Review Perjalanan Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag

Lancar. Kamis 2/3 pkl 21:00 tiba di USA, dan besok 3/3 khutbah Jum'at di Houston.
___________________________________________
Jum'at Subuh 3/3 sebagai muadzin di Masjid Madinah, komplek Fitness Centre Houston
________________________________________________
Khutbah Di Istiqlal Houston, "kami tidak dilahirkan untuk manusia, Muslim dan non" (QS. 3:110)
________________________________________________
Tks, doa Anda luar biasa. Jazakumullah. Cucu sy ke 5 (pr) lahir di Amsterdam (3/3).
Workshop "Terapi Sholat Bahagia" Session 3 of 4
Instruktur: Prof. Dr. Moh Ali Aziz
Masjid Istiqlal Houston, 5 Maret, 2017
LKII ICMI-NA
­­­­­­­­­­­___________________________________________
Bacaan Al Qur'an saya banyak salah dan dibetulkan oleh Imam MASJID AL AQSHA, Jerussalem: Syekh Ali Al Abbasi.
English Version "Terapi Sholat Bahagia", Session 4 of 4
The Last Session: Summary & Practice
Instructor: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag
Masjid Istiqlal Houston, March 5, 2017
LKII ICMI-NA
Di Houston, ada sekitar 165 masjid. 75 di antaranya seluas rata-rata 3 hektar, termasuk Masjid Istiqlal atas swadaya masyarakat Indonesia. Saya terkagum melihat Masjid Hamza dengan aula besar, gedung pemandian dan perawatan jenazah, dsb. Dalam perjalanan menuju tempat Training Terapi Shalat Bahagia, eh eh ternyata oleh Pak Munir, sesepuh muslim Houston, saya diajak masuk ke halaman Masjid Maryam yang jauh lebih luas (kira-kira lima hektar) dengan lembaga pendidikan Islam yang megah dan halaman parkir seluas stadion sepak bola.
________________________________________________
"God bless you," itulah etika orang Amerika setiap mendengar orang bersin. You??
___________________________________________
Selasa (7/3) diminta sebagai selingan mengajar baca Al Qur'an di Iman Academy, Texas, sekolah Islam seluas 10 hektar, dengan 1 lapangan sepakbola, dua lapangan basket untuk putra/putri, dan 10 gedung berdiri gagah dan mewah di tengah lokasi. Video kegiatan ini akan diupload menyusul.

Rabo (8/3) pukul 13.00 atau Kamis (9/3) pkl 02.00 WIB terbang ke Chicago untuk Training Terapi Shalat Bahagia berikutnya dengan persiapan jaket, kaos baju rangkap, celana dan celana monyet, karena udara tiga kali lipat dari Houston.
________________________________________________
RESEARCH PAPER
Usai shalat shubuh (8/3) di Masjid Al Huda milik komunitas Pakistan, Pak Joko Supriyanto, salah satu tokoh senior ICMI Chicago menjelaskan bahwa di Milwoukee Chicago, ada SD Salam dalam Komplek Masjid ISM (Islamic Society of Milwoukee). Siswa kelas tiga SD, termasuk putranya, Fawaz paling sedikit semingggu sekali melakukan riset apa saja dan membuat laporan tertulis. Pembuat laporan dan alat peraganya yang terbaik, serta presentasi di depan kelas yang jelas dan mudah dipaham teman-teman sekelas akan diberi Bintang (mumtaz) oleh sang guru. Sebulan sekali, mereka juga diminta melakukan field trip di ladang pertanian, gereja, kebun binatang dsb lalu membuat laporan dan presentasi yang sama. Di rumah beliau, saya melihat bekas dos televisi ukuran 1x 05 m yang penuh dengan tempelan gambar-gambar dan kutipan dari ilmuwan dengan judul Contribution of Islamic Civilization in Tanzania, karya ananda Fawaz.
Beleive it or not. Saya bertemu langsung dengan Fawaz dan mebolak-balik doz untuk alat peraga presentasi itu.
Saat itulah, saya teringat bahwa saya harus segera menulis komentar yang diminta oleh Prof Muzakki untuk bukunya yang baru tentang Inspiring Education yang kemudian disingkat Eduspiring. Sepulang dari Chicago, saya harus melakukan sesuatu yang baru dalam pengajaran di semua jenjang pendidikan dimana saya terlibat di dalamnya, khusunya untuk mahasiswa-mahasiswa saya terkasih, sebagai calon ilmuwan dan ulama kelas dunia kelak. Saya yakin mereka memiliki potensi untuk itu.
__________________________________________________________________
"Sakit apa di kepalamu, sehingga harus ditutup begitu?" tanya American pada Bunda Yanuar, muslimah Indonesia pekerja restoran tentang jilbabnya di Chicago beberapa tahun silam. Baru menganggukkan kepala, "Oh..I see" setelah diberi penjelasan.
Research on Tempe
Setelah diteliti mahasiswa Indonesia di Chicago, ragi terbaik dari Brazil, dan kedelai dari AS. Hasil eksperimen dengan menghilangkan sejumlah bakteri: rasanya lekker-lezat dan bisa disimpan selama 6 bulan dalam kulkas. Ia makanan elit dan harus sabar menunggu antri pesanan. The price? Ha ha it is more expensive than beef.
One theme of Training Salat as Key of Happiness (Chicago, Fri 10/3): Work hard at daylight, and do long sujud at a quiet night. By prostraiting comprehensively, remove the grief and reach stars in the sky (moh ali aziz)
Satu tema pelatihan shalat sebagai kunci dari kebahagiaan (Chicago, Jumat 10/3): bekerja keras di siang hari, dan melakukan sujud yang panjang di malam yang tenang. Oleh yang prostraiting, menghapus kesedihan dan jangkau bintang di langit (Moh Ali Aziz)
THE HUMBLE AND SMART IMAM
(Chicago, Juma't (10/3).
Betapa akrabnya Imam Masjid Al Huda di Chicago ini, Syekh Sa'ad Quwadry. Sebelum takbir, seorang di belakangnya bertanya, "Agak sakit ya?" Ia menoleh lalu ngobrol sejenak, dan baru memulai shalat. Usai shalat, tanpa zikir apapun, dan tanpa salam pembuka, ia mengangkat papan kecil bertuliskan doa bebas kesedihan dalam teks Arab dengan terjemah Inggris di bawahnya untuk dibaca bersama-sama. Cara itu dilakukan beberapa hari sampai semua orang hafal. Di tengah ceramah yang tanpa didahului protokol apapun itu, ia sempat berdiskusi dengan seorang jamaah dengan senyum yang menambah kesantunannya, sekalipun jenggotnya lebih dari 30 cm panjangnya.
Kajian subuh dengan kitab pegangan Riyadus Shalihin itu berlangsung tidak lebih dari enam menit, termasuk tanya jawab. Ceramah ditutup tanpa salam, hanya doa, "Hope, we take advantage of this speech."
Mengapa ia dicintai jamaah? (1) hafalan dan bacaan Al Qur'an beliau yang luar biasa. Ia sengaja tidak melantunkan ayat dengan lagu yang mendayu-dayu, semata-mata - menurut dugaan saya - untuk menjaga tajwid dan makhraj serta keikhlasan, sehingga jamaah tidak akan terpukai hanya pada lantunan, tapi pada isinya. (2) ia memenuhi harapan pengelola masjid, sebagaimana keharusan semua imam di Chicago, yaitu kreatif dan menyatu dengan jamaah serta akrab dengan semua anak-anak dan remaja. Ia terkenal ikut mengatur parkir mobil, membersihakn WC, bermain basket dengan remaja (youth), berlari-lari dengan anak-anak, dan ..ha ha juga mengajak camping mereka pada musim panas. Setiap datang ke masjid, ia selalu memarkir mobilnya sangat jauh dari masjid, agar pengunjung yang datang terlambat bisa mendapat parkir dengan cepat dan mereka bisa shalat berjamaah. Jadi imam di sini tidak hanya dituntut pandai dalam hafalan dan bacaan, tapi harus juga mampu sebagai mufti (pemberi fatwa agama) serta kreatif, bagaimana menjadikan jamaah kerasan, khususnya generasi mudanya. Menurutnya, "Children and youth are the future of Islam in USA." Pak Joko Suprayitno yang mengajak kami ke masjid mengatakan, "Anak-anak saya senang ke masjid ini karena sang imam yang akrab, bisa mengambil hati semua anak, rendah hati, dan tidak gila hormat." Saya tidak tahu, apakah ungkapan pekerja di General Electric America yang telah bekerja lebih dari 15 tahun ini menyindir imam-imam di Indonesia termasuk saya atau tidak. Tapi yang jelas, profil imam kelahiran Amerika dan alumni timur tengah tersebut memacu saya untuk selalu belajar dari kehidupan untuk meningkatkan kecerdasan intelektual dan emosional saya. Dalam mobil yang berheater menuju pulang, saya teringat pesan Nabi SAW yang disampaikan dengan melonjorkan tangan ke depan, lalu membalik telapak tangan dan mengangkatnya, "man tawadha'a lillah rafa'ahullah." (Siapapun yang rendah hati semata-mata karena Allah, pasti Allah akan mengangkat keimanan dan kemuliaannya).
Tak apalah tulisan ini terlalu panjang dan membosankan orang membacanya, tapi biarlah saya baca sendiri berkali-kali dan berulang-ulang sambil introspeksi. Jika Anda juga tertarik introspeksi, silakan juga melakukannya bersama Imam Al Bushiry (You Tube: moh ali aziz, klik Burdah)
________________________________________________
BACK BITING
Inilah yang sangat dibenci orang Chicago. Back biting secara bahasa berarti penggigitan dari belakang, yaitu membicarakan kekurangan orang kepada orang lain, tidak mau menegur secara langsung. Hampir mirip dengan istilah tersebut, Al Qur’an menyebut tindakan menyakitkan itu secara lebih ekstrim, “ya’kul lahma akhihi mayta” (mengunyah daging mayat). Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mencari-cari kejelekan orang, dan jangan (pula) menggunjing satu sama lain. Apakah seorang di anatara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Pastilah kamu jijik (melakukan) kepadanya.” (QS. 49:12).
Mengapa tingkat back biting di Indonesia lebih tinggi daripada Chicago? Jangan kaget, ini bukan hasil riset, tapi dugaan saya sendiri. Pertama, budaya masyarakat Chicago yang bicara terus terang kepada orang yang melakukan sesuatu yang tidak baik atau tidak disuka. Misalnya, “I don’t like the way you do.” (Saya tidak suka cara Anda melakukan hal itu). Lalu ditambahkan, “Menurut saya, sebaiknya, kamu begini….begini…” Dengan cara ini, pengritik tidak lagi menyimpan sakit hati, dan penerima kritik segera mengetahui apa yang seharusnya tidak boleh diulang pada pergaulan berikutnya. Apalagi pengritik tidak hanya mengritik, tapi juga memberi solusi dan masukan. Ini sejatinya ajaran Al Qur’an yang lama kita abaikan, “Demi masa, sungguh manusia akan merugi besar, kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan kebaikan, dan saling memberi kritik dalam kebaikan dan kritik untuk kesabaran.” (QS. 103: 1-3). Karena mengingkari ayat ini, maka dalam kehidupan sehari-hari, kita – misalnya - lebih sering membicarakan kekurangan seorang imam shalat yang kurang bagus dalam hal bacaan Al Qur’an, daripada memberi masukan dimana letak kekurangannya. Atau kita hanya menyimpan dalam hati dengan kedongkolan, tidak berani mengungkapkan secara terus terang kepada kawan sekantor yang sering tertawa terbahak-bahak dalam ruangan atau banyak bermain HP pada saat melayani publik, atau merokok dalam ruangan. Yang bersangkutan tidak mengerti apa yang salah dalam dirinya, sehingga mengganggu kenyamanan kita, dan kita sendiri mendongkol sambil sesekali menebar kekurangannya kepada banyak orang. Saat itulah kita berdosa sekaligus “bunuh diri” pelan-pelan, sebab setiap kedongkolan merusak sistem tubuh yang mengurangi imunitas, dan selanjutnya berarti mempercepat kematian kita. Allah SWT berfirman, “Matilah kamu dengan kemarahanmu itu.
Sungguh Allah mengetahui isi hati orang.” (QS. 03:119). Di sebuah perusahaan multinasional Chicago, manajer memberi award setiap bulan kepada karyawan yang paling banyak memberi kritik kepada teman atau pimpinan disertai saran atau alternatif solusinya. Komputer kantor secara otomatis memaparkan laporan bulanan data-data tersebut. Dengan cara demikian, dalam perspektif QS. 103: 1-3 di atas, berarti siapapun yang tawashaw (senang memberi dan menerima kritik), maka promosinya lebih cepat dan berarti ia tidak akan terpuruk (la fi husrin) karir dan ekonominya. Sebab, melalui kririknya, ia mendapat bonus, dan melalui kritik orang lain, ia bisa meningkatkan kualitas dirinya serta tidak mengulang kesalahan yang sama. Sungguh benarlah firman Allah.
Dalam perjalanan pulang dari preview Terapi Shalat Bahagia di North Side of Milwaukee (Jum’at 10-03- 2017), Pak Joko Suprayitno, salah satu redaktur Jurnal Indonesia Focus meneceritakan pengalamannya sebagai pengelola jurnal. Semua penulis harus presentasi hasil penelitiannya sebelum dimasukkan dalam jurnal. Seorang profesor yang mendapat kririk bertubu-tubi, bahkan sampai pada substansi penelitiannya, ia tetap menanggapinya dengan santai dan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Bahkan, usai acara, ia mendatangai para pengritik yang paling tajam untuk meminta tambahan kritik untuk revisi papernya sebelum dikirim kembali ke jurnal.
Ha ha, dua hari setelah itu (Ahad 12-3-2017), saya diuji untuk meniru ketulusan hati profesor di Indiana University of Pensylvania tersebut. Usai memimpin shalat shubuh, Harits Rodhin Danusubroto (23 tahun), calon doktor Psikologi Bisnis di Chicago School menghampiri saya. “Mohon maaf, bacaan Al Qur’an bapak perlu dibetulkan, khususnya qalqalah pada huruf dal yang kurang benar menurut petunjuk guru mengaji saya dari Mesir.” Pemuda kelahiran Amerika dan hafal Al Qur’an juz 30 itu juga membetulkan pengucapan bahasa Inggris saya pada ceramah di ICC (Indonesia Cultural Center) di jantung kota Chicago sehari sebelumnya.
Benar-benar indah. Allah SWT mengirim saya ke AS, ternyata bukan hanya untuk memberi pelatihan shalat, tapi justru yang paling penting adalah memperbaiki bacaan Al Qur’an saya. Ternyata juga, belajar Al Qur’an tidak selalu harus di Saudi Arabia atau Negara-negara timur tengah lainnya. Demikian juga belajar praktek Surat Al ‘Ashr tentang keluasan hati untuk menerima sebuah kritik.
Kedua, masyarakat Chicago tidak banyak memperhatikan hal-hal yang bersifat pribadi orang lain. Mereka tidak mempersoalkan, apakah baju seseorang terbalik atau tidak, bagian bawah celananya agak tinggi atau melebihi tumitnya, apakah rambutnya gundul total atau hanya seperempat, apakah pasangannya sah atau kumpul kebo. Saya tahu, bahwa ini tidak sepenuhnya benar, tapi sikap demikian dapat mengurangi secara drastis penggunjingan. Betapa konyolnya, jika seorang muslim memandang sinis kawannya hanya karena potongan celananya tidak sama dengan dirinya, atau cara shalatnya yang berbeda dengan shalatnya. Lebih fatal lagi, keunikan pribadi itu kemudian difoto tanpa seijin yang bersangkutan lalu disebar ke penjuru alam, sampai malaikat di langit ikut membacanya.
Kadangkala kita menilai orang dengan ukuran perasaan atau budaya sendiri. Seorang berteriak mengritik kehidupan suatu Negara dimana seorang anak mengirimkan orang tuanya ke sebuah panti. Tahukah Anda, bahwa dalam pandangan masyarakat Chicago, tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya adalah mengirimkan orang tuanya ke sebuah panti, sebab di sana kaya fasilitas melebihi fasilitas di rumah sendiri. Karenanya, biayanya amit-amit mahal. Si anak bangga dan orang tuanya happy tinggal dalam panti yang amat nyaman. Padahal menurut budaya Anda, pengiriman orang tua ke panti merupakan kedurhakaan yang terkutuk, karena sama dengan membuang mereka dari rumah, dan seolah tidak mau lagi mengurusnya. Substansi bakti kepada orang tua dalam Islam adalah memberikan hormat dan kebahagiaan kepada mereka. Sedangkan teknisnya diserahkan kepada masing-masing keluarga berdasarkan kearifan lokal.
Selama di Houston, Bang Aji Wibowo, pagawai Konsul Jenderal RI menceritakan sesuatu yang unik tentang perbedaan budaya tersebut. Masyarakat Houston memandang gadis yang masih perawan berarti gadis yang tidak menarik, sebab berarti ia tidak banyak diminati orang. Sedangkan masyarakat kita memandang sebaliknya. Pak Joko Suprayitno, doktor dan pekerja di General Elecric, asal Ngawi Jawa Timur menambahkan, suami istri di Chicago yang makan di restoran akan membayar sendiri-sendiri, dan bagi mereka hal biasa dan happy-happy saja. Justru yang menderita adalah Anda sendiri, karena heran, menggerutu dan mengritiknya berdasar ukuran budaya Anda. (Chicago, 12-3-2017)
Keterangan gambar: (1) Peserta Preview Terapi Shalat Bahagia di Northside Chicago: Tom (suami Natalina asal Surabaya) dan Bilal (nama baru, suami Nurjannah asal Bojonegoro) (2) di depan Masjid Islamic Society of Milwaukee (3) Para lansia jamaah shalat Jum'at di masjid yang sama, di atas kursi berderet seperti di gereja)
Description: Foto Moh Ali Aziz.
__________________________________________________________
I LOVE YOU, ZABIHA
Pada hari kesepuluh (11-3-2017) tour dakwah di Amerika Serikat, saya diantar panitia dari Milwaukee melalui perjalanan darat menuju ICC(Indonesia Cultural Center) di tengah kota Chicago. Untung saya tidur di mobil, sebab perjalannya sangat “mengerikan.” Jarak 150 km itu ditempuh hanya dalam 90 menit, melintasi tol panjang dan kebetulan jalanan sepi. Saya lelap, sebab sejak usai shalat subuh sampai jam 09:30, saya menjadi nara sumber Lentera Pagi melalui Radio IMSA yang disiarkan secara live ke seluruh dunia. Radio yang dipandu oleh Prof. Dr. Yusmin Alim (Cornel University) di New York itu bisa diakses melalui video, bahkan bisa mengikuti dan menshare slide power point untuk topik yang dipilih saat itu, SOUND HEALING BY AL QUR’AN. Anak saya, Advan Navis Zubaidi yang sedang menyelesaikan doktor dan sesekali menjadi imam di Masjid Al Ikhlas di Amsterdam pun bisa mengaksesnya. “Bolehkah Al Qur’an dilagukan dengan intonasi Amerika?,” “Benarkah ada larangan memelihara anjing dalam Islam?” “Bagaimana pengaturan tempat shalat jamaah di masjid bagi wanita, sehingga tidak terkesan diskriminatif.” Itulah beberapa pertanyaan “pemirsa-pendengar” Radio IMSA. Pertanyaan pertama itu diajukan karena di tanah air pernah terjadi kontroversi tentang hukum Al Qur’an yang dilantunkan dengan lagu Jawa. Saya lupa nama para penanya, sebab amat banyak yang bergabung, antara lain: Prof. Dr. Kustim Wibowo (Indiana University of Pensylvania, tretan dibi dari Madura), Prof. Doni Wulandana (New York University), Prof. Kristiadi (West Virginia University), Prof. Agus Sufyan (Kentucky University) dan Prof. Nur Hidayat (Tenese University). Jujur saya katakan, pada mulanya saya sedikit grogi, karena ini acara besar secara live pertama yang saya alami yang diikuti oleh berbagai pakar dengan alam pikiran dan disiplin keilmuan yang beragam. Ah itu tak seberapa, yang lebih susah adalah mazhab keagamaan mereka yang berbeda-beda pula, mulai dari yang paling soft sampai yang ultra hard. Tapi, karena saya mengharamkan minder pada semua mahasiswa saya, maka sayapun harus percaya diri, dan ternyata biasa-biasa saja. Inilah yang selalu tanamkan kepada mahasiswa saya, “Kerjakan yang paling kau takuti. Ketakutan itu pasti akan lenyap sendiri.”
Setiba di Chicago, wah..senanglah hati saya, sebab sebentar lagi bisa foto bersama Spiderman dan Batman. Dua film kolosal itu dibuat di kota ini. Gagal, ternyata hanya bisa berjabat tangan dengan patung Abraham Lincoln di dekat sungai yang dihajaukan total untuk menambah keindahan kota pada hari itu sebagai hari istimewa bagi masyarakat Chicago. Di ICC Chicago itulah, Training Terapi Shalat Bahagia dalam bahasa Inggris angkatan kelima (selama di Amerika) dilaksanakan. Udara sangat dingin (<2 C), sehingga dengan dua lapis jaket dan empat lapis kaos tipispun, saya tidak berani mengeluarkan tangan dari saku. Tapi, tiba-tiba terasa hangat setelah melihat semangat para peserta yang sudah menunggu. Penyambut pertama kali adalah Leo Schwaub, mualaf putra pendeta yang menikahi Anisah (asal Bandung). Sambil mengangkat talam penuh bakwan (ote-ote Surabaya), ia membukakan pintu. Pasangan inilah yang kemudian mengijinkan anaknya usia SMP, Adam Schwaub untuk mendemonstrasikan hafalan Surat Al Baqarah. Merdu sekali suaranya. Saya malu…trainer jauh-jauh dari Surabaya ternyata kalah hafalan dengan remaja kelahiran Amerika.
Berbeda dengan acara ibu-ibu di Indonesia, hampir semua muslimah peserta training tidak membawa mukna. Mereka shalat dengan pakaian yang dipakai untuk acara itu, sehingga telapak dan punggung tangan masih tetap terbuka pada saat shalat. Mereka juga membawa aneka makanan Indonesia untuk dijual atau untuk sedekah dimakan bersama. “Silakan pak, ini sayur pare. Pahit, tapi mak nyus pak,” kata Bu Syafira, alumni Philip Moris University yang sekarang bekerja di US Health Care Management. Saking lamanya di AS, sampai saya tidak mengerti beberapa istilah dan bahasa umum yang dia ucapkan. Tapi, ya saya pura-pura mengerti saja daripada tidak ikut makan karena sibuk bertanya. Ia akan mengirim anaknya yang di Jakarta, alumni Inggris ke Surabaya untuk lebih prestasi dan lebih lurus melalui training shalat.
Menjelang magrib, acara selesai. Saya diajak menikmati ice cream yang paling terkenal di Chicago, lalu putar-putar sejenak ke tengah kota melewati Trump Tower milik presiden sekarang dan hotel milik Oprah Winfrey di antara deretan hotel termahal dunia. Oleh Bapak Iskandar Danoe Soebroto, salah satu tokoh senior dakwah di USA, saya juga diajak melewati Michigan Avenue, pusat perbelanjaan paling keren yang dipenuhi para turis dengan busana dan mode rambut unik-unik yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Paling menarik bagi saya adalah ketika saya ditunjukkan Devon Street. Jalan sepanjang 3 km itu hampir semua dipadati toko dan restoran-restoran muslim Pakistan dan India dengan kaligrafi Arab, “Ma Syaa Allah” di pintu masuknya. Mobil kami parkir persis di depan Basmalah Restaurat. Saya melihat juga Zabiha Halal Meat, Mihrab, Lasan Zabiha Halal Meat, Mihrab dan nama-nama lain yang menunjukkan identitas Islam. “Unik ya pak, pertokoan dan restoran halal ini justru berada di tengah perkampungan masyarakat Yahudi,” kata Ibu Chandri Januari, ibu asal Jakarta yang sudah lebih dari 20 tahun menetap di Indiana State. Pratama Wicaksana Danoe Soebroto yang akan menjadi salah satu panitia training di Canada setelah acara di Chicago ini adalah putra beliau juga.
Di depan salah satu restoran halal di jalan yang amat strategis tersebut, terdapat halte bus dengan background papan panjang bertuliskan: GOD IS ONE. Tulisan di bawahnya: Adam, Noah, Abraham, Moses, Jesus, and Muhammad are PROPHETS OF GOD. Kata pak Fajar Yusuf dari KJRI Chicago, “Pemasangan papan dakwah itu tidak gratis pak. Pajaknya sangat mahal dan itu dibayar oleh komunitas Pakistan dan India.” Pegawai Konsulat yang terlihat sangat santri ini juga staf redaksi jurnal Indonesia Focus yang dikelola bersama para dosen dan mahasiswa Indonesia di Cornel University, Tenese University, Kentucky University, West Virginia University, dan Indiana University of Pensylvania. Jurnal ini sengaja dibuat untuk membantu para dosen di Indonesia untuk menyalurkan hasil-hasil penelitiannya secara internasional. Ia mempersilakan dosen UIN Sunan Ampel untuk mempresentasikan hasil penelitiannya di forum ilmiah yang dirancang oleh redaktur untuk selanjutnya di masukkan ke dalam jurnal bergensi itu. “Silakan, saya tunggu pak September depan,” pinta Joko Suprianto yang duduk di sebelah saya.
Berbeda dengan pada tahun 1990an, sekarang restoran halal ada di mana-mana, demikian juga penjualan daging halal, baik Zabiha ataupun Koshr. Zabiha adalah daging sembelihan orang Islam, sedangkan Koshr sembelihan orang Yahudi. “Sekalipun sama-sama halal, kami selalu membeli Zabiha. Sebab kita harus ikut membesarkan pengusaha muslim, sekaligus tingkat halalnya dalam hati 100%,” kata Ibu Chandri Januari ketika menyuguhkan jus smoothy untuk keluarga dan saya agar memiliki ketahanan tubuh menghadapi salju yang mulai turun menutupi jalan raya dan halaman rumah. Asyik, pengalaman pertama melihat hamparan salju. Rerumputan juga telah merata “berjilbab putih.” Jus Smoothy adalah jus yang terdiri dari 11 buah organik, yaitu kiwi, pisang, apel, kurma, kelapa muda, nanas, apukat, jeruk, anggur dan sebagainya. Benar, badan saya sangat segar dan sampai siang tidak terasa lapar. Ketika menikmati jus buah itu, saya teringat beberapa pengemis penduduk asli AS di beberapa jalan raya. Di samping rasa syukur bahwa orang Indonesia lebih sejahtera dari mereka, saya juga berpikir betapa mencoloknya kesenjangan antara si kaya dan miskin di negara super power ini. Hampir tak percaya, tapi nyata.
Sayang sekali, masjid di tengah komunitas Pakistan dan India di bawah payung organisasi Holyland tersebut ditutup sejak tahun 2011, sebab salah satu anggotanya diduga terlibat dalam peristiwa pengeboman twin towers (911) pada era pemerintahan George Bush. Dampak psikologis peristiwa itu masih dirasakan muslim AS sampai hari ini. Sekarang tantangan itu bertambah lagi sejak terpilihnya presiden baru di negeri ini. Ini juga kata motimatif untuk mahasiswa saya: “Gantilah kata kesulitan dengan tantangan. Itu lebih menggairahkan.” (Indiana State, Senin, 13-03-2017)
Keterangan Gambar: (1) Bersama Leo Schwaub (2) Bersama Prof. Dr. Kustim Wibowo, asal Sumenep (3) Restoran Halal Chicago (4) "iklan" dakwah

Description: Foto Moh Ali Aziz.
Text Box: (4)
__________________________________________________________
BELAJAR BAHASA AMERIKA
MELALUI SHALAT BAHAGIA
Pada hari ke 12 dan 13 (Senin, Selasa 13-14 Maret 2017) tidak ada kegiatan dakwah sama sekali, sebab salju tebal telah mengafani tempat saya tinggal, Indiana State, 32 km sebelah selatan Chicago. Di rumah Bapak Iskandar Danoesoebroto inilah hampir semua ustad dari Indonesia beristirahat. Rumah ini juga sekaligus dijadikan tempat pelatihan dan penginapan peserta pesantren kilat. “Dulu pesantren kilat, sekarang diganti namanya dengan LKII (Latihan Kajian Islam Intensif),” kata seorang panitia sambil menyiapkan makanan dua anaknya yang sama-sama tidak bisa berbahasa Indonesia. Unik. Sekalipun anak usia TK itu lahir di Amerika, tapi makannya hanya nasi dan kecap Indonesia. Selain itu tidak.
Saya sangat kagum pada kedua anak yang sama-sama berani azan dan iqamat dalam beberapa kali shalat jamaah sekalipun masih usia TK dan SD. Berani tampil, berani ditertawakan, berani salah (tentu tanpa kesengajaan), berani bertanya, berani mengritik, dan berani-berani lainnya merupakan bagian dari pendidikan di negara ini. Saatnya, anak didik kita di Indonesia dibangkitkan confidensnya agar bisa tampil memimpin dunia, sebab “masa depan dunia hanya berada di tangan orang yang percaya diri.” Meskipun anak Anda cerdas dan the best dalam semua jenjang pendidikan, ia akan tenggelam dalam kesepiannya jika semua kecerdasannya terkubur dalam-dalam oleh mindernya.
Karena tidak ada kegiatan di luar, maka yang ada hanya beberapa kali diskusi terbatas dengan 3-10 orang tentang isi dari beberapa buku saya. Bisa diduga, diskusi tentang buku Terapi Shalat Bahagia paling menarik. Bahkan Prof. Dr. Kustim Wibowo dari Indiana University of Pensylvania dan istri yang sudah pamit duluan karena perjalanan pulang harus ditempuh 13 jam, tertarik dan ikut duduk untuk berdiskusi kembali. Ibu Hukli asal Sulawesi yang sudah tinggal 40 tahun di Amerika juga tega meninggalkan suaminya di rumah sakit dan bermalam di rumah ini bersama seorang temannya karena esok harinya ingin diajari secara khusus bagaimana kiat “bersiul riang di tengah badai yang menghadang” melalui shalat. Kawan yang menyertainya, Ibu Syafira mengatakan, “Pak, dulu sahabat nabi harus berdarah kakinya menempuh perjalanan sekian hari hanya untuk mendapatkan satu hadis, masak dalam mencari ilmu saya menyerah karena alam.” Saya kaget, dan dalam hati saya, “Wuh..ibu ini hebat, hafal sejarah hidup Abu Hurairah r.a.”
Sambil menyaksikan salju yang terus turun indah seperti kapas lembut yang beterbangan melalui jendela kamar lantai dua, saya membuat persiapan training selanjutnya yang diminta dalam bahasa Inggris sepenuhnya. Mohon maaf, kisah salju saya utarakan, sebab saya lahir di sebuah desa di Lamongan. Di desa ini, yang sering saya lihat adalah banjir di musim hujan ataupun kapas randu yang beterbangan di musim kemarau, bukan salju. Ya, memang dulu pernah dakwah musim dingin di Belanda dan Inggris, tapi kebetulan tak bersalju.
Kembali ke training shalat dalam bahasa Inggris. Dulu, sewaktu training shalat di China dan beberapa negara lain, boleh presentasi dengan campuran bahasa Indonesia dan Inggris. Sekarang, hanya diijinkan jika khusus diikuti orang Indonesia. Lha, di sinilah saya menemukan teori baru belajar bahasa Inggris. Dan teori ini baru saja saya sampaikan ke Bapak Prof. Dr. Abd. A’la, rektor kebanggaan saya melalui telpon tadi pagi, di samping menanyakan hal-hal lain, termasuk puting beliung di kampus seminggu sebelumnya yang saya saksikan melalui internet. Maklum, karena belum pernah melihat angin sekencang itu, maka beritanya jadi dilebih-lebihkan oleh sebagian pengguna medsos.
Ingat kan Anda, “The Power of Kepepet?” Sebuah fakta: orang yang hanya bisa melompat satu meter, ternyata bisa melompat lebih jauh ketika dikejar anjing yang akan menggigitnya. Tukang ojek tua di Jakarta yang tidak pernah pegang HP, tiba-tiba bisa memainkan HP android, karena ia kepepet, hanya dengan cara itu ia bisa bergabung dalam ojek on-line. So, believe me, kepepet makes you the best. Saya amat yakin, potensi Anda sangat besar, tapi terus terpendam bahkan tidak muncul sampai mati, karena tidak ada situasi yang memaksa Anda. Maka bersyukurlah dalam kesulitan dan keterpaksaan, sebab itulah tangga yang disiapkan Allah untuk mengantarkan Anda ke puncak sana.
Sayapun, tidak pernah bisa menggunakaan android WA sebelum ke Amerika ini. Tapi, setelah kepepet, bisa juga. Dan ternyata tablet tipis pintar ini banyak memberi kemudahan yang membantu saya selama berdakwah di negara Donald Trumph ini. Dengan HP ini, saya bisa membuka kamus bahasa Inggris-Indonesia atau Indonesia-Inggris, mencari terjemahan al Qur’an dan hadis dalam bahasa Inggris. Jadi, sebelum ceramah harus menyapa dan belajar dulu bahasa Inggris pada guru yang mendampingi saya di perantauan: HP.
Itu belum cukup. Semua terjemah Al Qur’an dan doa-doa shalat dari Nabi harus saya hafal dan saya pergunakan untuk bahan renungan dalam semua gerakan shalat. Setelah mulai lancar, saya tambahkan curhat pribadi dalam hati (sekali lagi dalam hati, tidak diucapkan agar tidak membatalkan shalat) dan bermesra-mesra dengan Allah dan Rasulullah dalam bahasa Inggris. Bagi alumni training Terapi Shalat Bahagia, teori perenungan shalat ini cepat dimengerti. Bagi yang lain, diperlukan sedikit kesabaran untuk memahaminya agar tidak tergesa-gesa menghakimi secara negatif. Saya sudah tahu bahwa doa-doa shalat dari nabi sudah paten, alias tidak boleh ditambah dan dikurangi sama sekali. Semua perenungan ini hanya merupakan terjemah dari semua ayat al Qur’an dan doa-doa dalam shalat dari Nabi SAW ataupun breakdown atau rincian makna yang tersirat sari doa-doa tersebut. Dan, itupun hanya dalam hati, bukan diucapkan. Hanya doa dalam teks Arab dari Nabi yang diucapkan secara lisan.
Agar Anda tidak penasaran, saya cuplikkan sebagian renungan dalam bahasa Inggris itu. Setelah membaca surat Al Fatihah, jangan tergesa-tergesa melanjutkan membaca surat al Qur’an ataupun rukuk. Tapi, renungkan terlebih dahulu artinya dalam bahasa Inggris yang telah Anda hafal sebelum shalat. Sekali lagi, Anda harus telah hafal sebelum pelaksanaan shalat.
Contoh yang lain. Setelah membaca doa pada posisi duduk di antara dua sujud, maka Anda bisa merenungkan arti pokok dan detailnya dalam hati sebelum melanjutkan sujud. Antara lain: Oh Allah, forgive me. Have mercy on me. Provide me prosperity and Health. Forgive me. I often complain for problems of my life. Forgive me. I did not worship you the best like your prophet SAW does. Oh Allah, forgive me, I speak much and do less. Have mercy on me, that you forgive the sins I committed. Have mercy on me that you recover my deseases and open the doors of my prosperity and blessings for me.
Sekali lagi sebuah contoh praktek. Setelah selesai membaca doa tasyahud, Anda bisa berkontemplasi sebagai berikut: Oh Allah, may peace and blessing of Allah be upon Muhammad. Oh Allah, provide me courage and guidance so that I and my family can imitate the best behavior of Rasulullah. Oh Allah, I wish Rasulullah came to me with his beautiful smile and fresh fragrance to guide me reciting La ilaha Illallah when Izrail will pass me away. Oh Allah, I wish You reunite me and my family later with Rasulullah in paradise.
Sengaja tidak saya terjemahkan untuk memberi kesempatan Anda menerjemahkan sendiri atau membetulkan redaksi kalimat di atas. Saya tidak malu dan marah, jika alumni sastra Inggris atau orang Amerika menertawakan kalimat di atas yang amat beraroma Jawa saya.
Saya amat terbantu bahasa Inggris saya melalui perenungan in English seperti itu. Sebab, berarti setiap hari saya praktek conversation in English. Adakah belajar bahasa yang cepat tanpa praktek rutin?. Jangan mengira Allah tidak mengerti dialog bahasa Inggris dan hanya bisa bahasa Arab.
Selain itu, jika shalat Anda lebih lama, adakah kemuliaan manusia melebihi orang yang berdialog berlama-lama melalui shalatnya? Tapi, memang melelahkan, sebab dua rakaat shalat malam harus diselesaikan lebih dari 45 menit. Maaf, salah ucap. Kata melelahkan harus diganti “menyenangkan,” sebab kata yang terakhir itu lebih memberi motivasi. Telinga mahasiswa saya selalu saya sambungkan dengan teriakan, “Jika ingin bersinar seperti matahari, kamu harus siap terbakar sepertinya” dan “Berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian.” Ustad Muthohir Arif LC, imam baru dari Indonesia di Masjid Istiqlal Houston yang bersama-sama saya meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dengan cara itu, kemarin malam menyampaikan terima kasih dan apresiasi atas metode itu. Subhanallah, dua hal sekaligus dapat diraih: khusyuk yes, English yes.
Bagi yang berminat dan setuju silakan dipraktekkan. Bagi yang tidak setuju, saya kutipkan stiker besar di pintu masjid milik komunitas orang Arab Saudi di Central Lake City Houston, yang saya kunjungi sepulang dari NASA bersama Pak Irwan Thamrin Tantu, “You can disagree without being disagreeable.” Lha yang ini saya terjemahkan, “Silakan tak setuju, tapi jangan marah, ya.” (Indiana State, Selasa 14-3-2017).
Keterangan gambar: (1) Bersama Bapak Iskandar Danoesoebroto di depan rumah berjilbab salju (2) Bekas gereja yang dibeli masyarakat Indonesia untuk Masjid Istiqlal Hosuton (luas 4 h.a) (3 dan 4) board "disagrreable" depan pintu masjid Komunitas Arab di Central Lake City Houston yang dipenuhi taman bermain anak-anak dan ruang fitness agar anak-anak dan orang ketagihan datang ke masjid (4 dan 5) Bersama pak Irwan Thamrin Tantu dan istri di NASA, Space Center dalam pesawat shuttle angkasa yang sudah dipensiunkan. Beliau salah satu pemilik sekolah Islam Iman Academy (10 h.a) dengan tiga cabang sekolah, dan 25 tahun silam, saya diminta membaca doa pada acara pinangan mereka di Surabaya.
Text Box: (1)
 







Text Box: (6)Text Box: (5)Description: Foto Moh Ali Aziz.  


__________________________________________________________________
MENGUSIR SETAN
DENGAN DOGGY BAG
Catatan ini saya tulis di atas Porter Airlines (Rabo, 15-03-2017) keluar beberapa hari dari Amerika (Chicago) menuju Ottawa Canada dengan transit di Toronto untuk tiga kajian Islam, yaitu di Fantera Way, di Rockcliffe Park, dan puncaknya, Workshop Terapi Shalat Bahagia di KBRI Ottawa. Ruang tunggu bandara terasa hangat setelah di luar berangin-salju minus 7 celcius. Di ruang tunggu itulah saya menemukan “yarhamukallah” (semoga Allah merahamtimu) dalam bahasa Inggris ketika saya bersin. “God bless you,” ucap wanita 70an tahun yang duduk di sebelah saya. “Thank you,” jawab saya. Terulang, ketika di toilet, saya bersin agak keras, dan anak muda agak jauh dari saya mengucapkan yang sama sedikit kencang sambil mencukur kumisnya. Dalam hati saya, “Kenapa kebanyakan muslim diam, tetap bermain HP, dan tak berdoa apapun untuk orang bersin di sebelahnya?” Maaf, terkecuali Anda. Untung seminggu sebelumnya, dalam suatu pengajian di Woodland ada pertanyaan, “Orang Amerika selalu mengucapkan “God bless you” ketika mendengar orang bersin. Bolehkah saya menjawab yang sama, padahal kita dilarang berdoa tentang ampunan dan rahmat untuk non muslim?”
Sebelum meninggalkan Indiana State, malam harinya saya diajak ke Aladdin Pita, restoran milik orang Palestina dengan menu timur tengah. Sayup-sayup musik Arab terdengar menyambut pengunjung. Tidak lama kemudian, dua wanita jangkung berseragam ketat hitam-hitam tanpa jilbab menyodorkan menu. Mereka kaget ketika saya ajak bicara dengan bahasa Arab. “Ana minal Urdun, la min Falestin” jawabnya sambil menulis menu pesanan, ketika saya bertanya, “Min Falestin?.” Di restoran besar dengan dekorasi padang pasir, antara lain pohon kurma, unta dan sumur dengan gantungan timba air di atasnya itu, terdapat tempat shalat dengan sajadah yang unik. Setiap orang menarik kertas putih selebar sajadah dari gulungan kertas di pojok ruangan untuk shalat, dan dibuang ke tong sampah usai shalat. Praktis dan higiens memang, tapi ya agak boros.
Harits Rodhin Danoesoebroto yang duduk di sebelah saya mengajari cara menikmati hidangan yang baru disajikan. “ Sup adas hangat ini dulu pak,“ tunjuknya dan menambahkan adas adalah salah satu makanan yang disebut dalam Al Qur’an. Oh ya, saya ingat sedikit dalam Al Qur’an, “wa’adasiha wabashaliha.” Menurut saya, Rodhin adalah pemuda super. Umur 21 tahun sudah lulus master bidang psychology of business di Purdue University Indiana. Sekarang calon doktor di Chicago University. Kesulitan bicara dan kekurangan fisik pada kakinya sama sekali tidak mengurangi semangatnya untuk berprestasi. Sekalipun tidak bisa membaca Al Qur’an sebagaimana orang normal pada umumnya, ia hafal juz ‘amma dan sangat menguasai ilmu tajwid dari guru-guru yang berasal dari timur tengah. Maka, tak heranlah ia pernah membetulkan bacaan Al Qur’an saya, khususnya bacaan qalqalah yang kurang “menggigit” katanya, di samping – tentu – membetulkan pengucapan bahasa Inggris. Misalnya kritik pengucapan bowing (rukuk) yang seharusnya dibaca “bauing,” tapi saya mengucapkannya “boowing. Ia sangat periang serta tidak minder sedikitpun. Dialah yang perlu dicontoh dalam menerapkan semboyan orang-orang yang sukses, “Maksimalkan kelebihanmu, dan lupakan kekuranganmu” atau, “Bersuka citalah dengan yang ada, dan hindari mengandai-mengadai apa yang tidak ada.” Atau meyakini poster dalam masjid di Clear Lake Islamic Center di Houston ini, “Everyone is gifted, but some people never open their package” yang artinya setiap orang, tak peduli sempurna fisiknya atau tidak, pasti dibekali Allah sebuah bakat yang mahal, tapi sayang beberapa orang tidak mau menggalinya. Harits Rodhin adalah pemuda muslim Indonesia-Amerika yang cerdas menginspirasi diri dengan kisah tentang pemain golf dengan satu tangan yang berhasil mengalahkan ratusan lawan yang lengkap tangan, karena ia tidak minder dan memaksimalkan tangan kirinya dengan latihan bertahun-tahun, tanpa mengingat sama sekali tangan kanannya yang tidak dimiliki sejak lahir.
Masyarakat Amerika lebih banyak berinteraksi dan berguru dengan orang-orang Arab daripada orang Indonesia. Tidak terkecuali, orang-orang Indonesia di negara ini juga lebih banyak berguru kepada orang Arab, karena lebih banyak masjid komunitas Syiria, Saudi Arabia dan sebagainya, dan di situlah mereka belajar Islam. Maka beberapa toilet masjid Indonesia di Amerika, tempat wudlu dan sebagainya dirancang seperti timur tengah. Jangan kaget, jika suatu saat Anda bermakmum pada orang Indonesia di manapun di Amerika dengan bacaan surat-surat panjang. Berkali-kali saya mendapat ucapan dari orang-orang Indonesia yang jarang saya dengar di Indonesia, kecuali di perkampungan Arab atau pada komunitas alumni timur tengah. “Fi amanillah,” yang artinya semoga tetap dalam perlindungan Allah, amat sering saya dengar ketika melepas orang yang berpamit. Dalam pergaulan sehari-hari, baik langsung maupun lewat media sosial, saya sering mendengar ungkapan-ungkapan bernuansa Islam atau timur tengah pada umumnya. Misalnya, “ma’as salamah (semoga selamat dalam perjalanan),” “jazakallah khaira (semoga Allah membalas Anda dengan keberkahan),” “tafaddhol (silakan),” “isbal (memanjangkan celana di bawah tumit)” “al haya’ (rasa malu),” dan sebagainya.
Setelah menikmati dinner, saya lihat makanan di meja masih banyak tersisa, karena porsi jumbo. “Agar pak ustad bisa memilih dengan lengkap,” kata orang tua Harits yang duduk persis berhadapan dengan saya. Harits lagi-lagi mengucapkan kalimat indah yang susah saya pahami sebelum ibundanya menjelaskan, “Someone’s trash is someone else’s treasure” yang artinya sampah seseorang bisa jadi sesuatu yang berharga bagi orang lain. Maksudnya, makanan yang tersisa di restoran harus dibawa pulang untuk dimakan di rumah atau diberikan orang. Jika sampai terbuang oleh restoran, maka yang berdosa adalah pembeli makanan itu.
“Doggy Bag?,” tanya pelayan restoran kepada kami berempat. Dalam hati saya, apa kita ini dianggap anjing atau punya piaraan anjing, sehingga ditawari tas anjing. Ternyata arti doggy bag adalah membawa pulang sisa makanan di restoran. Mungkin, dahulu untuk makanan anjing di rumah. “Orang Amerika memang sangat bersia-sia dalam makanan atau wasty pak,” kata Bapak Iskandar, ayah Harits. Lalu saya teringat penjelasan Fajar Yusuf, staf KJRI Chicago dua hari sebelumnya, bahwa Presiden Clinton pernah mengkampanyekan doggy bag setelah melihat berapa ton makanan sisa di restoran-restoran Amerika yang terbuang setiap hari. Padahal, sekian juta orang di dunia masih kelaparan. Di Amerika sendiri juga masih dijumpai orang-orang gelandangan (homeless).
Menurur staf KJRI, yang ternyata teman sekampus Fathan Aniq, dosen UIN Sunan Ampel sewaktu kuliah di Belanda tersebut, ada kebiasaan orang Amerika untuk menyisakan makanan, baik di piring atau di meja makan. Tujuannya memang baik, yaitu untuk menunjukkan pada pemberi makanan rasa terima kasih, bahwa mereka amat puas dan kenyang, sampai tidak bisa menghabiskan suguhan. “Oh begitu,” rasa heran saya. Sejak itu, saya berkampanye untuk mengusir setan melalui hidup yang lebih hemat, dan menjauhi semaksimal mungkin berprilaku boros. Silakan Anda buka Kitab Suci Al Qur’an atau hanya melalui android Anda AQ. Surat Al Isra [17]: 26-27: “..dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sungguh, orang-orang boros adalah saudara-saudara setan, dan setan itu amat ingkar keada Tuhannya” Semakin Anda boros, semakin lengket Anda dengan setan. Jika diterus-teruskan, tidak lama lagi nama Anda dimasukkan dalam KSK (Kartu Susunan Keluarga) dan Iblis sebagai kepala keluarga.
Yang menarik dalam obrolan makan malam itu adalah tentang Fathullah Ghullen, ulama Turki yang sedang melarikan diri di Amerika ini. Keluarga yang mengajak dinner ini memiliki dua menantu yang sama-sama Turki. Mereka berbicara banyak tentang Ghullen dan perdana menteri Turki sekarang yang sedang berselisih dengannya. Mengapa menarik, sebab saya sedang membimbing disertasi Sokhi Huda dan akan ujian tertutup di pasca sarjana UINSA tahun ini dengan judul dakwah sufistik Fathullah Ghullen. Jadi amat membantu saya untuk membimbing disertasi tersebut lebih teliti. Maaf … maaf tulisan ini harus saya putus, sebab pramugari telah menyuruh saya menutup laptop, pesawat segera mendarat di Toronto, Canada. “Ma’as salamah, fi amanillah” (Toronto, Rabo, 15-03-2017)
KETERANGAN GAMBAR:
(1) Masjid Madinah dekat pusat Fitness Center Hosuton dengan imam dari Arab dan setiap subuh memberi kajian Al Qur'an dan hadis kira-kira 5 menit. Di situlah saya diminta adzan subuh, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Amerika 3-3-2107 (2) Restoran Palestina (3) Masjid ISM (Islamic Society of Milwaukee) Chicago (4) Poster di masjid komunitas Arab di Clear Lake Islamic Center.
Text Box: (1)
Description: Foto Moh Ali Aziz.

Description: Foto Moh Ali Aziz.   Description: Foto Moh Ali Aziz.
Text Box: (3)Text Box: (2) 
   
Text Box: (4)Description: Foto Moh Ali Aziz.
__________________________________________________________________
OMA PERAJUT LINTAS AGAMA

Catatan hari ke 16 (17-3-17)
Tour Dakwah Amerika Canada
Pada pintu keluar bandara Ottawa, Canada (Rabo 15/3), tiga orang kekar dengan tutup muka dan kepala hitam menghadang saya dan bertanya, “Pak Ali dari UIN Surabaya?” Ternyata mereka penjemput dari KBRI Ottawa. Bukan teroris, itu pakaian untuk melawan salju yang menggunung di depan bandara, minus 10 derajat celcius. Mereka bukan kekar, hanya jaketnya yang berangkap. Sebelum disediakan termal (pakaian ketat pembungkus celana penahan dingin), saya memang jadi bahan ketawa, karena sarung yang saya masukkan ke dalam celana, sehingga terlihat bengkak, bukan kekar, karena tidak merata, ha ha.
Setelah istirahat semalam di kediaman Ibu Suwartini Wirta, Deputy Chief of Mission KBRI, Kamis subuh diajak Bapak Sukardi, suami beliau, untuk shalat berjamaah di Masjid OMA (Ottawa Mosque Association) agak jauh, kira-kira 20 menit perjalanan mobil dari wisma. Badan sangat fresh karena istirahat di kamar dengan fasilitas yang nyaman dan luks. Apalagi mampir dulu di Café kopi terkenal, Tim Hortons. Begitu luksnya sampai saya cukup lama di kamar mandi, wah..karena tidak mengerti cara membuka kran air. Perlu saya tambahkan juga, sejak di Houston dan Chicago Amerika, sampai di Canada ini, tidak ada satupun toilet, baik di masjid ataupun rumah yang lantainya basah. Semua serba tissue. Maka, saya membayangkan, bagaimana jika penduduk negeri ini bertamu di rumah saya atau masjid Anda. Wah, bisa-bisa muntah atau jatuh kepleset atau membatalkan hajatnya.
Masjid OMA adalah masjid besar tiga lantai dan tertua di Ottawa, yang didirikan oleh komunitas muslim antara lain dari Pakistan, Turki, Mesir, dan Indonesia. Diperlebar terus, tapi selalu tidak muat untuk shalat Jum’at. Maka, gereja di sebelahnya saat ini juga sedang dalam proses pembayaran untuk dibeli.
Senang sekali saya mendengarkan bacaan Surat Ali Imran yang dibaca oleh Syekh Sami. “Marhaban, marhaban,” kata imam masjid dari Mesir dengan jubah putih dan jengot hitamnya yang tidak terlalu tebal sambil menjabat tangan saya. Senyum dan tutur katanya sangat mengesankan dan saya harus menirunya. Tidak lama kemudian, saya dipertemukan dengan brother Mumtaz, jamaah masjid yang ditunjuk sebagai ketua Food Bank, lembaga sosial pengumpul makanan untuk dibagikan kepada orang-orang miskin, tanpa membedakan agama dan latarbelakang apapun. Kebanyakan mereka berasal dari para pengungsi yang belum lama tinggal di Ottawa. Saya bangga, mendengar orang-orang Indonesia juga aktif sebagai sukarelawan untuk mengepul dan membagikan makanan setiap hari Sabtu tersebut. Mereka antri, kadangkala sampai 500 orang yang disantuni.
Pemerintah dan masyarakat Ottawa memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap kegiatan ini. “Rata-rata mereka mengatakan, muslim Ottawa luar biasa dalam empatinya kepada manusia tanpa membedakan agama,” kata Pak Sukardi Ralin Ronopawiro sambil menyuruh anaknya memanaskan mobil menuju pulang dari masjid, menirukan komentar positif untuk muslim Ottawa. Bahkan suatu saat, Dubes USA ikut membagikan makanan itu, berbaur dengan para sukarelawan. Pada sejumlah acara di kedubes USA, Mumtaz juga sering diundang menghadirinya. Masjid ini juga beberapa kali menjadi tempat dialog lintas agama untuk membangun saling pengertian dan kebersamaan dalam hidup damai di Ottawa.
Apa reaksi penduduk Ottawa ketika terjadi penembakan brutal yang menewaskan lima orang yang sedang shalat, termasuk imam di masjid Quebec 29 januari 2017 yang lalu? Uh dahsyat. Mereka tidak hanya mengutuk pelaku, tapi ikut empati memadati stadion untuk melepas jenazah. “Pada subuh buta, seorang wanita tua datang ke masjid membawa sekuntum bunga segar untuk diberikan jamaah sebuah masjid,” kenang pak Sukardi, pegiat muslim Ottawa yang berasal dari Jawa Tengah dan pernah mendampingi istri di KBRI Belanda tersebut. Pada Jum’at pertama setelah kejadian yang menjadi issu utama media saat itu, ratusan warga non-muslim Ottawa antre mengucapkan belasungkawa kepada para jamaah masjid.Tidak tanggung-tanggung, perdana menteri, walikota, dan banyak pejabat penting juga ikut hadir pada acara tersebut.
Tidak hanya itu, perdana menteri dan beberapa pejabat penting juga mengunjungi hampir semua masjid untuk menunjukkan itikad baiknya melindungi umat Islam. “Itu benar-benar tulus dan mewakili realitas sesungguhnya perasaan masyarakat sini pak,” kata Amin Maktup, warga Indonesia yang bekerja di kedutaan besar Brunei Darussalam. Ia termasuk panitia pendiri masjid, sukarelawan Food Bank, dan pembaca Al Qur’an terbaik. Semua masjid yang dikunjungi Amin Maktup, selalu memintanya untuk mengumandangkan azan. Saya tahu, memang azan dan bacaan Al Qur’annya sangat indah dan menyentuh hati, ketika mengumandangkan azan pada shalat magrib sebelum saya menyampaikan ceramah pada hari Kamis malam. Menurutnya, masyarakat Ottawa sangat santun kepada semua orang tanpa melihat agama, etnis dan sebagainya.
“Bapak perhatikan selama perjalanan sejauh ini, saya jamin bapak tidak akan mendengar satupun klakson, “ kata Budi Mulyono, warga Indonesia yang bekerja sebagai staf lokal di Kedutaan Qatar meyakinkan saya dalam perjalanan pulang dari pengajian di KBRI. Benar, dalam setiap perempatan atau pertigaan, mereka berhenti sejenak dan berebut mempersilakan pengendara lainnya untuk berjalan lebih dulu. Pensiunan pegawai KBRI itu juga mengutip pernyataan Sayid Qutub, - saya tidak perlu bertanya sumbernya - ketika mengunjungi Eropa, “Di Mesir, aku melihat muslim tanpa Islam, sedangkan di sini aku melihat Islam pada non muslim.” Ini pernyataan yang selalu saya dengar di manapaun saya berada di luar negeri sebagai ekspresi keprihatinan atas keagamaan muslim yang lebih banyak retorika daripada pada akhlak dalam kehidupan nyata, termasuk di Indonesia.
Dalam kajian Islam, Kamis (16/3) di rumah Bapak Candra Negara, minister counselor bidang ekonomi KBRI, saya bertanya kepada Dr. Atiq Rahman, ahli gizi alumni Universitas Australia yang datang lebih awal pada acara itu, “Bagaimana respon masyarakat Ottawa ketika terjadi kekerasan atas nama Islam di sini atau di negara lain?” Suami muslimah Jogja itu mengatakan, “Masyarakat sini sudah sangat dewasa dan obyektif. Semua teror tersebut mereka yakini dilakukan oleh muslim yang tidak benar dan sama sekali bukan cermin muslim Ottawa.”
Di Masjid Ottawa, saya memang menyaksikan coretan-coretan pada sejumlah papan halaman masjid, tapi perdana menteri dan masyarakat Ottawa selalu meyakinkan umat Islam bahwa itu hanya vandalism segelintir orang, bukan wajah sesungguhnya masyarakat Ottawa. Sebagai muslim, sudahkah Anda meniru Allah yang selalu mengdepankan kasih kepada semua manusia lintas Agama? Itulah yang saya sampaikan pada kajian malam tersebut dalam bahasa Inggris yang seringkali tersendat karena kemiskinan kosa kata.
Menjelang acara pengajian, saya diajak pak Sidik Ratmono, staf lokal KBRI untuk mengelilingi kota yang semua bangunannya menyerupai Inggris. Benar, karena memang masih satu kerajaan dengan Inggris sampai sekarang. Saya diajak menyisir sungai menuju semua kantor kedubes semua negara dan memasuki lorong-lorong perumahan elit. Logat bicara orang Cilacap ini sudah berganti dengan logat dan istilah-istilah Inggris. “It’s nice day pak,” katanya. Dalam hati saya, “Apa? Udara segar? Lha wong saya gemetar kedinginan, kok dia bilang nice day. Ngomong yang bener pak!” Menurutnya, udara yang berat itu jika minus 40 derajat. Saya melihat tidak ada satupun pohon di kanan kiri jalan yang berdaun kecuali cemara. Semuanya pingsan, subhanallah. Tapi, jika sudah berganti musim, semuanya mengeluarkan bunga terlebih dahulu baru daun-daunnya yang menyusul, sehingga indah. Sambil menunjuk sungai yang juga sebagian tertutup salju, ia mengatakan, pada musim panas nanti, semua ikan akan keluar, ribuan bebek dan angsa yang sekarang sedang berhijrah ke wilayah musim panas, akan kembali ke sini. Semua unggas itu sangat bersahabat, tidak lari jika dibelai, sebab mengerti para pembelai berhati lembut, bukan pemangsa. Telur-telur angsa dan bebek bisa dijumpai di semak-semak tepi sungai. Lalu menetas dan persis pada msuim dingin berikutnya mereka sudah siap fisik untuk hijrah bersama. “Pak, siapa yang ambil terlurnya,?” tanya saya sambil membayangkan apa yang terjadi jika di Surabaya banyak bebek liar dan telur berserakan, pasti wassalam alias habis. Para lansia Ottawa hidup lebih makmur daripada masa mudanya, sebab semua sudah dipersiapkan secara detail sebelumnya melalui dana pensiun sebagai pegawai, dana asuransi hari tua, plus uang lansia dari pemerintah. Begitulah hidup yang indah dengan rencana yang matang. Sudahkah Anda menyiapkan hari tua demikian, sehingga kelak hidup mandiri dan tidak meminta belas kasihan dari anak, menantu, saudara atau siapapun?” Saya kemudian teringat firman Allah dalam surat Al Hasyr ayat 18, “Wahai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok?” Shadaqallahul adhim. Aqulu qauly hadza. (Ottawa, Kamis 17-3-2017).
KETERANGAN GAMBAR:
(1) Bersama Sheikh Sami (jubah putih) dan Mumtaz (sebelah kiri Shekh) (2) Masjid OMA (3) Vandalisme di OMA (4) di depan rumah DCM Ottawa, (5) kantor KBRI Ottawa (6) Kedai kopi ternikmat Ottawa
        (1)
Text Box: (4)
Text Box: (3)



Description: Foto Moh Ali Aziz.    Description: Foto Moh Ali Aziz.
Text Box: (6)
Text Box: (5)
 





__________________________________________________________________
WINGKO MANIS UNTUK TAHLIL BERBAHASA INGGRIS

Catatan hari ke 17 (18-3-17) Tour Dakwah Amerika dan Canada.
Ada tujuh masjid besar di Ottawa yang berpenduduk kurang dari satu juta orang ini, antara lain, Masjid OMA (Ottawa Mosque Association), Assalam, Rahmah, Jami Omar: Jamiatul Muslemeen, dan Masjid Bilal: Islamic Society of Cumberland. Untuk shalat Jum’at (18/3) ini, sengaja saya minta diantar ke masjid selain masjid OMA yang telah saya kunjungi sebelumnya, yaitu Masjid Rahmah. Maaf, ada yang terlewat tentang masjid OMA pada catatan laporan saya sebelumnya, bahwa kira-kira pada tahun 1975, ketika masyarakat muslim Ottawa belum memiliki masjid, mereka menyewa untuk beberapa tahun gedung lantai bawah (basement) gereja sampai bisa membangun sendiri di sebelahnya seperti yang berdiri sekarang. Pak Amin Makruf, warga Indonesia yang ikut berdarah-darah membangun masjid tersebut bercerita dengan semangat dan bangga, “Luar biasa pak, dulu kami menyewa gereja itu, dan atas kehendak Allah, ternyata awal tahun 2017 ini, kami bisa membelinya.” Pengurus gereja tidak menjualnya kecuali kepada jamaah masjid OMA, sebab telah merasakan kehangatan persaudaraan dengan mereka, serta kegunaannya untuk keagamaan daripada untuk bisnis atau hiburan.
Masjid Rahmah yang saya kunjungi sekarang ini terdiri dari tiga lantai di wilayah Southkeys dan dibangun pada tahun 1992 di bawah Yayasan Assunnah Muslims Association (AMA). Luas halamannya 5 h.a, hanya kira-kira, karena tertutup gunungan salju. Sekarang, beberapa masjid di dunia yang saya ketahui mengganti kata mosque dengan masjid. Konon, mosque berasal dari mosquito yang berarti nyamuk, sebuah ungkapan pelecehan untuk minoritas muslim jaman kuno dahulu.
Saya melihat jamaah perempuan, yang kebanyakan berkulit hitam shalat di lantai 3. Menurut ukuran orang Indonesia, ada yang unik di masjid ini, yaitu beberapa jamaah lelaki menggendong atau menuntun balita perempuan ke dalam barisan (shaf) laki-laki. Balita inilah yang menangis keras dalam gendongan bapaknya ketika shalat Jum’ah berlangsung. Sama sekali beda dengan di Indonesia, para jamaah di sampingnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi terganggu dengan tangisan tersebut. “Para jamaah sangat memahami, bahwa pembawa balita tersebut tidak mempunyai pembantu. Justru mereka ingin menolongnya,” kata Arsyad Kusuma Aji, putra wakil dubes RI Ottawa yang sedang menyelesaikan kuliah di bidang manajemen kewirausahaan. Sekitar 40 lansia duduk di bangku empuk, memanjang masing-masing 5 meter yang diletakkan di tengah masjid dan di barisan belakang. Sepintas seperti sembayang orang Kristen di gereja.
Tidak seperti di masjid Chicago yaitu adanya ceramah panjang sebelum khotbah, di masjid dengan bangunan segi empat tanpa menara ini, khutbah dilakukan sebagaimana di Indonesia, yaitu adzan, lalu diikuti dua kali khotbah. Hanya saja panjang khotbah yang kedua hampir sama panjangnya dengan khutbah pertama. Masing-masing khutbah berdurasi 10 menit.
“Assalamu’alaikum warahmatullah,” salam pembuka Syekh Ismail dari Iraq tanpa melanjutkan “wabaraktuh.” Bisa difahami mengapa kebanyakan jamaah tersebut beretnis Arab, sebab masjid ini berada dekat pusat bisnis orang-orang timur tengah, berupa restoran, obat-obatan, makanan dan minuman, restoran dan sebagainya. Khotbah yang disampaikan dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris secara selang seling tersebut mengambil tema: Syarat Keabsahan Ibadah, yaitu cinta, takut, dan harap (al mahabbah, al khauf war raja’). Khatib yang muda, tampan, berjenggot dan berkumis tipis, serta berjubah coklat tua tanpa tutup kepala itu memang terkenal selalu khotbah dengan tema-tema sufistik atau kebeningan dan kedamaian batin. Ia menyelipkan dalam khutbahnya kisah pembakaran mayit oleh sang anak atas wasiat almarhum. Ketika abu pembakaran dibuang ke laut, Allah memerintahkan bumi untuk menyatukan kembali, “Be, and tobe (kun fayakun)” dan hiduplah kembali si mayat. “Kenapa engkau minta dibakar?” tanya Allah. “Makhafatak, Wahai Allah, semata-mata karena aku takut siksa-Mu.” Sebutir debu rasa takut siksa Allah (al khauf) itulah yang mendatangkan ampunan Allah dan memasukkannya ke surga. Saya bisa paham khutbah berbahasa asing tersebut, karena saya pernah khutbah dengan topik yang mirip. Silakan visit www.terapishalatbahagia.net, lalu search: Debu Takwa Pembebas Derita.
Baik di Amerika maupun di Canada ini, setiap Jum’at selalu ada beberapa orang yang mendaftar sebagai sukarelawan sebagai pembersih masjid, pengatur parkir, dan tugas-tugas lain demi kenyamanan para jamaah. Tidak sembarangan, di antara sukarelawan itu, ada beberapa orang dengan status pendidikan dan ekonomi yang tinggi. “Oh indahnya, jika itu ada di Indonesia,” kata saya dalam hati.
Usai shalat Jum’at, saya harus membuat persiapan untuk pengajian di basement rumah DCM KBRI Ottawa, Ibu Suwartini Wirta, tempat saya menginap. Enak, tidak jauh seperti pengajian sebelumnya. Saya tinggal turun dari lantai 3. Sebelum memulai pengajian, seorang ibu meminta saya memimpin tahlil untuk almarhum bapak KH. Hasyim Muzadi yang berita wafatnya menyebar di semua WA warga Indonesia di sini. Sebelumnya, saya juga dipesan panitia untuk lebih banyak menggunakan bahasa Inggris, sebab kebanyakan putra-putri mereka sudah kesulitan memahami bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, doa-doa tahlil juga saya campur dengan penjelasan maknanya dalam bahasa Inggris. Saya jelaskan juga, bahwa yang akan kita lakukan ini doa, bukan tahlil, agar beberapa orang yang tidak berkenan atau tidak biasa tahlil tidak enggan mengikutinya. Juga saya jelaskan bahwa, doa ini juga untuk orang tua kita semua, khususnya semua anggota keluarga yang telah berada di alam kubur. Ya, agak gagap sedikit dan kadang jedah tahlil agak lama, karena ini pertama kali memimpin tahlil berbahasa Inggris. “Just be quiet, brotehrs and sisters who do not want the supplication for their parents that I will read later,” pinta saya dengan hormat kepada sebagian orang yang tidak berkenan dengan doa bersama selama lima menit tersebut.
Doa dan ceramah sudah berakhir, dan saatnya semua hadirin menikmati makan malam. “Monggo pak, ini semua sudah lapar. Bapak-bapak menunggu pak ustad memulai dulu,” kata ibu setengah baya sambil membukakan mangkok besar yang berisi sayur asam dengan irisan jagung manis dan kacang panjang di dalamnya. “Monggo meniko wingko ugi teh manis kagem bapak (silakan, ini wingko dan teh manis untuk bapak),” kata pak Sukardi, asal Sragen yang sejak saya di Ottawa selalu sibuk menyediakan untuk saya semua pakaian penakluk salju dan segala makanan yang saya suka. Saat itu, saya duduk berhadapan dengan Bapak Hendro yang harus menempuh 2,5 jam perjalanan dari Montreal. Beliau pakar teknisi hebat di pabrik pesawat terbang terkenal dunia, Bombarder Canada. Bayangan saya, karena tahlil dengan campuran bahasa Inggris, makahidangannya: humberger, fried chicken, French potatoes dan sejenisnya. Weleh-weleh, ternyata, sama dengan Indonesia: Humbergedel, CFC: Cilacap fried chiken, potetoes: kentang goring tipis pedas, kerupuk puli, sayur asam, bayam opor, bakwan, tempe, tahu, otak-otak, nasi liwet, nasi putih, sambal trasi, wingko, martabak, kopi, teh manis dan sebagainya. Setelah semua makanan diabsen, yang tidak hadir hanya satu, “Jengkol,” kata ibu wakil dubes, diplomat karir asal Cirebon sambil tertawa. Makanan jenis itulah yang amat dirindukan, serta hanya ditemui ketika ada pengajian dari rumah ke rumah.
Sebenarnya masih ada masjid yang tak kalah menariknya untuk ditulis dalam laporan ini, yaitu Assalam Mosque and The Ottawa Islamic Center di St. Laurent Boulevard, Ottawa, ON K1G 5G6, Canada. Inilah nite club yang dibeli oleh komunitas muslim Somalia pada tahun 2007 untuk dijadikan masjid. Beberapa gereja di Ottawa akhir-akhir ini juga ditawarkan kepada masyarakat muslim, tapi sayang, keuangan yang tidak mencukupi untuk membeli semuanya. Pengurus gereja rata-rata berharap bahwa gereja itu bisa beralih untuk peribadatan, bukan untuk penjualan miras atau kegiatan-kegiatan negatif lainnya. Sayang, saya tidak bisa mengunjungi masjid-masjid atau sentra-sentra kegiatan Islam secara keseluruhan, karena Ahad pagi besok harus melanjutkan tour dakwah ke Toronto. (Ottawa, Sabtu 18-3-17).
Keterangan Gambar: (1) depan Masjid Rahmah, usai shalat Jumat (2) bangunan Masjid Rahmah (3) putra-putri Indonesia yg sudah sulit berbahasa Indonesia (4) lesehan setelah tahlil. Di antaranya Bapak Hendro, tenaga ahli di pabrik pesawat Bombarder Canada
Text Box: (2)Text Box: (1)Description: Foto Moh Ali Aziz.Description: Foto Moh Ali Aziz.

___________________________________________________________________
KEAHLIAN MESIN PESAWAT
UNTUK KUALITAS SHALAT
Catatan ke 18,19 (Ahad, Senin, 19-20 Maret 2017) Tour Dakwah Amerika Canada
Ketika berwudlu pada Sabtu subuh (17/3), saya terkejut melihat darah kental agak menghitam keluar dari hidung. Bukan karena apa-apa, hanya karena lebih banyak dari biasanya. Dulu, ketika di Iran dengan udara yang amat panas, saya pertama kali takut melihat tetesan darah dari hidung, karena itu pertama kali dan baru tahu kemudian, itu hal biasa akibat keterkejutan fisik menghadapi cuaca akstrim yang baru. Hari itu sedikit menegangkan, sebab beberapa jam lagi, dilaksanakan Training Terapi Shalat Bahagia, puncak dari semua rangkaian tour dakwah di Ottawa. Sedikit tegang, karena biasanya training didampingi tim, sekarang sendirian, dan berbahasa Inggris lagi.
Dalam perjalanan menuju kantor KBRI, tempat training dilaksanakan, saya menerima kiriman dua foto yang sangat saya butuhkan, yaitu foto antrean panjang warga Ottawa Canada yang beragama Kristen, Yahudi atau ateis di depan masjid OMA (Ottawa Mosque Association) usai shalat Jum’at untuk menyatakan belasungkawa atas penembakan teroris yang menewaskan beberapa muslim di salah satu masjid Ottawa, sebagaimana saya laporkan pada catatan sebelumnya.
Kekaguman dan apresiasi saya kepada warga Canada semakin besar, setelah Ibu Suwartini Wirta, wakil dubes RI Ottawa yang semobil dengan saya bercerita tentang ketulusan Perdana Menteri Canada. Ia super cepat merespon penembakan itu dengan mendatangi semua masjid untuk meminta maaf atas kejadian memalukan itu. Beberapa hari setelah peristiwa penembakan, sejumlah warga non-muslim berjaga di setiap masjid yang sedang melaksanakan ibadah. “Saya benar-benar merinding kagum melihat pemandangan tersebut,” kata ibu wadubes asal Cirebon itu. Di Ottawa, hampir dalam semua kegiatan agak besar oleh komunitas muslim, pemerintah mengirimkan pejabat penting untuk menyampaikan pesan damai dan persaudaraan yang lebih kuat.
Melihat kesejukan hidup antar umat beragama di Canada tersebut, sekarang ini sejumlah muslim Amerika sedang antrean di Manitabo, daerah perbatasan, sebagian hanya membawa tas rangsel menuju Canada untuk mencari udara kehidupan agama yang lebih segar. Oleh pemerintah Canada, semua mereka diterima dengan tangan terbuka.
Segera setelah Bapak Teuku Faizasyah, dubes RI tiba di tempat acara, training shalat dimulai. “Mohon maaf pak, nanti saya pindah duduk di kursi karena tidak kuat duduk lesehan lama,” kata dubes yang juga menjabat perwakilan tetap RI pada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Luar biasa, beliau dan istri mengikuti enam jam training sampai selesai. Saya tidak tahu mengapa ada tugas tambahan bagi beliau selain tugas sebagai dubes. Tapi, bisa saja dikaitkan karena Canada memiliki pabrik pesawat bergengsi internasional, Bombarder di Montreal, dan sebagian dari ahli-ahli mesin pesawat di dalamnya adalah orang-orang cerdas dengan keahlian yang dibanggakan dari Indonesia. “Kami bersama teman-teman dari pabrik pesawat, Bombarder datang khusus untuk mengikuti acara bapak,” kata Pak Sigit, salah satu dari mereka yang kelihatan agak lelah setelah menempuh ratusan kilometer (2,5 jam) dari Montreal ke Ottawa. Mereka memaksakan datang ke Ottawa karena acara training di Montreal dan Vancouver dibatalkan karena suatu hal. Peserta yang serius lainnya adalah Muhammad Yasin Hutasuhut yang baru datang dari Mekah, karena berpenduduk Mekah dan Dr. Atik Ramadlan, doktor bidang gizi asal Pakista. “Bapak wajib mampir ke rumah setiap umrah,” kata Yasin yang juga mempunyai rumah di Canada sambil merangkul pundak saya dengan bahasa Arab yang cepat sampai saya hanya bisa menjawab sekenanya, “ayhuwa, ayhuwa. Jazakallah.”
Ada sedikit hambatan dalam training ini, yaitu belum ada satupun peserta yang telah membaca buku Terapi Shalat Bahagia. Sebenarnya, setahun sebelumnya, soft-copy buku sudah saya kirimkan ke pengurus ICMI Amerika Utara yang mengundang saya, untuk diterbitkan di Amerika agar mereka membacanya terlebih dahulu. Tapi, rupanya terdapat beberapa kendala. Antara lain, biayanya sangat mahal. Orang-orang Pakistan pun di Amerika selalu pulang ke negaranya untuk mencetak buku-buku Islam, lalu dikirim lagi ke sini melalui kapal. Kedua, hanya generasi tua yang masih menggunakan buku kertas, dan selebihnya lebih suka E-book. Benar, saya melihat hanya orang-orang lansia yang membaca buku kertas di bandara Houston ataupun Chicago. Ketiga, buku itu berbahasa Indonesia, sedangkan sebagian besar anak-anak mereka sudah tidak bisa lagi berbahasa selain Inggris. Saya baru sadar, bahwa pemasyarakatan buku saya yang menginjak cetakan ketiga belas ini tidak bisa tidak harus juga dicetak dalam bahasa Inggris dan juga bukan dengan kertas lagi.
Selama training, saya sangat terkesan betapa peserta, khususnya 25 peserta dari Bombarder Montreal sangat serius dan amat kritis. Mereka sangat cepat menangkap keterangan dan panduan training serta praktek menyusun doa secara afirmatif, sebagaimana petunjuk dalam semua training yang dilaksanakan sebelumnya. Para ahli mesin pesawat ini dulu adalah tenaga ahli di pabrik pesawat kita di Indonesia hasil pendidikan Jerman yang dikirim oleh Bapak Habibie. Tapi pergantian kepemimpinan nasional membawa masa depan perusahaan kebanggan waktu itu suram. Bahkan, harus memutuskan hubungan kerja sebagian karyawan. Saat itulah orang-orang potensial tersebut dijadikan rebutan pabrik-pabrik pesawat dunia, termasuk Bombarder.
Pada sesi tanya jawab, terjadilah dialog yang macam-macam dan unik. Antara lain, “Pak, jangankan shalat dengan renungan panjang, shalat saya saja masih lobang-lobang. Bagaimana bisa menutup lobang itu?” “Apakah ada dasar dari Nabi tentang doa dalam shalat yang panjang-panjang itu?” “Apa ukuran bahagia, dan apakah jika sudah bahagia, kita boleh meninggalkan shalat?” “Sekarang ini saya tambah bingung dalam beragama, setelah semrawutnya fatwa-fatwa agama dalam media sosial. Apakah ini tanda akhir zaman,?” Pertanyaan terakhir sebagai penutup dari bapak dubes, “Mengajari agama, khususnya shalat untuk anak-anak kita yang lahir di negara asing dan lama bergaul dalam lingkungan yang tidak sama dengan Indonesia memerlukan teknik yang khusus. Bagaimana caranya pak?”
“Lha sudah tahu media sosial menambah bapak bingung, kenapa diteruskan. Tutup saja. Insyaallah tidak bingung lagi,” jawab saya, yang disambut gerrr peserta. Saya tambahkan juga keunikan ataupun hoax dalam media sosial. Sopir yang menemani saya dalam setiap kegiatan pengajian di Houston menunjukkan arah tempat jutaan burung yang akan berhijrah bersama-sama dalam suatu pergantian musim. “Ternyata gambar kawanan burung itu masuk di internet dengan tulisan di bawahnya, “Pasukan burung ababil didatangkan Allah untuk menyerang Trumph akibat kebijakan baru terhadap orang-orang Islam.” Anehnya, posting itu dipercaya, dikutip dan dishare ke banyak orang.
Untuk kelengkapan jawaban tentang cara mendidik keagamaan anak di Amerika, saya meminta pak dubes dan semua jamaah untuk menggunakan buku terbitan muslim Indonesia di Inggris yang tergabung dalam KIBAR (Keluarga Islam Britania Raya) yang ditulis menyusul kegelisahan yang sama tentang pendidikan anak. Penjelasan itu dikuatkan oleh Bapak Abul Asri Siregar yang pernah lima tahun di Inggris, sebelum sekarang menjadi staf KJRI Toronto. Dia datang ke acara training, karena sebagai ketua pengajian MIT (Muslim Indonesia Toronto), ia menjemput saya, sekaligus mengetahui hal-hal apa saja yang diperlukan untuk training shalat di Toronto.
Inilah sejumlah pertanyaan yang sering dikemukakan anak-anak atau remaja yang saya jumpai selama di Amerika dan juga saya gabungkan dengan pangalaman di Inggris beberapa tahun sebelumya. Di Houston, saya ditanya, “Benarkah Nabi menikahi wanita berusia 7 tahun? Bisakah itu dibenarkan?” Beberapa orang tua di Amerika mengeluh karena ketika menyuruh anaknya shalat, ia menjawab, “Untuk apa shalat? Teman-teman sekolah saya lebih cerdas dan bahagia tanpa shalat” “Katanya kami harus bergizi dan cerdas, mengapa seusia saya ini harus berpuasa?” “Mengapa bapak menjadi imam terus di masjid, apakah saya dianggap tidak mampu?” “Mengapa tidak ada satupun nabi yang wanita. Semua monopoli lelaki? “Sebaiknya, untuk mengangkat jari telunjuk pada saat tasyahud, lebih baik ibu jari yang diangkat sebagai pengganti jari telunjuk, sebab itu lebih mengena, yaitu menunjukkan Allah itu Esa dan excellent.” “Bapak memukulku karena tidak shalat, dan katanya itu ajaran nabi, apakah Islam mengajarkan kekerasan begini.?” “Mengapa suami diijinkan memukul istri sekalipun dengan sapu tangan, sedangkan istri tidak memperoleh hak yang sama?”
Jangan dikira saya bisa menjawab semuanya. Saya bukan kamus Islam atau buku pintar yang berjalan. Kepada mereka kita tidak bisa hanya mengatakan, misalnya, “Ya…sebagai muslim, kita harus taat kepada Al Qur’an dan hadis Nabi SAW. Titik, jangan dibantah lagi!” Pada sesi itu, saya hanya bisa menganjurkan, “Mempunyai anak di negara begini, kita juga harus lebih cerdas dan banyak berdoa. Hanya orang tua yang ceroboh yang tidak mau bangun malam dan bersujud panjang untuk memintakan petunjuk dan perlindungan untuk anaknya dari pemikiran yang sesat. Mulut kita terbatas, tangan kita hanya setengah meter, mata kita yang sejauh memandang untuk mengawasi anak, maka kita perlu bantuan Allah. Melalui shalat , kita harus yakin (3x) bahwa Allah pasti (3) Maha Kuasa membimbing anak kita.”
Jawaban itulah yang kemudian ditirukan peserta usai acara untuk gurauan. Pada saat makan malam itu, saya mendengar dua orang yang bersahutan, “Saya yakin (3x), pasti (3x) ini makanan lezat,” sambil mengambil piring dan mangkok untuk nasi dan bakso dalam deretan hidangan di atas meja memanjang yang dalam undangan mereka sebut, potluck.
Inilah Subuh pertama kali (Senin, 20/3) di Toronto (kira-kira perjalanan empat jam dari Ottowa). Udara tidak terlalu dingin dibanding Ottawa. Saya diajak pegawai KJRI jalan kaki berjamaah shubuh di masjid Toronto. “Nanti sepulang dari masjid, bapak harus tritmil di lantai 1 kantor kita agar berkeringat, dan setelah itu kita menikmati roti begel dan kopi Tim Hortons.” Begel adalah makanan breakfast kebanyakan orang Yahudi. Inilah salah satu masjid Toronto yang mengadakan shalat Jum’at empat angkatan karena kepadatan pengunjung, yaitu dua “kolter” sebelum masuk waktu dhuhur, dan dua kloter sesudahnya. Menarik kan? Insya-Allah akan disambung pada catatan berikutnya. (Toronto, Senin, 20-3-2017).
Keterangan Gambar: (1) Pelaksanaan Training di KBRI Ottawa (18/3), (2) Antrean non-muslim mengucapkan belasungkawa usai shalat Jum'at di masjid OMA Ottawa (3) Peserta training: Ust Yasin dari Mekah dan Dr. Atik Ramadhan asal Pakistan (4) Dubes RI Ottawa, Teuku Faizasyah.
        (1)




“GEREJA” DENGAN KALIGRAFI AL QUR’AN

Catatan hari ke 20,21 (Selasa, Rabo, 21-22 Maret 2017)
Tour Dakwah Amerika Canada.
Tulisan ini saya catat sepulang dari shalat subuh di Masjid Toronto (21/3) di jalan protokol Adeleide Toronto Canada. Tidak ada nama khusus untuk masjid yang dibangun di bawah MAC (Muslim Association of Canada) ini. Inilah lembaga yang menanungi semua masjid di Canada. Tidak hanya menaungi, tapi juga mencari titik-titik mana wilayah yang masih membutuhkan masjid. Hampir sama dengan sejarah beberapa masjid lainnya di Canada, masjid tempat saya shalat subuh ini baru didirikan sekitar dua tahun silam (2015) setelah meminjam secara gratis ruangan gereja Katedral St. James yang terletak 50 meter di depannya selama kira-kira 5 tahun untuk shalat berjamaah dan kegiatan-kegiatan Islam lainnya.
Masjid Jami Toronto, masjid tertua yang dimiliki umat Islam sejak tahun 1968 juga bekas gereja protestan Anglo Saxon atas biaya pemerintah Saudi Arabia. Masjid yang terletak di tengah kota paling elit di jalan High Park Toronto itu merupakan hadiah raja Saudi Arabia kepada muslim Toronto setelah mengenal lebih dekat kehidupan mereka selama ia ditangani oleh dokter-dokter pilihan di Canada. Sampai sekarang, bentuk bangunan gereja itu masih tetap, sekalipun sudah berubah fungsi. Jika Anda mencari bangunan gereja raksasa dengan ornamen timur tengah dan kaligrafi Al Qur’an yang cantik, maka datanglah ke masjid ini. Sama dengan masjid-masjid di Eropa yang bekas gereja, bentuk bangunan luar tidak boleh dirubah sama sekali. Antara lain Masjid Al Hikmah milik komunitas Indonesia di Den Hag Belanda, hanya loncengnya saja yang dilepas, dan masjid bekas gereja juga di Amsterdam yang dibeli komunitas Maroko. “Andaikan tidak dibatasi oleh pemerintah Canada sekarang, mungkin lebih banyak lagi gereja yang beralih menjadi masjid,” kata Syafruddin Marzuki, asal Aceh yang menemani saya tinggal di wisma dan mengantar saya ke beberapa masjid.
Subuh itu saya tidak shalat di masjid tertua yang paling unik di dunia tersebut, sebab agak jauh dari penginapan. Saya hanya shalat di masjid kecil seluas 8 x 20 m terdekat, yang sama sekali tidak nampak sebagai masjid, sebab pintunya sempit, tanpa halaman dan terdapat dalam deretan pertokoan Adeliede. Masjid ini hanya ramai waktu dhuhur dan ashar, sebab dekat mall dan pusat pusat bisnis. Jika shubuh, ya hanya satu shaf sebanyak 20 orang. Mungkin Anda yang pertama kali shalat di masjid ini agak terganggu konsentrasinya. Mengapa? Azan dan iqamat dikumandangkan oleh pria usia 60an dengan jubah biru muda, berwajah bersih dan tutup kepala bulat putih. Semula saya yakini, lelaki tampan, wibawa dan menarik itulah yang akan menjadi imam. Eh.. ternyata ia justru mempersilakan anak muda dengan rambut keribo agak panjang, bercelana jeans krem yang kusut dan berjaket kulit cokat tua. Tapi, ketika ia mulai membacakan surat al Fatihah dan surat Yusuf yang panjang, masing-masing rakaat kira-kira satu halaman mushaf Al Qur’an, saya baru bisa melupakan penampilannya yang seperti pekerja kasar Indonesia itu, dan hanyut dengan kefasihan dan irama lagunya. Setelah memimpin shalat, ia langsung memegang mik untuk mengumumkan perubahan jam shalat shalat shubuh esok harinya, tanpa salam dan sangat singkat, kira-kira hanya 20 detik. Setelah itu, iapun langsung ngeluyur keluar masjid mendahului para jamaah dan tanpa satupun orang menjabat tangannya. Begitulah masyarakat di sini menyetarakan status sosial semua muslim, dan para imampun tidak mengemis-ngemis penghormatan. Saya yang pakai kopyah putih dan baju takwa dengan jaket tebal yang membalutnya tidak hafal Al Qur’an, sedangkan orang yang berpenampilan amburadul berprestasi menghafalnya. “Dia orang Arab pak, dan bukan imam tetap, hanya pekerja yang sering shalat di sini,” kata Syafruddin Marzuki yang baru saja berangkulan dengan sesepuh masjid yang dipanggilnya “uncle.” Panggilan uncle biasanya untuk orang yang lebih tua dan disegani. Sedangkan panggilan brother atau sister untuk yang seusia atau lebih muda. “Assalamu’alaikum. How are you brother,” adalah panggilan di antara mereka yang paling sering saya dengar di Toronto.
Pada subuh sebelumnya, terjadi peristiwa yang sama. Tak saya duga sama sekali, lelaki berkulit hitam, kekar dengan celana jeans, berjaket olahragawan dan tanpa tutup kepala justru yang ditunjuk sebagai imam. Sekalipun lagunya tidak semerdu imam sebelumnya, tapi saya heran akan pilihan ayat yang dibacanya yang panjang dan hafalannya yang tidak tersendat sedikitpun. Imam yang membaca surat Jin pada rakaat pertama tersebut juga bukan imam tetap. “Ana Khalid min Ethiopia (saya Khalid dari Ethiopia),” katanya menjawab pertanyaan saya tentang asal negaranya. Lalu saya jawab, “Oh, minal Habasyah, baladin ilaihi hajara Rasulullah SAW liawwali marrah (oh, negeri Habasyah tempat hijrah rasulullah SAW pertama kali,” dan ia tersenyum sambil menjabat tangan saya, “marhaban, marhaban”. Saya sengaja menggunakan bahasa Arab, sebab rata-rata muslim Toronto yang berasal dari Afrika atau timur tengah lebih akrab dan apresiatif dengan bahasa itu. Mereka heran, bagaimana penduduk Asia bisa berbahasa Arab lancar dengan standar grammar yang benar.
Sekarang, masjid yang berhadapan dengan gereja Katedral St. James yang pernah berbaik hati meminjami umat Islam untuk ibadah beberapa tahun tersebut sudah tidak bisa menampung jama’ah. Shalat Jum’at harus dilaksanakan empat shift, dua shift dilakukan sebelum memasuki waktu dhuhur, dan dua shift berikutnya setelah dzuhur seperti dilakukan di Indonesia. “Hah empat angkatan? Hah dilaukan sebelum dhuhur?,” heran saya. Karenanya, MAC (Muslim Association of Canada) telah membeli gedung percetakan di sebelah kiri masjid dengan luas tiga kali lipat dari masjid yang ada.
“Apakah sah pak hukumnya, shalat Jum’at sebelum waktu dhuhur?” tanya pria Indonesia berkulit putih dengan jenggot pirang yang sudah beberapa kali khuruj (pergi keluar kampungnya untuk dakwah) di India dan Pakistan yang menemani saya. Pada saat saya berkeringat di atas tritmil setelah 30 menit berlalu dan berhasil membakar 126 kalori, secara tidak langsung ia tidak sependapat dengan cara shalat Jum’at demikian, sekalipun ia tidak punya hak untuk berbicara. Untung, di dalam masjid tersebut ada kitab Fiqhus Sunnah karya Syekh Sayyid Sabiq di antara deretan kitab-kitab Islam klasik lainnya, yaitu Riyadus Shalihin, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Dhilalil Qur’an karya Sayyid Qutb dan sebagainya. “Tak apa Anda tak setuju, tapi jangan memusuhi, sebab dalam Fiqhus Sunnah ini sudah dijelaskan panjang lebar berbagai pendapat tentang waktu shalat Jum’at,” kata saya menghibur dan memberi pendangan. Sejauh yang saya ketahui selama kunjungan ke beberapa masjid di Canada, selalu ada perpustakaan di dalamnya dengan kitab-kitab tafsir dan fikih yang banyak dikaji di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Di sebuah masjid, juga terlihat pengumuman sebuah acara penutupan (khatam) kajian kitab hadis Al Bukhari.
Rabo (22/3) kosong, tidak ada jadwal pengajian, karena banyak pertimbangan, antara lain udara di bawah 20 C. Subuh itu, saya harus menambah lapisan jaket dan memakai kaos tangan. Tiba-tiba setelah selesai shalat sunah, para jamaah beretnis Afrika, Pakistan, Arab dan etnis lainnya di Masjid Toronto itu menarik tangan saya untuk menjadi imam. Saya yang biasa membaca basmalah dengan kencang dan qunut pada rakaat kedua harus meniadakan keduanya demi menghormati kebiasaan di masjid setempat. Setelah shalat, tak ada satupun orang yang mengajak jabat tangan saya atau memberi komentar. Jangan berprasangka negatif bahwa mereka tidak apresiatif, karena tidak lazim jamaah harus berjabat tangan dengan imam usai shalat, dan memang secara kualitas, bacaan Al Qur’an saya tidak lebih baik daripada imam-imam yang ada. Apalagi dibandingkan dengan imam di masjid-masjid besar lainnya.
Sehari sebelumnya, saya juga mengunjungi Masjid Darus Salam di wilayah Thorncliff yang berpenduduk 80 % muslim. Di daerah ini terdapat tiga masjid besar dan satu mushala. “Tidak termasuk masjid Syi’ah pak. Ia tidak saya hitung,“ kata Syafruddin, mantan pengusaha kafe yang kemudian gulung tikar, yang anaknya telah hafal 3 juz Al Qur’an. Ia menambahkan bahwa masjid yang dikunjungi ini adalah bekas gudang yang dibeli umat Islam. “Jadi perwajahannya ya begini ini, “ tambah Bapak Konsul Jenderal RI di Toronto setelah mengajak saya makan siang di restoran Cina muslim. Pilihan restoran itu memang permintaan saya, setelah ia menyodorkan pilihan sejumah nama restoran. Saya hanya ingin bernostalgia dengan makanan Cina seperti yang saya nikmati di Hong Kong atau Taiwan beberapa tahun silam. Menurutnya, di Toronto ini, makanan muslim apa saja dan jenis masakan dari mana saja ada. “Lihat berapa puluh restoran zabiha di sana itu pak,” tambahnya sambil menunjuk deretan bangunan yang tertata rapi dekat masjid. Zabiha adalah istilah populer untuk daging kambing atau sapi hasil sembelihan muslim, sedangkan Koshr adalah daging sembelihan Yahudi. Masjid dengan komplek bisnis beginilah yang diinginkan masyarakat Indonesia di Toronto, jika suatu saat dana terkumpul.
Menyusuri lorong masjid menuju pintu keluar, saya melihat beberapa kelas pengajaran Islam dalam kelas-kelas formal yang mereka sebut madrasah untuk anak-anak kecil dan remaja. Saya tidak sempat melihat kurikulumnya, tapi yang jelas, pada jam itu semua pelajar yang berjubah sedang belajar atau menghafal Al Qur’an. Mungkinkah kelak Indonesia mengimpor imam dari Canada? Akan saya tulis jawabannya pada catatan berikutnya. (Toronto Canada, 22-3-2017).
Keterangan Gambar: (1) Bekas gereja Anglo Saxon dan sekarang menjadi masjid jamik tertua di Toronto (2) Gereja Katedral St. James yang meminjami umat Islam untuk shalat berjamaah dan kegiatan Islam di Adeleide sebelum punya masjid sendiri 2 tahun silam (3) Depan masjid Darus Salam, bekas pergudangan bersama Konjen KJRI (4) Masjid kecil Toronto setelah tidak lagi meminjam gereja Katedral di depannya.

Text Box: (3)
Text Box: (4)


__________________________________________________________________


24 Maret pukul 21:52
SOTO UNTUK PESANTERN TORONTO

Catatan hari ke 22-23 (Kamis Jum’at 23-24 Maret 2017)
Tour Dakwah Amerika Canada
Sejak di Houston, Chicago, Indiana State (USA), maupun di Ottawa (Canada), saya selalu menolak keluar penginapan selain untuk jadwal pengajian yang telah ditetapkan. Bukan karena apa-apa, semata-mata untuk menjaga kondisi fisik, sebab perjalanan masih jauh. Bem ada separuhnya. Ahad depan (26/3) saya harus terbang ke Los Angeles, Las Vegas, Seattle, Phoenix Arizona dan beberapa kota lainnya di USA. Saya tidak boleh main-main, sebab tidak sedikit orang Indonesia yang jatuh sakit setelah tiba di negara ini karena ketidaksiapan fisik menghadapi cuaca yang amat kontras dengan cauaca Indonesia. Dan, ingat ini: jika sakit, pundi-pundi simpanan kita bisa habis untuk berobat di sini. “Tangan anak saya terkilir sewaktu sekolah dasar. Untuk sekali ke dokter, Rp. 6 juta pak,” kata salah satu pegiat dakwah. “Jika istri sakit gigi, lebih murah untuk beli tiket pulang pergi ke Indonesia plus berobat di sana. Jadi, berobat yes, dan silaturrahim keluarga juga yes,” kata pegawai KJRI yang setia menemani saya selama di Toronto. Saya bersyukur ditemani alumni S2, MBA Houston Texas ini. Setiap subuh, ia mewajibkan dirinya shalat berjamaah di masjid sekalipun tulang harus remuk redam diremas salju. Jum’at (24/3) hujan. Tak ada payung, ia tetap mengajak saya shalat shubuh. Ia tenang saja kehujanan sedikit berlari dan saya ditutupi jas tebal miliknya. Saya amat bersyukur mendapat suntikan infus cinta masjid darinya. Jangankan kepada saya, suami Sonya, alumni Unversity of British Columbia Vancouver ini tidak ragu sama sekali untuk mengetuk pintu semua tetangganya yang muslim untuk shalat berjamaah, kenal atau tidak. Tapi untuk kali ini, saya tidak bisa menolak keluar. “No excuse. Bapak harus ikut saya ke Niagara Falls, air terjun terajaib di dunia. Saya berdosa jika tidak mengantar bapak kesana,” katanya dengan nada seratus persen memaksa. Hari itu harus pergi, karena udara berikutnya tidak memungkinkan, kira-kira minus 20 C dan hari-hari berikutnya acara sangat padat.
“Silakan tidur pak, insyaallah perjalanan 120 km ini bisa kita tempuh 90 menit,” katanya kepada saya yang duduk di sebelah kanannya. Di Amerika dan di Canada sama-sama posisi stir mobil sebelah kiri. Benar-benar indah memang. Beberapa orang menggunakan jas hujan dekat air terjun itu. “Ini bukan hujan pak. Ini percikan dari kerasnya air terjun yang memanjang sekian kilo meter itu,” terangnya. Saya menyaksikan arus dahsyat aliran air biru nan jernih sebelum terjun ke bawah, persis seperti arus air laut yang menghanyutkan mobil-mobil dan semua bangunan pada bencana Sunami Aceh sekian tahun silam, sebagaimana kita saksikan di televisi. Air itu berasal dari Amerika, tapi hanya bisa disaksikan dari daratan Canada yang berbatasan dengan New York State. “Itu, tu pak, pintu imigrasi untuk memasuki USA,” tunjuknya.
Dalam mobil perjalanan pulang, sambil melepas pembungkus kepala dan kaos tangan penghangat, saya membacakan doa hafalan saya karya Ibrahim bin Ad-ham versi Indonesia untuk pak Syafruddin Marzuki, yang sekaligus sebagai driver, “Oh Allah, aku ingin bertasbih bersama lautan yang bertasbih dengan gemuruh gelombangnya, bersama semua ikan di laut yang bertasbih dengan gerakan-gerakan bibirnya, bersama langit yang bertasbih dengan gemerlap bintangnya, bersama pohon yang bertasbih dengan tarian daun-daunnya.” Lalu saya tambahkan, “Oh Allah, aku juga bertasbih bersama nyanyian air terjun Niagara dan milyaran butir percikan air yang dilemparkan ke udara.” Mengapa saya ingat doa itu? Karena itulah doa dalam Kitab Al Qulubud Dhaari’ah oleh Fethullah Gulen, ulama kharismatik Turki yang sekarang berada di Amerika ini, demi keselamatan dari pengejaran teman sekelasnya yang sekarang memimpin Turki. Saya memang pecinta buku-buku karyanya. Apalagi sekarang saya sedang membimbing desertasi tentang tokoh modern sufistik Turki itu.
Sampailah saya kemudian ke Lake Toronto yang airnya berasal dari Niagara Falls di atas. Saya menolak untuk diajak turun. Cukup dari mobil saja. Saya lihat sangat luas, biru dan agak memutih karena begitu banyaknya burung putih yang berterbangan rendah di atasnya. Burung yang di tepi danau juga akrab dengan pengunjung. Teringatlah saya akan rubuan bebek dan angsa di Ottawa River yang justru menyuguhkan kepalanya untuk dibelai pengunjung dari penduduk setempat.
Maaf, sekali lagi maaf. Kemungkinan besar, Anda tidak akan diberi kesempatan oleh burung, bebek dan angsa-angsa liar di Ottawa itu untuk membelainya, sebab kelembutan jiwa Anda telah tercerabut sampai ke akar-akarnya. Anda dipandang sebagai pemangsanya. Bisa saja hewan-hewan tak berdosa itu berkata sinis kepada Anda, “Jangankan engkau mengasihi kami, kepada sesama manusia saja engkau bermuka bengis.” Atau lebih ekstrim lagi, “Jangankan kepada non-muslim, kepada sesama muslim saja engkau tega mengalamatkan kata “musyrik, bid’ah” bahkan “anjing, setan, iblis” atau kata-kata lain yang kurang enak di daun telinga perindu kedamaian. Tahukah Anda mengapa jadwal tour dakwah saya digeser dari New York ke Ottawa Canada? Tidak lain, karena bulan-bulan ini sesama pengurus masjid di kota tersibuk di USA itu lagi berselisih sampai harus ke meja hijau menunggu palu hakim di diketok. Jika saya memenuhi undangan salah satu dari dua kubu dimungkinkan menambah masalah, maka lebih baik tidak sama sekali. Cukup, cukuplah kulkas (kuliah ringkas) ini. Ayolah sekarang kita memperbanyak sujud panjang untuk menyerap sifat Rahman Rahim (kasih sayang) Allah SWT, melembutkan hati dan menebarkan sifat Allah itu untuk semua binatang, lebih-lebih sesama manusia, lebih-lebih lagi sesama muslim.
Sedikit lelah tapi senang perjalanan pulang telah memasuki downtown Toronto, sudah mendekat wisma KJRI, tempat saya menginap selama 10 hari. Tapi, azan magrib di cell phone (istilah yang lebih dikenal daripada hand-phone) terdengar, maka kami berdua salat maghrib berjamaah di Masjid ISNA, yang terletak di 2200 South Sheridan Way, Missisauga. Inilah masjid yang memiliki ISNA School, sekolah Islam terfavorit karena paling berkualitas di Toronto. Tapi, pasti juga termahal. Di masjid itulah saya menjumpai puluhan remaja berjubah coklat muda yang sudah hafal Al Qur’an. Saya juga melihat anak-anak kecil dalam kelas “medressa” masing-masing yang duduk dengan menegakkan salah satu lututnya sambil mengangguk-anggukkan kepala untuk menghafal Al Qur’an. Beda dengan cara duduk anak-anak kita di Indonesia.
Di pintu keluar masjid itulah, saya diperkenalkan dengan warga Indonesia yang tinggal dekat masjid itu. “Maaf kemarin sore, kami tidak bisa mengikuti training shalat bapak di KJRI,” sapa wanita, istri Indra Satria, chef di restoran ternama di Toronto. “Hari itu kami berdua menjenguk anak saya yang sekarang tinggal di Darul Ulum,” lanjutnya. Sambil mendengarkan percakapan mereka, saya terkagum karena mereka mengirim anaknya di pondok pesantren Jombang Jawa Timur. “Sekarang masih sekolah menengah dan hifz (hafal al Qur’an) baru 20 juz pak,“ lanjutnya sambil mengikat tali sepatunya yang tinggi menutup tumit untuk penahan dingin. Kata hifz tidak asing bagi telinga semua muslim Toronto. “Sabtu, pak Ali akan melanjutkan training. Bisa ikut kan?” kata pak Syafruddin Marzuki yang setiap pagi tidak pernah absen membelikan saya Double Chocolate di Tom Hortons. Eh..ternyata, Darul Ulum yang dimaksudkan adalah Darul Uloom Canada, semacam pondok pesantren yang berlokasi di 51 Prince St. N, Catham, dua ratusan kilometer dari Toronto atau sekitar 4 jam perjalanan dari Toronto. “Wah, anak saya yang hifz baru tiga juz, apa mau ya saya pindah ke sana?” tanya Syafruddin kepada dirinya sendiri.
Esok harinya, Kamis (23/3) saya ketemu lagi dengan imam masjid dengan anak muda beretnis Arab yang sudah saya ceritakan pada catatan sebelum ini. Lebih norak lagi pakaiannya, kali ini berkaos oblong putih dengan tulisan nama kampusnya, “University of Toronto” yang terbalut jaket coklatnya. Pagi ini, celanya ganti levies biru yang sudah setengah memudar. Saya tidak lagi dipersilakan menjadi imam, ya.. mungkin karena pada subuh sebelumnya saya mendapat kirtik terlalu pendek dan kurang panjang bacaan saya untuk ukuran masjid tersebut. Semua imam membaca sekitar satu halaman Al Qur’an untuk setiap rakaat. Pada subuh Kamis itu, saya merasakan keasyikan mendengar bacaanna seperti hari dua hari sebelumnya. Ia memberi komando takbir untuk sujud tilawah pada raakaat pertama sebab dalam surat yang dibaca tersebut ada ayat tilawah. Jum’at (24/3) juga bersujud tilawah sebab pada rakaat pertama itu dibaca surat As Sajadah tuntas, yang salah satu ayatnya mengandung perintah sujud tilawah, dan surat Al Insan pada rakaat kedua.
Begitulah suasana shalat berjamaah hampir di semua masjid di Toronto, kecuali untuk shalat maghrib dengan surat-surat pendek. Dan itulah yang ikut mewarnai kehidupan muslim Indonesia di sini. Kalau dihitung, sudah puluhan anak Indonesia yang hafal Al Qur’an lebih dari lima juz. Dalam beberapa kali perkumpulan pengajian, selalu terdengar pembicaraan di antara komunitas Indonesia soal hifz tersebut. Dalam interaksi di sekolah-sekolah Islam, anak-anak Indonesia juga sudah terbiasa mendengar hifz teman sekelasnya.
“Ustad, ini hadiah dari saya, agar ustad lebih keren,” kata Rudy Hartono, pegawai KJRI asal Kediri Jatim yang tiba-tiba memasuki kamar saya di lantai bawah KJRI, sambil menyerahkan topi abu-abu berasesori merah. “Wah bagaimana jika rindu pecel Kediri mas,” tanya ringan saya kepadanya. “Semua bumbu dan sayur pecel apa saja ada di sini. Jangan khawatir pak,” jawabnya meledak-ledak. Sekarang, dengarkan pengalamannya mengenai perbandingan kehidupan keagamaan anak-anak kita di Toronto dan Indonesia. Saya harus membetulkan posisi duduk saya agar tampak siap dan serius mendengarkan kisah-kisah spiritual dirinya serta teman-temannya di Toronto.
“Di sini, tidak ada ruang abu-abu. Kalau mau jadi orang baik, ya ada tempatnya, dan kalau mau jadi orang bejat (rusak) ada tempatnya juga. Aturannya ketat dan itu ditegakkan. Pembeli rokok harus menunjukkan kartu identitas untuk diketahui usianya. Demikian juga pemeriksaan ketat dan membayar tiketnya yang mahal dengan batasan usia di atas 18 tahun untuk pembeli miras dan pertunjukan porno.” Pria yang bekerja sebagai staf konsuler itu kemudian berdiri untuk mendemonstrasikan sepenggal joget porno Indonesia dan melanjutkan kisahnya dengan nada semakin meninggi, “Mana ada pembatasan usia pembelian rokok, miras, memasuki bar dan nite club di Indonesia. Jika ada, apa sudah ditegakkan?” “Pak, anak saya sedih dan bertanya terus menerus, “What’s that daddy?” ketika saya ajak pulang ke Indonesia dan melihat pertunjukan musik di lapangan terbuka. Bagaimana bebasnya anak-anak usia sekolah kita berjoget mengikuti putaran pinggul penyanyi di atas panggung dengan bagian atas dan pahanya terbuka sampai minus sekian derajat.” “Apakah ini tidak direkam dalam otak generasi kita pak?”
Saya lalu mengambil pulpen untuk mencatat pandangan-pandangannya tentang masa depan anak Indonesia. “Oh ya pak, mana pakaian bapak yang kotor untuk saya bawa ke laundry,” pintanya kepada saya sebagai selingan, lalu mengatakan sambil menghela nafas, “Sudah sangat pantas, jika Allah menurunkan azab bertubi-tubi ke Indonesia.” Sunyi sejenak. Sama-sama diam. Lalu ia melanjutkan dengan suara lirih, “Saya bersyukur pak ditakdirkan Allah bekerja di negara yang banyak orang Indonesia menyebutnya negara “kafir” ini. Tak apalah.”
Dia melihat jam, dan harus kembali ke ruang kerjanya. Sambil merangkul pundak saya, ia menutup kisahnya dengan bangga. “Pak, setelah 21 tahun saya bekerja di sini, jika bapak mau, akan saya tunjukkan daftar teman-teman Indonesia yang justeru menjadi santri setelah tinggal beberapa tahun di sini. “Ibu-ibu yang semula berpakaian minim dan perokok berat, sekarang pada pintar mengaji, berhenti merokok dan berhijab. Teman-teman yang semula kecanduan narkoba dan pecinta musik yang kencang-kencang sekarang mengisi cell phone nya dengan suara-suara mengaji imam masjid Makkah dan Madinah Anak-anak mereka juga disekolahkan ke sekolah-sekolah Islam dengan program hifz. Di sini mereka belajar juga bagaimana kita harus mendahulukan orang tua, wanita dan anak-anak dalam semua pelayanan publik.”
“Eh pak, coba lihat undangan, Sabtu besok potluck (konsumsi) nya Soto Lamongan lho pak,” katanya menutup pembicaraan. Benar, saya cek demikian bunyinya undangan melalui WA. Saya kembali rebah istirahat ke kasur sambil introspeksi dan berkata dalam hati, “Astaghfirullah, setelah di tanah air nanti, saya akan meminta anak-anak saya untuk menambah download Al Qur’an dan mengurangi konten-konten lainnya.”
Bisakah Indonesia melahirkan siswa-siswa hifz Al Qur’an? Bisa, antara lain dengan cara mengurangi jumlah mata pelajaran dan jam belajar intra kurikuler di sekolah. Tidak sepadat sekarang. “Anak saya yang SMA di sini, sangat santai. Mata pelajarannya sedikit dan amat menyenangkan, “ kata Hadi Sapto, Konjen KJRI, dan dibenarkan oleh Abdul Asri Siregar, ketua MIIT (Masyarakat Islam Indonesia Toronto) yang semobil dengan saya menuju makan siang di restoran prasmanan Pakistan, tidak jauh dari masjid bekas diskotik, kira-kira 30 menit perjalanan dari KBRI. Saya lupa nama lokasinya.
Catatan saya akhiri karena saya sudah dijemput untuk shalat Jum’at (24/3) di masjid tertua full kaligrafi Al Qur’an, bekas gereja Anglo Saxon Toronto. Menurut saya Toronto bena-benar sebuah “pesantren” besar yang bisa saja kelak akan diimpor untuk menjadi imam di masjid-masjid Indonesia. (Toronto, 24-Maret 2017)
Keterangan Gambar: (1) "Ponpes" Darul Uloom Canada (2) ISNA School, sekolah Islam terfavorit Toronto (3) Niagara Falls Toronto (4) Bersama Rudy Hartono

Description: Foto Moh Ali Aziz.
(1)
__________________________________________________________________


KHAUF-RAJA DALAM ALTAR “GEREJA”

Catatan hari ke 24-25 Tour Dakwah Moh. Ali Aziz di Amerika Canada
Lha, inilah yang lebih menarik daripada catatan sebelumnya tentang Gereja Anglo Saxon Toronto yang sekarang menjadi masjid sejak 1968, karena catatan sebelumnya baru tentang bagian luarnya, dan sekarang tentang interior bagunannya serta pelaksanaan ibadah di dalamnya. Catatan ini baru bisa saya ditulis setelah mengikuti shalat Jum’at (24/3).
Saya tidak tahu mengapa hati saya bergetar memasuki “gereja” tua menjulang tinggi itu setelah membaca kaligrafi warna putih “Lailaha Illaallah” di bagian teratas, persis sejajar dengan pintu masuk yang terbuat dari kayu jati tebal dan amat berat didorong itu. Silakan cermati kaligrafi tersebut lurus di atas kepala saya dalam gambar. Sekalipun masjid ini tertua, tapi sejauh yang saya amati, masjid ini sepi dibandingkan masjid-masjid yang saya kunjungi selama di Toronto. Pengunjungnya tidak memenuhi ruangan. Sedangkan masjid-masjid lainnya justru tidak bisa menampung, dan harus mengadakan shalat Jum’at rata-rata 2-4 kali angkatan.
Melihat anak-anak kecil turun ke basement masjid, saya langsung membuntuti mereka. “What are doing, children?,” tanya saya. “Pardon me,” pinta mereka untuk mengulangi pertanyaan saya. Mungkin bahasa Inggris saya kurang familiar di telinga mereka. “Are you from Turki?,” tanya mereka. Setelah saya jawab bahwa saya bukan dari Turki tapi dari Indonesia, mereka bingung, “Negara mana itu?,” katanya sambil menoleh kepada temannya yang berkulit hitam. Anak-anak seusia kelas satu SD itu rupanya sedang mendapat tugas dari gurunya untuk menggambar cara-cara orang berwudlu. Setelah berhasil membujuk mereka untuk berfoto, saya naik ke lantai satu lagi. Ternyata saya menembus bekas altar yang biasa dipergunakan untuk proses ritual ibadah gereja. Benar-benar sunyi, karena saya datang memang lebih awal untuk menghindari kemacetan. Saya hanya melihat dua orang tua usia 70an tahun di atas altar itu membaca Al Qur’an tanpa suara. Selama saya di Houston, Chicago dan Canada ini, belum pernah saya lihat satupun orang membaca Al Qur’an di masjid dengan suara, sekalipun lembut. “Pernah dulu, ketika pertama kali ke sini, saya ditegur brother karena saya membaca Al Qur’an dengan suara lirih, karena katanya mengganggu orang lain di sekitarnya,” cerita salah satu warga Indonesia. Juga belum ada satupun masjid yang mengumandangkan azan ke luar. Azan hanya terdengar dalam masjid saja. Begitulah penghormatan kepada hak-hak asasi orang lain.
“Pak Abul, papan larangan apa di halaman parkir belakang gereja itu,” tanya saya. Abul Asri Siregar adalah ketua MIIT (Masyarakat Islam Indonesia di Toronto) atau Indonesian Muslim Community , Association of Toronto and The Vicinity di jalan 2-235 Fifth Line West, Missisassuga Ontario Toronto yang mengundang saya khusus di Toronto ini. “Itu larangan menghadapkan kenalpot ke rumah warga yang tinggal dekat masjid ini. Mereka tidak mau bising atau bau asap mobil sedikitpun dari pengunjung masjid. Jadi, kenalpot mobil harus diarahkan ke masjid atau halaman tengah,” jawab pria Batak yang sehari-hari sebagai seksi perdagangan di KJRI Toronto. Saya hanya menggut-manggut saja sambil introspeksi, selama ini saya tidak merasa berdosa sama sekali mengganggu kenyamanan orang dengan suara mesin mobil di rumah, atau cara berkendara di jalan raya, atau ketika memarkir kendaraan dan sebagainya. “Pak, dari segi ini, mana yang lebih Islam, orang-orang bule itu atau kita?” tanya Syafruddin Marzuki yang mengantar saya ke masjid ini. Karena saya sudah tahu arah jawaban yang diminta, saya diam saja, tidak menjawab.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar,” suara azan dikumandangkan orang berkaos oranye lengan panjang dan bercelana longgar dengan empat saku lebar di kanan kirinya sebagai tanda waktu zuhur sudah masuk. Uh…saya merasakan suara azan dalam masjid ini sangat pas di telinga, mirip di Masjidil Haram Mekah. Tak ada gema, tidak ada gaung, sangat bening dan enak di telinga. Saya kemudian melihat ke bagian atas masjid. Ternyata semua atap terbuat dari kayu berplitur coklat tua yang ditata rapi sampai bagian atas tertinggi yang tak terlihat ujungnya karena sangat tinggi dan juga karena tidak ada cahaya di sekitarnya. Saya juga sempat menghitung ada 15 kipas gantung kuno yang saya yakini sebagai peninggalan gereja. Sebab, enam alat pemanas ruangan dalam ruangan itu juga besar dengan sekat-sekat besi tua, tidak seperti alat pemanas yang modern sekarang: ramping dan cantik. Jadi, kualitas suara azan yang menentukan efektifitas komunikasi tersebut karena sound sistemnya yang bagus dan arsitek bangunan gereja yang telah dirancang untuk menghasilkan suara yang enak di telinga.
Dalam ruangan itu, saya hanya terganggu sedikit kedinginan, karena mesin pemanas tidak dihidupkan. Menurut ukuran orang setempat, udaranya enak, sangat hangat. “Maklumlah, bapak kan dari Surabaya, kota yang lebih panas dari Jakarta,” jelas pak Abul Asri Siregar setelah shalat dengan rukuk dan sujud yang sangat lama. “Yah…mulai praktek terapi shalat bahagia pak,” tambahnya sambil melihat pengkhotbah yang bersiap menaiki tiga tangga mimbar.
Ketika khatib berjubah hitam dengan pelipis kuning seperti yang dipakai Raja Salman memulai khotbah, saya jatuh cinta dengan suara, intonasi dan diksi atau pilihan katanya. Ya, sangat tertarik, karena ketiga aspek retorika (suara, intonasi dan diksi) itulah yang sedang dikuliahkan oleh dua asisten saya di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel selama saya tour dakwah ini: Mbak Baiti Rahmawati dan Ibu Ati Nursyaafa’ah. Mereka berdua asisten yang luar biasa ketulusan dan keseriusannya dalam mengajar. Mereka selalu berkonsultasi tentang persiapan kuliah dengan saya melalui facebook atau WA. Saya merekam separuh khutbah sang imam, dan video itu nanti akan saya putar di depan kelas untuk dipelajari bersama. Di samping saya harapkan bisa berkhutbah seperti khatib masjid ini, para mahasiswa yang saya banggakan itu juga saya harapkan bisa menulis laporan sebuah kegiatan dakwah seperti yang saya tulis ini, bahkan harus lebih baik dari saya. Saya tidak merekam semua khutbah karena lama-lama tangan saya lelah juga.
Syekh Hamdi, imam dan khatib tetap masjid ini berkhutbah dengan topik “The Journey of Soul (Perjalanan Ruh)" dengan bahasa campuran: Arab dan Inggris. Saya lebih mudah memahami bahasa Arabnya daripada Inggrisnya yang masih kental dialek Mesir. Kutipan ayat dan hadis yang dibacakan dengan tekanan suara pada setiap penggalan kata yang menarik membuat saya lebih antusias mendengarkannya. Saya menoleh ke kanan, kiri dan belakang untuk melihat bagaimana ekspresi para jamaah. Semuanya tertegun, sebab khatib yang berbadan kekar itu bercerita bagaimana perjalanan nyawa orang mukmin dari saat keluar dari tubuhnya sampai ke langit tertinggi. Saya sedikit heran, orang-orang modern di negara maju seperti ini ternyata tertarik juga dengan masalah kematian dan alam roh. Beda jauh dari dugaan saya. Sebelum saya ke Amerika dan Canada ini, otak saya berisi keyakinan, mereka lebih suka khutbah yang ilmiah dan aktual. Tema yang sama: khauf war raja juga dikhotbahkan di Masjid Rahmah Ottawa pada dua jum'at sebelumnya.
Beberapa kali telunjuk tangan pengkhotbah diarahkan ke atas, dan sesekali kedua tangannya dibentangkan melebar ketika membacakan kutipan ayat yang amat terkenal, yaitu QS. Fusshilat [41]:30 tentang malaikat-malaikat yang diperintahkan Allah mendatangi orang-orang mukmin yang tangguh imannya (istiqamah) menjelang kematian untuk menghiburnya, ”Jangan takut dan jangan pula bersedih.” Untuk mencapai keimanan yang bagai gunung tersebut, yaitu tak hanyut terkena banjir, tak meleleh terkena sengatan panas, dan tak bergerak terkena angin itu, setiap muslim harus mengisi hatinya dengan khauf war raja’ (rasa takut dan harap), takut siksaan Allah dan penuh harap akan kasih dan ampunan Allah. Pengkhotbah juga mengutip hadis Nabi SAW, bahwa tak akan ada dua hal yang bersatu pada diri setiap orang, yaitu rasa senang dan takut. Siapa yang takut melanggar aturan Allah selama hidupnya, pasti tidak akan super takut lagi di akhirat. Juga, siapapun yang selalu senang, bebas hidup tanpa aturan di dunia, pasti tidak akan merasaka kesenangan di akhirat. Dengan suaranya yang dinaikkan sedikit, sang pengkhotbah menekankan sekali lagi petingnya khauf war raja untuk penguatan iman.
Kembali tentang the journey of soul, Syekh Hamdi meyakinkan para jamaah dengan bahasa Inggris, “Oh beleivers, when Izrail come to you …Wahai orang-orang yang beriman, ketika Izrail mencabut nyawa Anda, semua malaikat di langit turun dan memanggil-memanggil ruh Anda, “Wahai ruh yang harum, segera keluarlah, cepat keluarlah, engkau sudah ditunggu Allah.” Dan setelah roh keluar, para malaikat berebut membawanya untuk dipesembahkan kepada Allah di langit yang tertinggi.” Dalam hati saya, “Wah.. mantap, mantap sekali gaya khutbah syekh ini untuk saya ajarkan kepada mahasiswa saya.”
Ketika iqamat dikumandangkan, saya segera mengambil barisan terdepan setelah semula duduk di baris ketiga untuk memudahkan video-record khutbah. Saya berdiri di belakang imam, dan saya lihat mik kecil yang semula dipasang di krah bajunya dilepas dan dipegang selama memimpin shalat. Dalam hati saya, “Imam ini faham tentang pengaturan suara, jarak antara mulut dan mik untuk menghasilkan suara yang bagus.”
“Pak, apa sah shalat dengan memegang mik, dan apakah bisa khusyuk menjadi iamam dengan cara demikian,?” tanya Syafruddin dan Abul Asri dalam perjalanan pulang sambil menawarkan menu lunch hari itu. Saya jawab, “Tak da masalah, tapi kalau dilakukan di Indonesia, imam shalat dengan pegang mik seperti itu pasti jadi bahan pembicaraan.” “Semua makanan sudah pernah pak ya, tinggal restoran Afghanistan yang belum. Bapak tidak boleh meninggalkan Toronto sebelum semua restoran dengan menu masing-masing negara dicicipi.” “Cocok pak,” jawab saya dengan cepat agar segera pulang, sebab saya tidak terlalu suka makanan-makanan jenis itu, dan saya lebih suka sayur asam dan pindang goreng kecil-kecil, atau sayum bayam dan dadar jagung, atau makanan-makanan ndeso lainnya, dan ingin segera istirahat untuk persiapan ceramah berikutnya.
Sambil menikmati jus manga bercampur yoghurt ala Afganistan, di meja makan itulah saya mendapatkan cerita dari dua orang KJRI yang menemani saya, dan saat itulah saya menemukan jawaban mengapa masjid bekas gereja yang elit itu sepi jamaah. Pertama, masjid itu berada di komplek perumahan orang-orang bule dan kaya raya. Hanya orang yang kaya bisa membeli rumah di situ. Oleh sebab itu, jamaah yang datang ke masjid ini orang-orang jauh dan - ini penting untuk dicatat - sealiran dengan pengurus masjid. Kedua, gereja ini dibeli dengan mengangsur di bank. Akibat terjadi gesekan antara sesama pengurus, angsuran ke bank menjadi tersendat-sendat, sampai dibekukan bank sampai angsuran lancar. Tidak jelas konflik itu karena etnis atau mazhab atau yang lain. Pecahan dari masjid inilah yang kemudian mendirikan masjid besar ISNA yang memiliki sekolah Islam paling maju di Toronto, sebagaimana saya ceritakan pada catatan sebelumnya. Weleh weleh…konflik, berpecah-belah sesama muslim benar-benar menjadi “tradisi dan hobby” di mana saja sampai saat ini. Sampai kapankah ini berlangsung? Kelak, tantangan dakwah sedunia bukan dari non-muslim, tapi dari saudara seiman sendiri. Pembaca yang terhormat, sering-seringlah membaca “rabbisyrah li shadry” (Oh Allah, expand for me my breast with assurance) (QS. Thaha [20]: 25) agar Anda bisa memberi sumbangan paling berharga untuk masa depan Islam, yaitu kelapangan hati (jembar atine, dalam bahasa Jawa) untuk menerima dengan ikhlas, tanpa terpaksa perbedaan pandangan dalam beragama.
Catatan ini saya tulis di atas pesawat Air Canada dari Toronto menuju Los Angles. Separuh waktu penerbangan come back to America selama 5 jam tersebut saya pergunakan untuk tidur pulas, karena harus berangkat ke bandara sebelum subuh, dan paruh sisanya untuk untuk menulis catatan ini. Battery lap top habis. Wassalam. Ikuti catatan berikutnya tentang Qulhu dekat Hollywood, tempat saya tinggal sekarang. (Toronto, Ahad 26 Maret 2017).

Keterangan Gambar: (1) Kaligrafi Lailaha Illallah di pintu Masjid-Gereja Tua (2) Syekh Hamdi, imam masjid (3) Murid mengaji di basement Masjid Gereja Tua (4) Aturan asap knalpot mobil bagi pengunjung masjid.
Description: Foto Moh Ali Aziz.
(1)

    (2)                                       (3)                                           (4)
__________________________________________________________________Top of Form

29 Maret pukul 21:08
BEDUG KENTONG PENGGETAR HOLLYWOOD

Catatan hari ke 26 dan 27 Tour Dakwah di Amerika Canada
Keluar dari Bandara Los Angeles dari Toronto (Ahad 27/3) badan sedikit lemas dan kaki terasa berat, sebab sepatu penahan salju dan jaket berlapis sudah tidak cocok lagi. Udara normal seperti Malang atau Bogor, tapi badan agak limbung karena badan masih memerlukan penyesuaian. Saya kadang geli melihat badan saya di foto yang terlihat menggelembung, sehingga anak saya teriak, “Ayah kok jadi gembrot!” Bukan tambah daging tapi lapisan pakaian belaka. Setelah saya hitung, selama tinggal di daerah bersalju atau minus sekian derajat, ada 15 unit pakaian yang setia menempel di badan. Hanya saya yang bisa menghitung lho, yaitu sepatu tebal tinggi, kaos kaki, celana tipis termal, celana dalam, celana biasa, kaos singlet, kaos penghangat satu, kaos lengan panjang penghangat dua, kaos lengan pendek, baju utama, jaket kulit tebal, kaos tangan, tutup kepala untuk shalat, tutup kepala sekaligus telinga dan selendang atau slayer. Jadi, setiap ke masjid atau keluar untuk makan siang, perlu sedikit waktu untuk mengenakan “pakaian kebesaran” itu. Dengan pakaian demikian, maka ketika bersujud, rasanya badan kaku sekali. Bandingkan di Indonesia yang lebih praktis dan cepat: baju lengan pendek, sandal jepit dan sarung tipis, go..go..go..bahkan kadangkala tidak memakai selembarpun pakaian dalam karena tergesa.
“Wah.. ini menyiksa saya pak. Saya baru datang dari negara lain dan hanya dua jam istirahat, sudah harus memberi pelatihan shalat,”kata saya memohon pengertian Bapak Farhat Ambadar, pengurus masjid KJRI Los Angeles yang namanya sangat terkenal semangat dan kelincahannya di antara para penggiat dakwah masyarakat Indonesia di Amerika. “Alahmadulillah, istri dan anak-anak saya juga mendukung jihad saya di negeri ini,” kata pria keturunan Yaman dan ber-KTP Amerika itu dalam perjalanan dari bandara menuju restoran Bangladesh sambil mengarahkan telunjuknya ke arah jalan menuju markas bintang-bintang dunia, Hollywood. “Hanya 15 menit saja dari sini,” tambahnya. Saya akhirnya memahami jadwal itu, sebab jika acara tidak pada hari libur, sangat susah mengumpulkan orang, sedangkan Rabo sudah harus hijrah ke San Bernardino. Saya sendiri tidak tahu itu daerah di sebelah mana. Saya pasrah saja kepada panitia.
Dalam hotel JJ Grand Hotel di Harvard Bouleverd tidak jauh dari KJRI, saya cepat-cepat rendam air hangat mengusir penat, lalu shalat dengan rukuk dan sujud yang ekstra lama. Dalam rukuk dan sujud itulah, saya merintih kepada Allah, “Oh Allah, You are The Knowing that I am tired, and some viruses will be endangering me when I don’t take a rest. But, your servants here in Los Angeles are waiting for me, and ask me to improve their shalat which brings them into happiness in this world and hereafter. I am sure, and indeed I believe in You, that You are certainly competent and able to have strength on me. You are Dzul Quwwatil Matin: Source of Great Energy. You are the Lord of Angel Michael. Oh Allah, order him to open the gates of blessing, health and easiness for this shalat course. I totally submit everything even my soul to You. It’s up to You, and I will accept happily whatever Your destiny on me.”
Sengaja saya tulis aslinya dalam bahasa Inggris, sebab dalam catatan saya sebelumnya yang berjudul “Belajar Bahasa Amerika Melalui Shalat Bahagia” saya menganjurkan bagi peminat bahasa Inggris untuk melakukan perenungan makna doa shalat dan semua permohonan dalam hati, sekali lagi dalam hati, dengan bahasa Inggris. Dengan demikian, setiap hari berkali-kali ia praktek bercakap-cakap dalam bahasa Inggris.
Baiklah saya terjemahkan doa di atas, sama sekali bukan karena menganggap pembaca tidak mengerti, tapi semata-mata berharap mendapat koreksi jika ada kesalahan: “Wahai Allah, Engkau paling tahu bahwa aku sedang letih, dan sejumlah virus semakin mengganas merusak tubuhku jika aku tidak cukup istirahat. Tapi, hamba-hamba-Mu di sini, Los Angeles telah menunggu dan memintaku menyempurnakan shalatnya agar kebahagiaan dunia bisa diraih, demikian juga kebahagiaan akhirat. Aku yakin (x3), Engkau pasti (3x) Maha Kuasa memberi kekuatan kepadaku. Engkaulah Dzul Quwwatil Matin atau sumber semua energi. Engkaulah Tuhannya Malaikat Mikail. Perintahkan dia untuk memberi kekuatan dan kesehatan ekstra kepadaku dan membuka pintu rahmat, ampunan dan kemudahan untuk pelatihan shalat ini. Aku pasrahkan segalanya kepada-Mu, bahkan nyawaku. Terserah Engkau, dan aku menerima dengan ikhlas dan ridlo apapun takdir-Mu untukku”
Tepat jam 17:00 saya dijemput di hotel menuju Masjid KJRI Los Angeles. Hotel ini terletak di wilayah padat penduduk asal Korea yang terkenal dengan “Korea Town.” Alhamdulillah, banyak orang belum datang, sehingga saya dipersilakan tidur dulu di kantor masjid dengan bantal selimut abu-abu tebal karena tak tersedia bantal asli. “Lampu saya matikan saja pak ya,” kata orang keribo bermarga al-Katiri dan masih lancar berbahasa Indonesia. “Teh apa kopi untuk minum penghangat, pak ustad” tawarnya sambil menutup pintu. Kebetulan juga sound system yang tersambung ke lap-top memerlukan pembetulan. Beginilah cara-cara Allah menolong saya untuk memberi istirahat dan kekuatan baru agar saya tetap sehat. Ketika dibangunkan untuk memulai acara, saya benar-benar segar seperti telah teraliri energi Allah.
Di depan kantor berukuan 2x3 m yang dipenuhi alat-alat tulis tempat saya istirahat itulah saya melihat bedug dari jati dan kulit sapi berdiameter 50 cm x 75 cm di atas kayu yang disilangkan sebagaimana kita jumpai di beberapa masjid Indonesia. Bentuknya tidak bulat sepenuhnya, susah digambarkan. “Weleh.. weleh.., ada kentongan juga yang terbuat dari pangkal bambu keras dan membengkok cantik pada ujungnya dan digantungkan di bawah bedug,” cekikikan saya dalam hati. “Inilah suara unik yang akan bisa mengalahkan suara musik keras dan film ternama dari sono: Hollywood,” senyum saya melucu sendiri mengawali tidur sejenak. Beduk dan kentongan itu tidak pernah dipukul, hanya untuk asesori yang mencerminkan budaya masjid di Indonesia. Memang masjid ini dalam satu atap dengan KJRI. Masak bintang-bintang film dan penyanyi-penyanyi Holywood ataupun warga Amerika dipanggil dengan bedug dan kentongan? Melihat bentuk kentongan yang kasar dan melengkung itu saja mereka sudah ketawa sampai pingsan ha ha.
Sekilas ada perbedaan masyarakat Indonesia di sini dibandingkan dengan mereka yang tinggal di Houston, Texas, Chicago dan Canada. Di sini jumlahnya banyak dan amat kental cara interaksi dan bahasa Indonesianya. Mereka tampak guyup dan anak-anaknya juga masih lumayan bahasa Indonesianya. Tapi, mungkin saya salah, tingkat rata-rata ekonominya sedikit lebih rendah, berdasar variasi latar belakang pendidikan dan jenis pekerjaannya. “Bu, saya ceramah dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris?” tanya saya mengawali pelatihan. “Bahasa Indonesia saja pak ustad,” jawab mereka serentak, lebih-lebih oleh ibu-ibu yang jumlahnya lebih banyak. Sedangkan di tempat lain, saya diminta menggunakan bahasa Inggris atau minimal campuran bahasa Indonesia dan Inggris. Biasa, mereka juga jualan macam-macam makanan Indonesia seperti pada semua perkumpulan masyarakat Indonesia lainnya. “Ini untuk camilan pak, bikinan saya sendiri, silakan,” kata seorang ibu tambun berbusana batik sambil menyerahkan kotak plastik transparan berisi rempeyek kacang yang diambilkan dari stand penjualannya. Pertanyaan mereka juga tidak sekritis lainnya. Hanya heran saya, di semua pengajian di negara manapun yang saya kunjungi, mengapa selalu ada pertanyaan tentang Ahok, baik yang pro maupun yang kontra. “Maaf, saya diundang di sini hanya untuk pelatihan shalat bukan pelatihan politik. Jadi mohon bertanya tentang shalat saja,” jawab saya setiap menerima pertanyaan tentang pilkada Jakarta itu. Dalam hati saya, “Kalau tidak puas, ya pulangkan saja aku ke pangkuan istriku,” sedikit menirukan lagu melankolis tempo doeloe.
Pada Pelatihan Terapi Shalat Bahagia sebelumnya di KJRI Toronto Canada (Sabtu, 26/3) ada beberapa anak yang mengagumkan saya. Pembaca Al Qur’an pada pembuka acara itu adalah kakak beradik, Nada Jannah (SMP) dan Bilal Abdsus Shomad (SD) dengan percaya diri. Putri dan putra Bapak Yul Suwendah, pegawai JP Morgan, bank terbesar Amerika itu mendemonstrasikan hafalan Al Qurannya yang mengundang decak kagum hadirin. Pada sesi tanya jawab, dua anak di bangku terdepan yang sama-sama siswa SD mengajukan pertanyan yang unik dan menyulitkan saya. “Mengapa burung-burung selalu berkicau pagi buta setiap hari? Dan “Bagaimana saya meladeni kawan-kawan sekelas yang melecehkan Islam?” Saya hanya bisa paham 25 % dari pertanyaan itu. Maka saya minta bantuan moderator apa maksud pertanyaan mereka dengan bahasa Inggris yang full logat Amerika itu. Moderator acara itu adalah Bapak Ahmad Fuad Fanani, dosen UIN Jakarta yang sedang menempuh program doktor bidang ilmu politik di Toronto. “Saya juga tidak paham sepenuhnya pak,” kata penulis andalan di Harian Kompas, yang menurut pengakuannya hasil didikan bapak rektor UIN Sunan Ampel, Prof. Dr. Abd A’la, kebanggan saya. Saya baru paham ketika bapak mereka menjelaskan dengan bahasa Indonesia. Plong rasanya, teman yang sudah setahun saja kesulitan, maka dapat dimaklumi jika saya mengalami kesulitan yang sama. Mengapa sulit dipaham, antara lain, rata-rata bunyi huruf R anak-anak yang lahir di Amerika nyaris hilang, sebab dalam bahasa Inggris, bunyi huruf itu memang sangat soft dan samar. Maka para guru yang mengajar membaca Al Qur’an harus memiliki seni tersendiri khususnya yang terkait dengan huruf R.
Pertanyaan pertama saya jawab, “Children, burung-burung itu berkicau pagi hari untuk menyambut dan menghibur ayah ibumu dan kamu sendiri yang berwudu untuk shalat subuh.” Anak kecil dengan jilbab agak miring yang bertanya tersebut kelihatan senang. Untuk pertanyaan kedua, saya harus berpikir dulu. “Katakan saja, oke friend, kita diskusikan saja kelak ketika kita sama-sama sudah di perguruan tinggi, not now,” jawab saya tentang kiat menghadapi pelecehan agama dan saya memintanya untuk tetap senyum, walaupun penghinaan itu menyakitkan. Saya berbisik kepada Pak Ahmad Fuad, “Bagaimana pak, jawaban kedua tadi?” “Cocok pak, kan masih usia SD, belum bisa berpikir yang tinggi-tinggi,” jawab bapak dari dua anak yang telah tinggal satu tahun bersama keluarga di Canada. “Jujur pak, saya sering mengeluh di sini, karena jauh lebih berat daripada sewaktu kuliah di Australia dulu. Tapi, sekarang tidak akan mengeluh lagi setelah membaca bahan-bahan kajian bapak yang dikirim melalui cell phone oleh panitia dan setelah mengikuti acara ini,” tambahnya. Saya katakan, “jazakallah khaira,” dan tidak perlu saya mengurus apakah itu dari hatinya atau hanya lip service atau basa-basi untuk menyenangkan saya saja.
Pada pelatihan terapi shalat di Los Angeles, California ini, saya mendapatkan curhat seorang ibu yang agak pelik. “Pak ustad, tolong terapi anak saya. Saya jemput ke rumah pak,” keluhnya, lalu menjelaskan riwayat masalahnya. Ketika saya dan anak saya semakin mendekat Allah termasuk aktif shalat malam, justru anak saya terkena musibah kebakaran di tempat kerjanya di negara bagian lain di Amerika. Setelah itu, masalah lain datang silih berganti. Sudah dua tahun ini ia mengurung diri di rumah, tidak mau shalat sama sekali, dan terakhir mengatakan, “Saya tak mau lagi percaya pada Tuhan yang tidak memberi solusi dan justru menimpakan masalah berat ketika aku dan mama memuji dan menyanjung-Nya.” “Saya minta terapi secara private pak,” tambahnya. “Bu, mohon maaf, saya tidak keluar hotel di luar jadwal ICMI North America, agar tetap sehat untuk melanjutkan tour dakwah ke kota-kota lain,” jawab saya dengan menambahkan “injih, injih, ngapunten” untuk menunjukkan kesopanan kepada ibu asal Wonosari itu. Saya katakan juga, “Bu, pelatihan terapi shalat baru dua sesi, kan? Insya Allah setelah selesai semuanya, bunda bisa melakukan terapi sendiri, yaitu melalui rukuk dan sujud yang panjang.”
Setelah istirahat semalam, Senin (28/3) saya dijemput panitia untuk pertama kali shalat shubuh berjamaah di masjid komunitas Bangladesh, tidak jauh dari hotel saya. “Ha Bangladesh,?” tanya saya dalam hati. Orang Indonesia sering menyebut Bangladesh negara tidak kaya, tapi bisa bikin masjid. Kita sendiri belum punya. Masjid yang ada sekarang bukan masjid secara resmi, hanya ruangan KJRI yang diikrarkan untuk shalat dan semua kegiatan Islam. Jadi, amat protokoler, karena wilayah yang mendapat keamanan diplomatik.
Di masjid Bangladesh itu, saya menolak untuk menjadi imam, tapi karena tetap didesaknya, maka saya melakukannya. Seperti yang saya duga sebelumnya berdasarkan pengalaman di masjid-masjid lainnya, tidak ada satupun orang mengajak bicara dengan saya setelah selesai shalat. Hanya penjemput itu saja. Rasanya saya ini seperti imam liar yang hinggap di mihrab masjid, lalu terbang begitu saja. Itu budaya, tak perlu heran, mereka sangat hormat. Jangan samakan dengan budaya Indonesia. Selasa (29/3) saya diminta lagi untuk menjadi imam subuh setelah pengurus masjid berjenggot putih 20 cm dan berjubah ala Bangladesh meminta dengan sangat sopan. “Are you from Indonesia? I went there for khuruj,” tanya seorang jama’ah setelah shalat. Rupanya ia anggota jamaah tabligh yang pergi dari masjid ke masjid dan mengajak orang di sekitarnya untuk shalat ke masjid. Pengikut jamaah tabligh ini cukup banyak, termasuk orang-orang Indonesia.
Senin itulah pagi yang menyenangkan, karena sejak saya ke Amerika dan Canada, itulah pertama kali badan berkeringat. Saya berjalan pagi cepat selama 45 menit dengan penghangat sinar mentari melintasi sepanjang jalan Harvard, Normandie, Alexandrea, New Hemisphire, dan Vermont. Beberapa kali saya melihat penjual buah iris, es kelapa muda, dan aneka makanan di tepi jalan, ha ha..persis yang ada di kota-kota Indonesia. Kebanyakan mereka imigran Meksiko. Saya juga mengambil gambar dengan mencuri-curi lebih dari lima orang gelandangan (homeless) yang membuat gubuk kecil di trotoar jalan protokol atau di gang-gang sempit, atau di halaman gereja-gereja. Ini benar-benar kota seribu gereja, sebab setiap beberapa ratus meter terdapat gereja dengan bangunan kuno, kokoh, gagah, dan melangit.
Sepanjang jalan itu, saya juga empat kali dihadang pengemis, “Coffee please, breakfast please!.” Ada juga dua orang yang kurus dan sangat tua di sebuah taman, duduk mengantuk dan sesekali batuk melengking yang juga menunggu sedekah orang. Inilah satu-satunya kota paling unik di Amerika yang memberikan keleluasaan pedagang-pedagang kecil dan tidak terlalu risau dengan imigran gelap. “Istilahnya, sanctuary city atau kota perlindungan,” terang pak Farhat Ambadar, suami Lola Kamelia yang luar biasa akrab dan perhatiannya kepada saya. Mungkin karena suasana demikian itulah orang-orang Indonesia sangat menikmati bahkan mencintai kota ini.
Kelelahan saya memberi pelatihan terapi shalat tahap kedua pada Senin malam (28/3) di masjid KJRI terhapus dan semangat saya untuk terus berkarya terpompa lebih kencang ketika mendengar beberapa apresiasi peserta. “Saya akan mengundang bapak lagi untuk orang-orang Amerika asli. Mereka sangat membutuhkan terapi yang luar biasa seperti ini,” kata Dwirana Satyavat, presiden IMF (Indonesian Muslim Foundation) yang namanya menjadi jaminan pada imigrasi untuk kedatangan saya di Los Angeles. “Saya akan mengundang bapak untuk prifat keluarga untuk terapi shalat ini,” kata Hediana Hadi, Family Service Conselor Funeral/Cemetery Sales. Seorang ibu bertongkat juga menghampiri saya yang sedang memasukkan lap top ke dalam tas, ya maklum saya sendirian tanpa tim, “Ketika berdiri shalat dan menghayati makna hamdalah, saya sebut nama bapak sebagai rasa syukur kepada Allah yang mengirim Bapak kemari. Ini yang lama saya cari.” “Saya tidak mengada-ada, setelah praktek shalat dari bapak, kaki saya tidak cekot-cekot (nyeri) lagi,” kata ibu Annisa, janda asli Jawa yang kemudian dinikahi orang Mesir hasil mimpi ini. Saya juga sedikit senyum, di Amerika kok ada bahasa “cekot-cekot.” “Bapak hebat. Belum pernah ada penceramah yang pengunjungnya tetap banyak pada hari kedua seperti ini. Biasanya, hanya padat pada hari pertama. Berapa tahun harus antre mengundang bapak untuk pengkhotbah hari raya di Los Angeles pak?,” kata Farhat Ambadar dan istrinya dalam mobil Laxus untuk mengantar saya istirahat di hotel.
Semua ini saya ceritakan agar dunia tahu bahwa UIN Sunan Ampel bisa menembus masjid-masjid Amerika dan Canada. Tekad saya, “Alumni almamater saya harus mewardani dunia.” Juga agar istri dan anak-anak saya yang sekian lama saya tinggalkan menjadi terhibur sekaligus apresiasi untuk mereka yang tiada hari tanpa doa untuk saya. Terakhir, juga sebagai rasa syukur, karena Allah SWT menyuruh kita untuk menceritakan dengan sukacita sekecil apapun nikmat dari-Nya: “Wa amma bini’mati rabbika fahaddits” (QS. Ad Dluha: 93:11). Besok saya dijadwal ke Hollywood. Semoga tidak ada yang mengajak main film, sehingga bisa meneruskan tour dakwah, he he. (Los Angeles California, Selasa, 28-3-2017).
Keterangan Gambar: (1) Bedug dan kentongan dekat Hollywood (2) Bersama Dwirana Satyavat presiden IMF (Indonesian Muslim Foundation) (3) Ibu Annisa penduduk Los Angeles: testimoni terapi shalat. (4) Gelandangan Los Angeles California.

Description: Foto Moh Ali Aziz.
(1)
Description: Foto Moh Ali Aziz.
Description: Foto Moh Ali Aziz.
(3)


Description: Foto Moh Ali Aziz.
(4)Top of Form
__________________________________________________________________

31 Maret pukul 14:37

MECCA MADINAH TANPA KA’BAH

Catatan hari ke 28 dan 29 Tour Dakwah di Amerika Canada
Sebenarnya judul semula tulisan ini adalah “Catatan Si Boy 4.” Tapi, setelah saya meninggalkan Los Angeles (Rabo, 29/3) dan berpindah ke San Bernardino, daerah pegunungan bagian barat California, mendadak saya ganti dengan judul baru setelah menemukan jalan Medinah di perumahan Sierra Lake. Perumahan ini amat indah dan nyaman dengan lapangan golf di tengahnya dan beberapa fasilitas olah raga lainnya. Saya bangga, banyak orang Indonesia yang taraf ekonominya melampaui rata-rata orang Amerika sendiri. “Pak, mohon buah dan makanan yang saya bawa dari hotel ini diberikan para gelandangan di sekitar sini,” kata saya sebelum keluar dari mobil menuju rumah pak Yayat Bustomi, tempat saya menginap selama di San Bernardino California.
Ada apa dengan Catatan Si Boy? Anda yang berusia 40-an, tentu ingat film terlaris di Indonesia, “Catatan Si Boy” pada tahun 1980-an. Terakhir, Catatan Si Boy 3 digarap di Hollywood. Begitu larisnya, sampai harus diproduksi tiga seri. Syaiful Hendra yang membintangi sampai menjadi rebutan iklan berbagai produk. Uang menumpuk dan tidur di kasur empuk, begitulah kira-kira. Siapa sangka, ternyata dialah yang akan mengundang saya untuk pelatihan terapi shalat di Las Vegas minggu depan, dan dialah yang menemani saya melihat-lihat Codax Theatre, gedung jangkung serba artistik tempat penganugrahan piala-piala perfilman yang bergengsi itu. “Untuk acara Academy Award, semua jalan menuju ke sini ditutup, karena semua aspal telah tertutup permadani merah,” jelas pak Farhat Ambadar sambil menunjuk jalan raya yang dipenuhi turis sedunia dengan pakaian macam-macam, antara lain meniru pakaian bintang-bintang film yang namanya terukir dengan warna kuning keemasan di sepanjang trotoar. Ha ha, pikiranku melayang ke Surabaya, “Oh..jalan ditutup seperti untuk acara istighasah akbar.”
Kami mencari agak lama, dan gagal menemukan prasasti nama tokoh Islam Amerika, sekaligus petinju legendaris, Muhammad Ali di antara ratusan prasasti, karena waktu yang terbatas dan penuhnya pengunjung. Hampir semua orang Amerika, lebih-lebih yang berkulit hitam selalu menyebut-nyebut kehebatan petinju dan pendakwah itu. Dia adalah satu-satunya orang yang tidak mau namanya ditulis di lantai. “No, no, Muhammad adalah nama Nabi Islam, maka tidak boleh ada satupun orang menginjaknya,” katanya waktu diminta ijin untuk diukir namanya di trotoar marmar abu-abu tua yang terlihat sangat kuno namun kental unsur seninya itu. Maka, ia satu-satunya yang ditulis namanya secara lengkap di tembok istimewa dalam lingkaran tanda bintang warna emas dan logo kamera film kecil di bagian atasnya. “Setelah bapak kembali ke Los Angeles dari San Fransisco dan Seatle 16 April nanti saja, kita ke sini lagi,” hibur pak Farhat Ambadar yang selalu siap mengambil gambar yang saya pilih.
Selama dalam perjalanan menuju tempat ini, saya memperoleh banyak pengetahuan tentang dunia seni Amerika dan liku-liku perjuangan hidup di negeri ini. “Saya bertongkat begini karena beberapa bulan yang lalu baru keluar dari rumah sakit,” kata pemain film CBS itu dalam mobil yang disetir Pak Farhat Ambadar sambil menunjukkan wajah tampan pada masa mudanya dalam cell phone yang diambil dari saku celana setengah panjangnya. Oh, tampan sekali, rambutnya mengkilat dan tersisir rapi dengan jambul depan agak meninggi. “Itu masa lalu. Saya sekarang sudah tua pak, dan tinggal menunggu giliran kembali kepada Allah. Tapi, saya takut Allah, karena banyak hutang saya kepada-Nya yang belum terbayar,” tambahnya dengan suara lembut sambil menarik kursi mobil ke belakang, karena berat badannya hampir 200 kg dan mencarikan tempat cuti tongkatnya. “Pak, mana gedung Hollywood,” tanya saya ketika diminta turun dari mobil tempat parkir yang gila taripnya itu, Rp. 200.000 per tiga jam. “Lho, tidak ada gedung khusus pak, Hollywood itu nama jalan, bukan nama gedung. Hanya saja di sekitar ini, ada Hollywood Museum, Hollywood Science, dan sebagainya,” jawab pak Syaiful sambil memandang wajah saya yang terlihat “nyengir” dan terkagum-kagum.
Dalam perjalanan menuju pusat bintang-bintang sejagat itu, pak Farhat menunjukkan sebuah hotel mewah khusus untuk hewan kesayangan, Pet Hotel namanya yang tertulis di tembok depan. Tidak hanya diperiksa dokter secara rutin dan tidurnya yang damanjakan, tapi hewan-hewan itu juga dibawa ke salon untuk mandi, potong rambut, dan potong kuku. “Ha, ke salon?. Dulu, sewaktu SD, saya mandi di sungai, sering tanpa sampo, potong rambut di bawah pohon oleh tukang cukur yang keliling bersepeda dengan alat cukur tradisional yang kadang-kadang kebablasan menusuk kulit kepala, dan memotong kuku sendiri dengan pisau dapur,” kata saya dan langsung disahut pak Farhat, “Lho pak, anjing milik bos saya juga harus rajin masuk kelas di sekolah khusus.” “Masya Allah, bagaimana cara mengabsen nama-namanya pak,” kata saya dan kami bertiga terbahak-bahak sampai sedikit menggoyang mobil.
Setelah itu, senyap sejenak, dan saya hanyut dalam keharuan bercampur kagum mendengarkan riwayat hidup Pak Syaiful. Selama 21 tahun di Amerika sebelum pensiun, dia harus kuat dan cerdas membagi waktu untuk bekerja sebagai pembersih kaca di KJRI, pengantar surat dan brosur-brosur, serta sebagai karyawan di hotel milik kerajaan Brunei. “Sepanjang hidupnya, ibuku tidak mau menerima satu rupiahpun dari kerja saya sebagai insan perfilman. Saya hajikan juga ditolaknya,” katanya dengan sesekali memegang tongkat coklat tua di sebelah kirinya yang diselonjorkan antara dua kursi depan mobil. Saya yang duduk di belakangnya mencatat secara detail tanpa sepengetahuannya. “Saya menjerit tanpa suara mendengar penolakan ibu itu,” kenangnya. Dalam hati, saya kagum, “Saya tidak sesuci ibunda bintang film lansia ini.”
“Dua tahun persis, saya bisa mengumpulkan uang dari kerja di Amerika untuk memberangkatkan haji ibu saya dan beliau tampak amat bahagia. Sebelum meninggal dunia, beliau kelihatan sangat bangga-bahagia, dan saya juga demikan, klop sudah,” katanya, lalu mengulang lagi kata-kata sebelumnya tentang giliran kematian dan hutang-hutang ibadah yang belum dilakukan. “Banyak,.. banyak hutang saya kepada Allah,” ia menutup pembicaraan. Bicaranya datar, tapi penuh nuansa sufistik, badannya tambun dan susah berjalan, tapi semangat dakwahnya tak pernah padam di Las Vegas. Hidup ini benar-benar masih koma, belum titik. Belum selesai sebelum titik kematian. Setiap orang sedang berproses terus menerus menyusuri jalan ke depan: bisa lebih jelek dan bisa lebih baik. Syaiful Hendra bukan lagi Catatan Si Boy 3, tapi 4, karena sudah berubah total. Itulah cuplikan dari tulisan saya “Catatan Si Boy 4” yang saya batalkan demi judul yang baru.
Setelah istirahat 3 jam setibanya di San Bernardino melewati freeway (3 kali dari besarnya jalan tol Indonesia) di antara gunung-gunung tandus berbatu coklat kehitaman seperti perjalanan Mekah Madinah, maka pukul 17:00 pak Yayat Bustomi bersama istri dan anaknya yang keempat, Danisa berangkat menuju masjid milik komunitas Indonesia, bekas rumah warga yang dibeli secara swadaya. Lumayan jauh, 35 km dari rumah. Inilah cinta yang membuat berat terasa ringan dan jauh terasa dekat. Maksudnya? Cinta masjid membuat tantangan apapun menjadi sebuah kenikmatan sekalipun harus mengeluarkan uang bensin, uang infaq, dan tenaga. Sewaktu di Ottawa Canada dua minggu sebelumnya, saya menyaksikan bagaimana cinta Allah dan cinta masjid membuat orang dengan senang hati mengeruk dengan skrop gunungan salju putih yang menutup halaman rumahnya pada pagi buta, bersepatu tebal, berkaos tangan dan berjaket, lalu memanasi mobil dan mengeluarkannya dari garasi untuk menuju masjid. Itu dilakukan bertahun-tahun, tanpa ada yang menyuruh selain Allah. Masih adakah dosa yang belum diampuni Allah bagi mereka yang telah jatuh cinta dan membuktikan cintanya kepada Allah? Saya yakin, Anda termasuk di dalamnya.
Pada acara pelatihan terapi shalat bahagia di masjid-rumah yang dibeli tahun 2011 malam itu (Rabo,29/3), saya sangat tersemangati oleh antusias brother Omar, pengagum Muhammad Ali yang sehari-hari sebagai polisi California, dan brother Yusuf yang menguasai banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia dan Jawa. “Yes, I like this new teaching of salat, and your English is good,” kata mereka yang masing-masing didampingi isterinya, wanita Indonesia menjelang pulang.
Kamis pagi (29/3) saya rame-rame bersama keluarga pak Yayat Bustomi bersepeda sekaligus membakar kalori menuju Medinah, ya kira-kira 500 m dari rumah tempat saya menginap. Pada waktu wudlu untuk shalat subuh 3 jam sebelumnya, melalui istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung dan menyemprotkannya keluar) kembali ada beberapa gumpalan darah hitam kering yang keluar dari hidung dan setelah itu pernafasan saya segar dan lancar. Silakan Anda lakukan berulang-ulang, agar gumpalan tipis kering, baik darah kering atau gumpalan lainnya pada hidung bisa lunak, mencair dan keluar ketika disemprotkan. Inilah rahasia perintah istinsyaq yang banyak ditinggalkan orang atau dilakukan kurang sempurna, sehingga pengaruhnya untuk kesehatan kurang maksimal, dan itu pula yang selalu kelewatan untuk saya jelaskan dalam catatan-catatan sebelumnya. Selama saya di Amerika dan Canada, saya baru bisa membuktikan kebenaran pernyataan Muhammad Salim, peneliti dari Universitas Iskandariyah Mesir, bahwa istinsyaq dapat mengeluarkan sebelas bakteri dalam hidung yang membahayakan dan mendatangkan penyakit pernafasan dan paru-paru (Moh Ali Aziz, Terapi Shalat Bahagia, 2016: 191).
Baiklah setelah dari Medinah, Anda saya ajak ke Mecca. Penikmat kurma pasti pernah merasakan kurma Medjool, yang sering disebut kurma makanan raja. Kurma jenis itulah yang dihasilkan oleh petani kurma di Mecca, wilayah yang panas dan gersang di bagian utara California dekat Salton Sea. Jika dilihat jarak jauhnya dari Medinah tempat saya menginap, maka wilayah penghasil kurma dengan penduduk hanya 8.577 jiwa tersebut hanya 142 km. Saya senang tinggal di Mecca dan Medinah California ini, tapi jauh dari kenikmatan Mecca yang memiliki ka’bah, Makkah Al Mukarramah. Di Toronto Canada, ada “ka’bah” tapi tak da Mecca-nya, karena hanya sebuah miniatur yang dibangun dalam rumah Bapak Yulianto Roessaptono, “Ya, ini saya buat sendiri, agar saya bisa shalat di dalam "ka'bah" dan lebih khusyuk,” katanya. Ha ha, jangankan Anda, saya sendiri tertawa menulisnya. (San Bernardino California, Kamis, 31-3-2-17).
Keterangan gambar: (1) Peserta training shalat: Omar dan Yusuf California (2) Welcome to Mecca California (3) Stop: petunjuk Medinah Street, bersepeda dg tuan rumah sebagai penunjuk jalan, (4) “Ka’bah” Toronto Canada.

Text Box: (4)
Description: Foto Moh Ali Aziz.
Text Box: (4)Text Box: (3)Description: Foto Moh Ali Aziz.  Description: Foto Moh Ali Aziz.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Model Tafsir Sastra dan Metode Tafsir Al-Qur'an

Model Studi Hadits Kontemporer

Studi Al-Qur'an dan Hadits di Era Kontemporer