Hermeneutika Al-Qur'an
a.
Definisi
Hermeneutika
Ada
yang mengidentifikasikankan hermeneutika dengan seni atau sains penafsiran. Ada
yang mengartikan sebagai metode penafsiran, sebagian menyebut hermeneutika
sebagai teknik penafsiran atau seni menafsirkan. Hermeneutika yang lahir di
tanah Yunani dan secara praktis digunakan untuk sistem pendidikan mengalami
perkembangan cukup signifikan melalui apa yang disebut dengan gerakan
deregionalisasi, suatu gerakan yang dirintis oleh Schleiermacher.
Plato
memilih sebutan techne hermeneias,
aristoteles menyebut “peri
hermeneutick”, yang digunakan Aristoteles, dimaksudkan olehnya sebagai
logika penafsiran, sementara Plato yang menggunakan istilah techne hermeneias adalah seni membuat
sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas. Paul Ricoeur mengartikan hermeneutika
sebagai teori untuk mengoprasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan
penafsiran terhadap teks.
Hermeneutika
adalah satu disiplin yang berkepentingan dengan upaya memahami makna atau arti
dan maksud dalam sebuah konsep pemikiran. Dalam hal tersebut, masalah apa makna
sesungguhnya yang dikehendaki oleh teks belum bisa kita pahami secara jelas
atau masih ada makna yang tersembunyi sehingga diperlukan penafsiran untuk
menjadikan makna itu transparan, terang, jelas, dan gamblang.
Apa
makna yang sesungguhnya dikehendaki oleh teks ? Apa ada makna yang tersembunyi
di balik teks atau di balik suatu kalimat ? Apakah konsep yang terdapat dalam
teks ini berkanaan dengan hukum atau politik ? Apabila kita belum mampu
memahami dengan jelas terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas dan atau
pertanyaan-pertanyaan lain yang relevan dengan teks, maka diperlukan penafsiran
untuk menjadikan makna itu transparan, terang, jelas dan gamblang.
b. Fungsi Hermeneutika
Sebagai teknik untuk memperoleh
pemahaman yang benar, hermeneutika berguna dan berfungsi untuk :
a) Membantu
mendiskusikan bahasa yang digunakan teks.
Bahasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
aktifitas hermeneutika. Lingkup bahasa yang membantu hermeneutika dapat
mencakup masalah bahasa, makana kata, masalah semantik, semiotik, pragmatik,
masalah expression dan indikation serta masalah logika yang
terkandung dalam teks.
b)
Membantu mempermudah menjelaskan
teks, termasuk teks kitab suci. Membantu mengandaikan hubungan teks dengan
waktu, hubungan teks dengansituasi atau lingkungan di mana teks disusun.
Masalah lain adalah masalah teks dengan teks yang lain yang sudah ada dan sudah
didiskusikan tema tertemtu. Masalah ini memunculkan persoalan mengenai ciri
khas yang membedakan seorang pengarang dengan pengarang yang lain yang membahas
tema yang sama.
c)
Memberi arahan untuk masalah yang
terkait dengan hukum. Poin ini menjelaskan bahwa penafsiran terhadap teks
hukum dapat dilakukan secara hermeneutika bagi mereka yang memiliki dasar
dan penguasaan terhadap masalah hukum. Sedangkan analisis hukum atau teks hukum
tetap diambil dari kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam tradisi hukum islam.
c.
Aliran-Aliran
Hermeneutika
Joseph
Bleicher di dalam bukunya membagi hermeneutika kontemporer menjadi tiga aliran;
yaitu :
1.
Hermeneutika teori (Hermeneutical Theory)
2.
Hermeneutika Filsafat(Hermenneutic Philoshophy )
3.
Hermeneutika kritik (Critical hermeneutics)
Hermeneutika teori memfokuskan perhatian pada masalah teori umum penafsiran
sebagai sebuah metodologi untuk ilmu-ilmu tentang manusia termasuk ilmu sosial.
Hermeneutika teori menempatkan hermenetik dalam ruang epistimologi, yakni,
hermenetik di tempatkan sebagai metode penafsiran terhadap pemikiran orang
lain. Betti mengharapkan pemikiran orang lain ( the mind of other) dapat dipahami seobyektif munkin. Oleh
aliran ini hermenetik diupayakan akan menemukan pondasi yang dibutuhkan bagi
penelitian ilmiyah. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Schleiermacher, Droysen,
Dilthey dan Emilio Betti.
Hermeneutika Filsafat justru menolak upaya menemukan fondasi dan
kemungkinan diperoleh pemahaman yang obyektif melalui proses atau metode
penafsiran. Pokok pandangan Hermeneutika Filsafat ini menyatakan bahwa ilmuwan
atau penafsir berada dalam ikatan sebuah tradisi yang membuatnya telah memiliki
pre understanding (pemahaman awal), terhadap obyek yang dikaji dan dengan
demikian dia tidak berangkat dari pikiran yang netral. Hermeneutika Filsafat
tidak bertujuan untuk mencapai pengetahuan yang obyektif tetapi bertujuan
hendak menjelaskan fenomena Human
Desain. Tokoh-tokohnya adalah Heidegger, Gadamer, Ricoeur.
Hermeneutika Kritik lahir lahir dari latar belakang dua aliran diatas.
Habermas melihat dua aliran Hermeneutik yang ada, tidak mempertimbangkan faktoh extra linguistic sebagai kondisi
yang punya pengaruh terhadap pemikiran atau perbuatan seseorang, misalnya,
tekanan ekonomi yang dirasakan berat, berpengaruh pada temperatur seseorang dan
ini berpeluang menjadi faktor eksternal yang berpengaruh pada tata pikir dan
prilaku seseorang. Hermeneutika Kritik sering dikaitkan sebagai cara
pandang kaum idealis yang memiliki tingkat kesadaran yang mencapai level
tertentu dalam menganalisis secara kritis kondisi politik, ekonomi, dan budaya
namun tetap mendasarkan diri pada data atau bukti-bukti material yang memadahi,
dan mereka memiliki kasadaran melakukan pembebasan seperti model psikologis.
d. Sejarah Perkembangan Hermeneutika
Pada
pertumbuhannya, Hermeneutik digunakan dalam sistem pendidikan di Yunani kuno.
Rujukan yang menjadi pedoman pendidikan pada saat itu adalah karya sastra
Homerus yang berisi nasehat-nasehat moral. Hermeneutik saat itu digunakan untuk
mentafsirkan karya filologi, yakni teks karya tangan manusia. Untuk saat ini
sering istilah ini dikaitkan dengan penelitian, yakni penelitian filologi yang
obyeknya naskah kuno, misalnya, filologi yang obyeknya naskah kuno berbahasa
Jawa dengan huruf jawa, seperti naskah babat tanah jawa, atau naskah berbahasa
Sunda kuno, atau naskah berbahasa daerah. Termasuk dalam filologi adalah naskah
yang ditulis dalam huruf Arab pegon seperti naskah Bustanus Salatin. Dalam tradisi hermeneutik, istilah filologi
dilawankan dengan teologi yang diartikan sebagai karya tuhan.
Jika dilihat
dari segi gerak, Hermeneutik muncul dari lapangan filologi, lalu mencoba masuk
ke lapangan teologi. Sebenarnya, dalam agama Yahudi dan Kristen telah ada
tradisi penafsiran atas kitab suci. Tradisi ini disebut Biblical exegesis, penafsiran terhadap kitab suci Bibel. Biblical exegesis tidak bisa
diartikan dengan tafsir model hermeneutik seperti pemahaman modern dan
kontemporer, sebab exegesis adalah
penafsiran yang khas yang digunakan dalam tradisi agama tersebut.
Ada
dikabarkan Philo (30 SM-50 M), seorang filsuf agama Yahudi, telah
melakukan upaya penafsiran terhadap kitab suci Yahudi dengan exegesis dan bukan
hermeneutik. Demikian pula dikalangan umat islam, tradisi penafsiran kitab suci
agama islam tidak memiliki kaitan dengan hemeneutik sama sekali.
Sementara
itu memang ada upaya dari kalangan kristen protestan mamasukkan hemeneutik
menjadi metode penafsiran untuk Bibel. Upaya ini dilakukan oleh Spinosa
(1632-1677 ),Flacius dan Chladenius, para teolog protestan. Upaya mereka ini di
latar belakangi oleh persoalan utamanya terkait dengan ayat atau ayat-ayat yang
menurut pandangan mereka belum atau tidak jelas maknanya.
Spizona,
Flacius dan Chladinius adalah para filsuf yang masuk dalam masa pre Romantis.
Dari masa ini, hemeneutik memasuku masa Romantisisme, masa ini sesungguhnya
lebih tepat di sebut sebagai sebuah gerakan yang terjadi pada masa setelah Lhan
dan sebelum Hegel, atau masa antara Khan dan Hegel ( kira-kira 1775 – 1815 ).
Romantisisme merupakan asosiasi para filsuf yang menyebut dirinya “ Schiegel
Brothers “ para anggotanya antara lain Novila, Friet, Schelling dan
Schleiermacher.
e. Mengenal Hermeneutika Al-Qur’an
Di kalangan
umat islam, penafsiran terhadap kitab suci al-Qur’an telah berjalan sejak ayat
al-Qur’an turun pada nabi Muhammad SAW , nabi sendiri telah menafsirkan
beberapa ayat Al-Qur’an. Tafsir al-Qur’an yang langsung dilakukan oleh nabi
adalah tafsir bil-manqul. Dalam
perkembangan selanjutnya para ulama menyusun sebuah disiplin untuk penafsiran
terhadap al-Qur’an, yakni ulum
al-tafsir. Akan tetapi, menurut kami ulum al-tafsir tidak dapat
diidentikkan dengan hermeneutika. Mungkin secara bahasa, ada kesamaan,
artinya hermeneutika itu sebenarnya berarti penafsiran. Hanya sebatas makna lafdziyah ini dapat di terima. Akan
tetapi jika yang dikehendaki dengan istilah penafsiran sebagai satu sistem
metodologi penafsiran kitab suci, jelas tidak identik. Sebagai sebuah sistem
ulum al-tafsir atau ulum al-Qur’an terdiri dari unit-unit bahasan yang mana
satu dengan yang lain saling berhubungan.
Di antara unit-unit itu adalah :
1.
Kaidah memahami Al-Qur’an, kaidah
ini membahas sharaf dan nahwu.
2.
Ayat muhkamat dan mutasyabihat.
3.
Nasakh : nasikh dan mansukh.
4.
Bahasan mengenai manthuq dan mafhum.
5.
Bahasan mengenai mafatih al-suwar.
6.
Dan lain-lain.
Item-item di
atas merupakan bagian yang menjadi bahasan dalam ulum al-tafsir atau ilmu untuk menafsirkan al-Qur’an. Dari
tema-tema atau item-item bahasan tersebut menjelaskan kepada kita, bahwa, pertama, ulum al-tafsir memiliki otonom yang
mandiri dan berbeda dari hemeneutika; kedua, sebagai suatu disiplin untuk
menafsirkan kitab suci, ulum al-tafsir
tidak terpengaruh hermeneutika, dalam sisi tata bahasa atau nahwu, secara umum, artinya tidak
saja berlaku untuk menafasirkan al-Qur’an tetapi juga untuk teks yang berbahasa
Arab, sastra arab mempunyai otonom sendiri.
Tidak hanya
itu, aspek kontekstualisasi juga tidak lepas dari perhatian beberapa pengkaji
Al-Qur’an periode klasik. Kajian terhadap konsep maslahah atau maqasid
al-syar’iyah bisa dimasukkan dalam ranah ini. Maqasid al-syar’iyah dimaksudkan bahwa setiap hasil penafsiran
atau produk ijtihad bener-benar mampu membawa kebaikan umat. Kitab-kitab ushul
fiqh karya sarjana muslim klasik telah memberikan porsi yang cukup signifikan
mengenai hal ini.
Meski secara
terminilogis metode hermeneutika Al-Qur’an tergolong baru dalam khazanah
tafsir, namun sampai saat ini ilmu yang dalam perkembangannya menjadi bagian
dari kajian filsafat ini telah mengalami perkembangan signifikan ditangan para
hermeneut muslim kontemporer. Berbagai metode telah tersajikan untuk
menyempurnakan kerangka metodologis ilmu-ilmu al-Qur’an. Pengelompokan
aliran-aliran hermeneutik dalam kesarjanaan muslim juga telah terpetakan. Dalam
hal ini Sahiron Syamsuddin memetakan aliran hermeneutika al-Qur’an menjadi tiga
kelompok:
1. Pandangan
quasi-obyektivis tradisionalis, yakni suatu pandangan bahwa Al-Qur’an harus
dipahami, ditafsirkan serta diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia juga
telah dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi di mana Al-Qur’an
diturunkan pada Nabi Muhammad.
2. Quasi-obyektivis
modernis, aliran ini juga memandang penting terhadap original meaning (makna asal), namun bagi kelompok ini, makna
asal tersebut hanya sebagai pijakan awal untuk melakukan pembacaan terhadap
al-Qur’an dimasa kini. Makna asal literatur Al-Qur’an tidak lagi dipandang
pesan utama Al-Qur’an.
3. Aliran
subyektivis, yaitu aliran yang meyakini langkah penafsiran sepenuhnya merupakan
subyektivitas penafsir. Karena itu setiap generasi berhak menafsirkan al-Qur’an
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Di kalangan
umat islam tidak pernah ada usulan hermeneutika dimasukkan sebagai metode atau
sains yang diperlukan bagi kegiatan penafsiran al-Qur’an. Putusan yang bersifat
mendeskriditkan hermeneutika ini di ambil karena dua kemungkinan. Petama ,
minimnya pengetahuan mengenai hermeneutika, atau pengetahuan yang
sepotong-sepotong, parsial dan dan tidak konprehensif. Kedua, munculnya wacana
pluralisme dan islam liberal yang sejak dini dianggap berkaitan dengan
hermeneutika karena penafsirannya yang mengundang kontroversi.
Secara
singkat dapat dikatakan bahwa pada awalnya hermeneutika digunakan untuk studi
filologi, lalu untuk study teologi dan kemudian berkembang. Perkembangan dan
perubahan hermeneutika ini masih berada dalam ruang epistemologi yang
membicarakan tentang bagaimana pemahaman diperoleh manusia melalui hermeneutik
sebagai metodologi penafsiran.
Perubahan
wacana hermeneutik yang bersifat subyektif terjadi ketika diskusi hermeneutik
berpindah dari ruang epistemologi ke ruang ontologi. Inilah yang dimaksud
dengan perubahan. Adalah Heidegger (1889-1976) filsuf yang mengubah wacana
diskusi hermeneutik dari ruang epistimologi ke ontologi.
Heidegger
menegaskan, pemahaman dan penafsiran tidak perlu dibedakan, pemahaman bisa ada
tanpa melalui penafsiran, bahkan dia menegaskan bahwa pemahaman yang diperoleh
lewat aktifitas mnafsirkan pikiran orang lain merupakan yang tidak outentik.ini
ungkapan yang yang bernuansa protes. Misalnya, seorang yang beragama islam
paham bahwa dia sedang berjalan menuju masjid untuk menunaikan sholat, dia
paham kalau sholat maghrib wajib. Setelah sholat dia paham bahwa dia membaca
al-Qur’an dan dia paham bahwa dia juga paham makna ayat-ayat yang dia baca,
atau sebaliknya, dia paham bahwa dia tidak paham makna yang dibaca. Meskipun
demikian ia tetap berusaha menjelaskan kepada orang lain bahwa meskipun dirinya
tidak memahami arti yang dibaca, tetapi membaca al-Qur’an merupakan salah satu
cara menegaskan diri sebagai orang muslim.
Perubahan
ini lebih signifikan lagi jika kita menyimak semakin banyaknya persoalan sosial
umat islam kontemporer yang tidak mampu dijelaskan oleh pembacaan –pembacaan
konvensional terhadap al-Qur’an. Perubahan paradigma dengan memperkenalkan
metode baru banyak dirintis, antara lain, oleh Fazlur Rahman, mohammed Arkoun,
Khalid Abou El-Fadl, Muhammad Abid Al-Jabiri, Ebrahim moosa, Nasr Hamid Abu
Zayd, dan mumkin juga pemikir islam lainnya.
Komentar
Posting Komentar