita diskusikan saja kelak ketika kita sama-sama
sudah di perguruan tinggi, not now,” jawab saya tentang kiat menghadapi
pelecehan agama dan saya memintanya untuk tetap senyum, walaupun penghinaan itu
menyakitkan. Saya berbisik kepada Pak Ahmad Fuad, “Bagaimana pak, jawaban kedua
tadi?” “Cocok pak, kan masih usia SD, belum bisa berpikir yang tinggi-tinggi,”
jawab bapak dari dua anak yang telah tinggal satu tahun bersama keluarga di
Canada. “Jujur pak, saya sering mengeluh di sini, karena jauh lebih berat
daripada sewaktu kuliah di Australia dulu. Tapi, sekarang tidak akan mengeluh
lagi setelah membaca bahan-bahan kajian bapak yang dikirim melalui cell phone
oleh panitia dan setelah mengikuti acara ini,” tambahnya. Saya katakan,
“jazakallah khaira,” dan tidak perlu saya mengurus apakah itu dari hatinya atau
hanya lip service atau basa-basi untuk menyenangkan saya saja.
Pada pelatihan terapi shalat di Los Angeles, California ini, saya
mendapatkan curhat seorang ibu yang agak pelik. “Pak ustad, tolong terapi anak
saya. Saya jemput ke rumah pak,” keluhnya, lalu menjelaskan riwayat masalahnya.
Ketika saya dan anak saya semakin mendekat Allah termasuk aktif shalat malam,
justru anak saya terkena musibah kebakaran di tempat kerjanya di negara bagian
lain di Amerika. Setelah itu, masalah lain datang silih berganti. Sudah dua
tahun ini ia mengurung diri di rumah, tidak mau shalat sama sekali, dan
terakhir mengatakan, “Saya tak mau lagi percaya pada Tuhan yang tidak memberi solusi
dan justru menimpakan masalah berat ketika aku dan mama memuji dan
menyanjung-Nya.” “Saya minta terapi secara private pak,” tambahnya. “Bu, mohon
maaf, saya tidak keluar hotel di luar jadwal ICMI North America, agar tetap
sehat untuk melanjutkan tour dakwah ke kota-kota lain,” jawab saya dengan
menambahkan “injih, injih, ngapunten” untuk menunjukkan kesopanan kepada ibu
asal Wonosari itu. Saya katakan juga, “Bu, pelatihan terapi shalat baru dua
sesi, kan? Insya Allah setelah selesai semuanya, bunda bisa melakukan terapi
sendiri, yaitu melalui rukuk dan sujud yang panjang.”
Setelah istirahat semalam, Senin (28/3) saya dijemput panitia untuk pertama
kali shalat shubuh berjamaah di masjid komunitas Bangladesh, tidak jauh dari
hotel saya. “Ha Bangladesh,?” tanya saya dalam hati. Orang Indonesia sering
menyebut Bangladesh negara tidak kaya, tapi bisa bikin masjid. Kita sendiri
belum punya. Masjid yang ada sekarang bukan masjid secara resmi, hanya ruangan
KJRI yang diikrarkan untuk shalat dan semua kegiatan Islam. Jadi, amat
protokoler, karena wilayah yang mendapat keamanan diplomatik.
Di masjid Bangladesh itu, saya menolak untuk menjadi imam, tapi karena
tetap didesaknya, maka saya melakukannya. Seperti yang saya duga sebelumnya
berdasarkan pengalaman di masjid-masjid lainnya, tidak ada satupun orang
mengajak bicara dengan saya setelah selesai shalat. Hanya penjemput itu saja.
Rasanya saya ini seperti imam liar yang hinggap di mihrab masjid, lalu terbang
begitu saja. Itu budaya, tak perlu heran, mereka sangat hormat. Jangan samakan
dengan budaya Indonesia. Selasa (29/3) saya diminta lagi untuk menjadi imam
subuh setelah pengurus masjid berjenggot putih 20 cm dan berjubah ala
Bangladesh meminta dengan sangat sopan. “Are you from Indonesia? I went there
for khuruj,” tanya seorang jama’ah setelah shalat. Rupanya ia anggota jamaah
tabligh yang pergi dari masjid ke masjid dan mengajak orang di sekitarnya untuk
shalat ke masjid. Pengikut jamaah tabligh ini cukup banyak, termasuk
orang-orang Indonesia.
Senin itulah pagi yang menyenangkan, karena sejak saya ke Amerika dan
Canada, itulah pertama kali badan berkeringat. Saya berjalan pagi cepat selama
45 menit dengan penghangat sinar mentari melintasi sepanjang jalan Harvard,
Normandie, Alexandrea, New Hemisphire, dan Vermont. Beberapa kali saya melihat
penjual buah iris, es kelapa muda, dan aneka makanan di tepi jalan, ha
ha..persis yang ada di kota-kota Indonesia. Kebanyakan mereka imigran Meksiko.
Saya juga mengambil gambar dengan mencuri-curi lebih dari lima orang gelandangan
(homeless) yang membuat gubuk kecil di trotoar jalan protokol atau di gang-gang
sempit, atau di halaman gereja-gereja. Ini benar-benar kota seribu gereja,
sebab setiap beberapa ratus meter terdapat gereja dengan bangunan kuno, kokoh,
gagah, dan melangit.
Sepanjang jalan itu, saya juga empat kali dihadang pengemis, “Coffee
please, breakfast please!.” Ada juga dua orang yang kurus dan sangat tua di
sebuah taman, duduk mengantuk dan sesekali batuk melengking yang juga menunggu
sedekah orang. Inilah satu-satunya kota paling unik di Amerika yang memberikan
keleluasaan pedagang-pedagang kecil dan tidak terlalu risau dengan imigran
gelap. “Istilahnya, sanctuary city atau kota perlindungan,” terang pak Farhat
Ambadar, suami Lola Kamelia yang luar biasa akrab dan perhatiannya kepada saya.
Mungkin karena suasana demikian itulah orang-orang Indonesia sangat menikmati
bahkan mencintai kota ini.
Kelelahan saya memberi pelatihan terapi shalat tahap kedua pada Senin malam
(28/3) di masjid KJRI terhapus dan semangat saya untuk terus berkarya terpompa
lebih kencang ketika mendengar beberapa apresiasi peserta. “Saya akan
mengundang bapak lagi untuk orang-orang Amerika asli. Mereka sangat membutuhkan
terapi yang luar biasa seperti ini,” kata Dwirana Satyavat, presiden IMF (Indonesian
Muslim Foundation) yang namanya menjadi jaminan pada imigrasi untuk kedatangan
saya di Los Angeles. “Saya akan mengundang bapak untuk prifat keluarga untuk
terapi shalat ini,” kata Hediana Hadi, Family Service Conselor Funeral/Cemetery
Sales. Seorang ibu bertongkat juga menghampiri saya yang sedang memasukkan lap
top ke dalam tas, ya maklum saya sendirian tanpa tim, “Ketika berdiri shalat
dan menghayati makna hamdalah, saya sebut nama bapak sebagai rasa syukur kepada
Allah yang mengirim Bapak kemari. Ini yang lama saya cari.” “Saya tidak
mengada-ada, setelah praktek shalat dari bapak, kaki saya tidak cekot-cekot
(nyeri) lagi,” kata ibu Annisa, janda asli Jawa yang kemudian dinikahi orang
Mesir hasil mimpi ini. Saya juga sedikit senyum, di Amerika kok ada bahasa
“cekot-cekot.” “Bapak hebat. Belum pernah ada penceramah yang pengunjungnya
tetap banyak pada hari kedua seperti ini. Biasanya, hanya padat pada hari
pertama. Berapa tahun harus antre mengundang bapak untuk pengkhotbah hari raya
di Los Angeles pak?,” kata Farhat Ambadar dan istrinya dalam mobil Laxus untuk
mengantar saya istirahat di hotel.
Semua ini saya ceritakan agar dunia tahu bahwa UIN Sunan Ampel bisa
menembus masjid-masjid Amerika dan Canada. Tekad saya, “Alumni almamater saya
harus mewardani dunia.” Juga agar istri dan anak-anak saya yang sekian lama
saya tinggalkan menjadi terhibur sekaligus apresiasi untuk mereka yang tiada
hari tanpa doa untuk saya. Terakhir, juga sebagai rasa syukur, karena Allah SWT
menyuruh kita untuk menceritakan dengan sukacita sekecil apapun nikmat
dari-Nya: “Wa amma bini’mati rabbika fahaddits” (QS. Ad Dluha: 93:11). Besok
saya dijadwal ke Hollywood. Semoga tidak ada yang mengajak main film, sehingga
bisa meneruskan tour dakwah, he he. (Los Angeles California, Selasa,
28-3-2017).
Keterangan Gambar: (1) Bedug dan kentongan dekat Hollywood (2) Bersama Dwirana Satyavat
presiden IMF (Indonesian Muslim Foundation) (3) Ibu Annisa penduduk Los
Angeles: testimoni terapi shalat. (4) Gelandangan Los Angeles California.
(4)
__________________________________________________________________
31 Maret pukul 14:37
MECCA MADINAH TANPA
KA’BAH
Catatan hari ke 28 dan 29 Tour Dakwah di Amerika Canada
Sebenarnya judul semula tulisan ini adalah “Catatan Si
Boy 4.” Tapi, setelah saya meninggalkan Los Angeles (Rabo, 29/3) dan berpindah
ke San Bernardino, daerah pegunungan bagian barat California, mendadak saya
ganti dengan judul baru setelah menemukan jalan Medinah di perumahan Sierra
Lake. Perumahan ini amat indah dan nyaman dengan lapangan golf di tengahnya dan
beberapa fasilitas olah raga lainnya. Saya bangga, banyak orang Indonesia yang
taraf ekonominya melampaui rata-rata orang Amerika sendiri. “Pak, mohon buah
dan makanan yang saya bawa dari hotel ini diberikan para gelandangan di sekitar
sini,” kata saya sebelum keluar dari mobil menuju rumah pak Yayat Bustomi,
tempat saya menginap selama di San Bernardino California.
Ada apa dengan Catatan Si Boy? Anda yang berusia
40-an, tentu ingat film terlaris di Indonesia, “Catatan Si Boy” pada tahun
1980-an. Terakhir, Catatan Si Boy 3 digarap di Hollywood. Begitu larisnya,
sampai harus diproduksi tiga seri. Syaiful Hendra yang membintangi sampai
menjadi rebutan iklan berbagai produk. Uang menumpuk dan tidur di kasur empuk,
begitulah kira-kira. Siapa sangka, ternyata dialah yang akan mengundang saya
untuk pelatihan terapi shalat di Las Vegas minggu depan, dan dialah yang
menemani saya melihat-lihat Codax Theatre, gedung jangkung serba artistik
tempat penganugrahan piala-piala perfilman yang bergengsi itu. “Untuk acara
Academy Award, semua jalan menuju ke sini ditutup, karena semua aspal telah
tertutup permadani merah,” jelas pak Farhat Ambadar sambil menunjuk jalan raya
yang dipenuhi turis sedunia dengan pakaian macam-macam, antara lain meniru
pakaian bintang-bintang film yang namanya terukir dengan warna kuning keemasan
di sepanjang trotoar. Ha ha, pikiranku melayang ke Surabaya, “Oh..jalan ditutup
seperti untuk acara istighasah akbar.”
Kami mencari agak lama, dan gagal menemukan prasasti
nama tokoh Islam Amerika, sekaligus petinju legendaris, Muhammad Ali di antara
ratusan prasasti, karena waktu yang terbatas dan penuhnya pengunjung. Hampir
semua orang Amerika, lebih-lebih yang berkulit hitam selalu menyebut-nyebut
kehebatan petinju dan pendakwah itu. Dia adalah satu-satunya orang yang tidak
mau namanya ditulis di lantai. “No, no, Muhammad adalah nama Nabi Islam, maka tidak
boleh ada satupun orang menginjaknya,” katanya waktu diminta ijin untuk diukir
namanya di trotoar marmar abu-abu tua yang terlihat sangat kuno namun kental
unsur seninya itu. Maka, ia satu-satunya yang ditulis namanya secara lengkap di
tembok istimewa dalam lingkaran tanda bintang warna emas dan logo kamera film
kecil di bagian atasnya. “Setelah bapak kembali ke Los Angeles dari San
Fransisco dan Seatle 16 April nanti saja, kita ke sini lagi,” hibur pak Farhat
Ambadar yang selalu siap mengambil gambar yang saya pilih.
Selama dalam perjalanan menuju tempat ini, saya
memperoleh banyak pengetahuan tentang dunia seni Amerika dan liku-liku
perjuangan hidup di negeri ini. “Saya bertongkat begini karena beberapa bulan
yang lalu baru keluar dari rumah sakit,” kata pemain film CBS itu dalam mobil
yang disetir Pak Farhat Ambadar sambil menunjukkan wajah tampan pada masa
mudanya dalam cell phone yang diambil dari saku celana setengah panjangnya. Oh,
tampan sekali, rambutnya mengkilat dan tersisir rapi dengan jambul depan agak
meninggi. “Itu masa lalu. Saya sekarang sudah tua pak, dan tinggal menunggu
giliran kembali kepada Allah. Tapi, saya takut Allah, karena banyak hutang saya
kepada-Nya yang belum terbayar,” tambahnya dengan suara lembut sambil menarik
kursi mobil ke belakang, karena berat badannya hampir 200 kg dan mencarikan
tempat cuti tongkatnya. “Pak, mana gedung Hollywood,” tanya saya ketika diminta
turun dari mobil tempat parkir yang gila taripnya itu, Rp. 200.000 per tiga
jam. “Lho, tidak ada gedung khusus pak, Hollywood itu nama jalan, bukan nama
gedung. Hanya saja di sekitar ini, ada Hollywood Museum, Hollywood Science, dan
sebagainya,” jawab pak Syaiful sambil memandang wajah saya yang terlihat
“nyengir” dan terkagum-kagum.
Dalam perjalanan menuju pusat bintang-bintang sejagat
itu, pak Farhat menunjukkan sebuah hotel mewah khusus untuk hewan kesayangan,
Pet Hotel namanya yang tertulis di tembok depan. Tidak hanya diperiksa dokter
secara rutin dan tidurnya yang damanjakan, tapi hewan-hewan itu juga dibawa ke
salon untuk mandi, potong rambut, dan potong kuku. “Ha, ke salon?. Dulu,
sewaktu SD, saya mandi di sungai, sering tanpa sampo, potong rambut di bawah
pohon oleh tukang cukur yang keliling bersepeda dengan alat cukur tradisional
yang kadang-kadang kebablasan menusuk kulit kepala, dan memotong kuku sendiri
dengan pisau dapur,” kata saya dan langsung disahut pak Farhat, “Lho pak,
anjing milik bos saya juga harus rajin masuk kelas di sekolah khusus.” “Masya
Allah, bagaimana cara mengabsen nama-namanya pak,” kata saya dan kami bertiga
terbahak-bahak sampai sedikit menggoyang mobil.
Setelah itu, senyap sejenak, dan saya hanyut dalam
keharuan bercampur kagum mendengarkan riwayat hidup Pak Syaiful. Selama 21
tahun di Amerika sebelum pensiun, dia harus kuat dan cerdas membagi waktu untuk
bekerja sebagai pembersih kaca di KJRI, pengantar surat dan brosur-brosur,
serta sebagai karyawan di hotel milik kerajaan Brunei. “Sepanjang hidupnya,
ibuku tidak mau menerima satu rupiahpun dari kerja saya sebagai insan perfilman.
Saya hajikan juga ditolaknya,” katanya dengan sesekali memegang tongkat coklat
tua di sebelah kirinya yang diselonjorkan antara dua kursi depan mobil. Saya
yang duduk di belakangnya mencatat secara detail tanpa sepengetahuannya. “Saya
menjerit tanpa suara mendengar penolakan ibu itu,” kenangnya. Dalam hati, saya
kagum, “Saya tidak sesuci ibunda bintang film lansia ini.”
“Dua tahun persis, saya bisa mengumpulkan uang dari
kerja di Amerika untuk memberangkatkan haji ibu saya dan beliau tampak amat
bahagia. Sebelum meninggal dunia, beliau kelihatan sangat bangga-bahagia, dan
saya juga demikan, klop sudah,” katanya, lalu mengulang lagi kata-kata
sebelumnya tentang giliran kematian dan hutang-hutang ibadah yang belum
dilakukan. “Banyak,.. banyak hutang saya kepada Allah,” ia menutup pembicaraan.
Bicaranya datar, tapi penuh nuansa sufistik, badannya tambun dan susah
berjalan, tapi semangat dakwahnya tak pernah padam di Las Vegas. Hidup ini
benar-benar masih koma, belum titik. Belum selesai sebelum titik kematian.
Setiap orang sedang berproses terus menerus menyusuri jalan ke depan: bisa
lebih jelek dan bisa lebih baik. Syaiful Hendra bukan lagi Catatan Si Boy 3,
tapi 4, karena sudah berubah total. Itulah cuplikan dari tulisan saya “Catatan
Si Boy 4” yang saya batalkan demi judul yang baru.
Setelah istirahat 3 jam setibanya di San Bernardino
melewati freeway (3 kali dari besarnya jalan tol Indonesia) di antara
gunung-gunung tandus berbatu coklat kehitaman seperti perjalanan Mekah Madinah,
maka pukul 17:00 pak Yayat Bustomi bersama istri dan anaknya yang keempat,
Danisa berangkat menuju masjid milik komunitas Indonesia, bekas rumah warga
yang dibeli secara swadaya. Lumayan jauh, 35 km dari rumah. Inilah cinta yang
membuat berat terasa ringan dan jauh terasa dekat. Maksudnya? Cinta masjid
membuat tantangan apapun menjadi sebuah kenikmatan sekalipun harus mengeluarkan
uang bensin, uang infaq, dan tenaga. Sewaktu di Ottawa Canada dua minggu
sebelumnya, saya menyaksikan bagaimana cinta Allah dan cinta masjid membuat
orang dengan senang hati mengeruk dengan skrop gunungan salju putih yang
menutup halaman rumahnya pada pagi buta, bersepatu tebal, berkaos tangan dan
berjaket, lalu memanasi mobil dan mengeluarkannya dari garasi untuk menuju
masjid. Itu dilakukan bertahun-tahun, tanpa ada yang menyuruh selain Allah.
Masih adakah dosa yang belum diampuni Allah bagi mereka yang telah jatuh cinta
dan membuktikan cintanya kepada Allah? Saya yakin, Anda termasuk di dalamnya.
Pada acara pelatihan terapi shalat bahagia di
masjid-rumah yang dibeli tahun 2011 malam itu (Rabo,29/3), saya sangat
tersemangati oleh antusias brother Omar, pengagum Muhammad Ali yang sehari-hari
sebagai polisi California, dan brother Yusuf yang menguasai banyak bahasa,
termasuk bahasa Indonesia dan Jawa. “Yes, I like this new teaching of salat,
and your English is good,” kata mereka yang masing-masing didampingi isterinya,
wanita Indonesia menjelang pulang.
Kamis pagi (29/3) saya rame-rame bersama keluarga pak
Yayat Bustomi bersepeda sekaligus membakar kalori menuju Medinah, ya kira-kira
500 m dari rumah tempat saya menginap. Pada waktu wudlu untuk shalat subuh 3
jam sebelumnya, melalui istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung dan
menyemprotkannya keluar) kembali ada beberapa gumpalan darah hitam kering yang
keluar dari hidung dan setelah itu pernafasan saya segar dan lancar. Silakan
Anda lakukan berulang-ulang, agar gumpalan tipis kering, baik darah kering atau
gumpalan lainnya pada hidung bisa lunak, mencair dan keluar ketika
disemprotkan. Inilah rahasia perintah istinsyaq yang banyak ditinggalkan orang
atau dilakukan kurang sempurna, sehingga pengaruhnya untuk kesehatan kurang
maksimal, dan itu pula yang selalu kelewatan untuk saya jelaskan dalam
catatan-catatan sebelumnya. Selama saya di Amerika dan Canada, saya baru bisa
membuktikan kebenaran pernyataan Muhammad Salim, peneliti dari Universitas
Iskandariyah Mesir, bahwa istinsyaq dapat mengeluarkan sebelas bakteri dalam
hidung yang membahayakan dan mendatangkan penyakit pernafasan dan paru-paru
(Moh Ali Aziz, Terapi Shalat Bahagia, 2016: 191).
Baiklah setelah dari Medinah, Anda saya ajak ke Mecca.
Penikmat kurma pasti pernah merasakan kurma Medjool, yang sering disebut kurma
makanan raja. Kurma jenis itulah yang dihasilkan oleh petani kurma di Mecca,
wilayah yang panas dan gersang di bagian utara California dekat Salton Sea.
Jika dilihat jarak jauhnya dari Medinah tempat saya menginap, maka wilayah
penghasil kurma dengan penduduk hanya 8.577 jiwa tersebut hanya 142 km. Saya
senang tinggal di Mecca dan Medinah California ini, tapi jauh dari kenikmatan
Mecca yang memiliki ka’bah, Makkah Al Mukarramah. Di Toronto Canada, ada
“ka’bah” tapi tak da Mecca-nya, karena hanya sebuah miniatur yang dibangun
dalam rumah Bapak Yulianto Roessaptono, “Ya, ini saya buat sendiri, agar saya
bisa shalat di dalam "ka'bah" dan lebih khusyuk,” katanya. Ha ha,
jangankan Anda, saya sendiri tertawa menulisnya. (San Bernardino California,
Kamis, 31-3-2-17).
Keterangan gambar: (1) Peserta training shalat: Omar dan Yusuf California (2) Welcome to
Mecca California (3) Stop: petunjuk Medinah Street, bersepeda dg tuan rumah
sebagai penunjuk jalan, (4) “Ka’bah” Toronto Canada.
Komentar
Posting Komentar