Model Tafsir Sastra dan Metode Tafsir Al-Qur'an


1.     Tafsir Sastra
Salah satu keunikan Al-Qur’an adalah  adanya pengulangan kata di beberapa ayatnya. Para ulama banyak yang membicarakan keunikan ini serta menghubungkannya dengan studi tematik modern..Muhammad Quthub misalnya, menegaskan sisi dengan tantangan tersebut dengan berbagai gaya bahasa. Yang lebih unik adalah bahwa terdapat pengulangan dalam satu surat yang mencapai 31 kali seperti yang terdapat pada surat Ar-Rahman.
Dalam melakukan studi tentang pengulangan yang ada dalam Al-Qur’an, Muhammad Quthub mencontohkan , ibarat mengenal seseorang yang tidak mungkin dengan cara mengetahuinya sepotong-sepotong dari beberapa cirri fisiknya, tetapi harus secara menyeluruh yang meliputi mata,hidung, telinga dan lain sebagainya. Hal itulah, menurut Muhammad Quthub yang disebut sebagai suatu keutuhan.
Selain Muhammad quthub adalah Muhammad al-hijazi yang juga membahas pengulangan dalam Al-Quran. Dalam bukunya al-wahdah al-maudhu’iyyah fi al-qur’an al-karim, ia mengatakan bahwa pengulangan itu terjadi dalam bentuk dan corak yang berbeda sesuai dengan kondisi, lingkungan dan waktu diturunkannaya. Surat-surat makiyyah misalnya berbeda dengan surat-surat madaniyyah. Kesatuan tema inilah yang kemudian memunculkan sebuah aliran penafsiran yang disebut dengan corak tafsir tematik.
Dalam perkembangan berikutnya, muncul metode penafsiran bercorak sastra yang di prakarsai oleh Muhammad Abduh. Metode ini merupakan metode modern yang menggunakan model pembacaan terhadap berbagai masalah sosial yang berkembang di masyarakat dan diintegrasikan dengan sentuhan-sentuhan sastra.   
Kelemahan yang di temukan pada metode ini pada awal kemunculannya adalah dari sisi balaghah dalam beberapa kajiannaya. Beberapa kajian yang telah dilakukan lebih banyak merujuk pada karya-karya klasik yang ditulis oleh ulama pada abad ke-4 sampai abad ke-8. Kelemahan ini kemudian menjadi motivator bagi bintu al-Syati’ untuk mengembangkan kajian tematik bahasa sastra  dalam tafsir. Salah satu karyanya adalah al-tafsir al-bayani li al-Qur’an al-karim.
Metode tafsir sastra tematik bintu al-Shati’ ini dipengaruhi oleh gaya gurunya yang juga merupakan pendamping hidupnya, yaitu Amin al-Khauli. Secara garis besar metode kajian sastra tematiknya dapat disimpulkan dalam empat pokok pikiran:
Pertama, mengumpulkan unsur-unsur tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa surat untuk dipelajari secara tematik. Mula-mula ia menggambarkan ruh sastra tematik secara umum, kemudian merincinya per-ayat. Akan tetapi perincian ini berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian tafsir tahlili (analitik) yang cenderung menggunakan maqta’ (pemberhentian tematik dalam satu surat). Di sini ia membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat itu kemudian dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa . kadang menyebut jumlah kata. Adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan dalam penggunaannya. Terakhir ia simpulkan korelasi antara gaya bahasa tersebut.
Kedua, memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai dengan kondisi diturunkannya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan lingkungan diturunkannya ayat-ayat al-qur’an pada waktu itu dikorelasikan dengan studi asbab al-nuzul, meskipun ia tetap menegaskan kaidah al-ibrah bi ‘umum al-lafz la bi khusus al-sabab (kesimpulan yang diambil menggunakan keumuman lafaz bukan dengan kekhususan sebab-sebab diturunkannya sebuah ayat).
Ketiga, memahami dalalah al-lafz. Maksudnya indikasi makna yang terkandung dalam lafaz-lafaz al-qur’an, apakah dipahami sebagaimana dzahirnya ataukah mengandung arti majaz (kiasan) dengan berbagai macam klasifikasinya, kemudian dipahami  melalui siyaq khas (hubungan –hubungan kalimat khusus) dalam satu surat dan dikorelasikan dengan siyaq ‘am (hubungan kalimat secara umum) dalam Al-Qur’an.
Keempat, memahami rahasia ta’bir dalam Al-Qur’an. Hal ini sebagai klimaks dari kajian sastra yang dilakukan dengan cara mengungkap keindahan, pemilihan kata, beberapa penakwilan yang ada di beberapa kitab tafsir yang mu’tamad, tanpa mengesampingkan posisi gramatikal arab(i’rab) dan kajian balaghah. 
Sastra tematik yang di maksudkan disini adalah corak tafsir modern yang menganut madzhab dan aliran tematik umum (maudhu’I ‘am). Pengkajiannya di khususkan  pada pembahasan sastra bahasa dalam satu surat. Ia tidak mengambil seluruh surat dalam Al-Qur’an , tetapi beberapa surat pendek saja, yaitu tujuh surat pendek juz ‘amma pada buku pertama; Ad-Dhuha, Al-Insyirah, Az-Zalzalah, Al-‘Adiyat, Al-Nazi’at, Al-Balad dan At-Takatsur. Tujuh surat pendek lainnya pada buku kedua ; Al-‘Alaq, Al-Qalam, Al-‘Ashr, Al-Lail, Al-Fajr, Al-Humazah dan Al-Ma’un.
Sebagai perbandingan Muhammad Quthub juga mengkaji secara tematik umum persurat dengan klasifikasi makki dan madani serta klasifikasi masing-masing keduanya. Dengan satu titik sentral; kajian tematik akidah, karena menurut Muhammad Quthub, tema besar al-qur’an adalah pemurnian akidah. Setelah mengupas beberapa aspek penting dalam tema besar yang ingin disampaikan , ia menafsirkannya secara tematik dalam beberapa sampel surat. Tiga surat makiyyah;Ar-Ra’ad, Luqman dan Fatir, serta tiga surat madaniyyah; Al-Baqarah , Ali ‘Imron dan An-Nisa’.
Rujukan utama dalam buku ini, bintu al-Shati’ merujuk kepada pendapat al-Zamakhsari dalam bukunya al-kasyaf dan Abu Hayyan dalam tafsirnya al-bahr al-muhit. Dalam mukaddimahnya, secara metodologis ia mengikuti sang guru dan suaminya , yaitu Amin Khuli serta mengadopsi beberapa gaya Mustafa Shadiq al-Rafi’i. lebih rincinya, ia tulis penjelasan ini dalam mukaddimah bukunya al-ijaz al-bayani.
Salah satu contoh tafsir sastra tematik bintu al-shati’ adalah surat Az-Zalzalah, yang dibuka dengan tema umum; alyaum al-akhir, kemudian ia mengklasifikasinya sebagai awal-awal surat madaniyyah, yaitu berada pada urutan keenam. Surat madaniyyah seperti ini justru menekankan aspek akidah dan iman pada hari akhir. Memberikan gambaran sebaliknya, surat-surat makiyyah bukan berarti tidak memuat tasyri’ dan penjelasan hukum.
Dalam hal ini penakwilan fa’il (subyek) tidak dibenarkan, karena sudah jelas, yaitu Allah. Pesan yang disampaikan kepada manusia bahwa bumi yang sedang dihuni saat ini memiliki potensi bergoncang kapan saja. Goncangan yang berbeda-beda bahkan bisa berakibat pada kehancuran yang berakhir dengan kefanaan. Setelah itu, bint al-Syathi’ merincinya tiap ayat dari sejak penyebutan arti bahasa, pemilihan kata zalzalah (baik kata zulzilat maupun kata zilzalaha), kemudian pengungkapan dalam bentuk madli yang berarti kepastian dan penggunaan kata syarat idza (apabila).
Pada ayat selanjutnya ia menguraikan penggunaan kata aktif  akhrajat (mengeluarkan) dan bumi sebagai pelakunya. Ini merupakan jenis kiasan. Setelah itu merinci penafsiran ‘atsqal (beban-beban berat yang dikandung bumi). Pada ayat selanjutnya, titik tekannya adalah keheranan manusia, baik yng beriman maupun yang kafir meskipun sebagian mufassirin ada yang berpendapat orang kafir saja. Disini ia memilih pendapat pertama karena tidak ada dalil yang mengkhususkan keumuman ayat ini. Pertanyaan ini pun langsung dijawab pada ayat selanjutnya. Ia juga sedikit menyitir  pendapat para ahli tafsir tentang penceritaan bumi. Sebagian tetap menjadikannya ungkapan kiasan, sebagian lagi berpedapat sebaliknya, bahwa memang benar-benar  pada hari itu bumi bisa berbicara.
Dalam kesempatan ini ia menyebutkan pendapat beberapa mufassir, diantaranya; al-Thabari, al-Zamakhsyari, Abu Hayyan dan al-Thabarsyi. Pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan akan timbul pun ditimpali dengan ayat selanjutnya, bahwa ini semata adalah titah pencipta manusia, Tuhan yang mengutus Muhammad pada kaumnya dan seluruh manusia setelahnya. Dalam ayat ini agak panjang lebar berbicara masalah wahyu.
Pesan penting berikutnya adalah penggunaan kata yawma idzin (pada hari itu). Untuk menunjukkan posisi dan keberadaan manusia setelah terpendam di alam kubur dan di bangkitkan kemudian. Ini adalah bagian penggambaran penokohan dan seting, seolah-olah pembaca dan pendengarnya berada di depan sebuah film dan pertunjukkan yang benar-benar nyata. Ia juga mengungkap rahasia pengungkapan kata yashdur (keluar) bukan dengan sinonim lainnya yakhruj atau yansharif.  
Lebih jelas lagi setelah ada penjelasan bagaimana cara keluarnya manusia dari kuburnya yang  bermacam-macam, berbeda-beda, berpisah-pisah dan berpencar-pencar. Keduanya ia pakai bermacam-macam dan berbeda sesuai sesuai amal dan perbuatannya selama di dunia. Sedang berpencar dan berpisah-pisah, dikarenakan kondisi yang demikian mencekam, menanti sebuah pengadilan agung yang sangat menentukan nasib mereka.  Adapun balasan bagi mereka setelah itu adalah seperti yang telah dijelaskan pada dua ayat penutup, di mana kedua ayat ini memiliki muqabalah (perbandingan) yang jelas sekaligus menunjukkan keindahan gaya bahasa. Ia juga menggunakan kata mitsqala dzarrah. Di samping menyebutkan perbedaan mazhab dalam memahami ayat ini, baik dari para mutakallimin maupun kelompok yang ada, juga mengemukakan pendapat al-Zamakhshari sebagai contoh untuk mewakili pemikiran mu’tazilah. Abu Hayyan mewakili Zahiriyyah, al-Tabarshi mewakili Syi’ah. Polemik ini muncul pada saat ada pertanyaan, kebaikan yang dilakukan oleh orang kafir yang dibalas dengan tuduhan kufur, sebanyak apapun kebaikan itu. Ia juga mengemukakan pendapat Muhammad Abduh, salah seorang tokoh yang dikaguminya.
Pada akhirnya, penafsirannya ditutup dengan pernyataan bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan balasan ini. Dia member ampun kepda siapa yang kehendaki-Nya dan memberi azab kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 48: 14)
Untuk mempelajari isi kandungan ayat  Al-Qur’an,  kita memerlukan ilmu tafsir. selain menggunakan cara tafsir sastra yang telah diuraikan diatas, berikut ini ada metode-metode untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an:
1. Al-Tafsir al-Tahlily (metode Analisis)
a. Al-Tafsir bi al-Ma’tsur
b. Al-Tafsir bi al-Ra’yi (bercorak Rasional)
c. Al-Tafsir al-Shufi (bercorak Taswauf)
d. Al-Tafsir al-Fiqhi (bercorak Fikih)
e. Al-Tafsir al-Falsafi (bercorak Filsafat / Falsafat)
f. Al-Tafsir al-Ilmi (bercorak Science)
g. Al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’I ( bercorak Sosial)
2. Al-Tafsir al-Ijmaly ( Metode Global)
3. Al-Tafsir al-Muqaran ( Metode Komparatif)
4. Al-Tafsir Maudhu’iy (Metode Tematik)

Dari metode-metode yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an diatas, yang akan dibahas dalam makalah ini hanyalah sebagian saja, diantaranya :
1.     Al-Tafsir al-Shufi (bercorak Tasawuf)

Ketika ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam tersebar ke seluruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala seginya, maka berkembanglah ilmu tasawuf .
Al-Tafsir al-Shufi dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:
a.      Tasawuf Teoritis,
Tasawuf teoritis yaitu para penganut aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasarkan teori-teori madzhab dan sesuai dengan ajaran mereka.

Kalangan tokoh-tokoh tasawuf mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami, dan mendalami Al-Qur’an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka.

Penafsir ini tampak berlebih-lebihan dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, dan tafsirannya sering keluar dari arti dhahir yang dimaksud syara’ yang didukung oleh kajian bahasa.Mereka menta`wilkan ayat-ayat Al-Qur’an  dengan tidak mengikuti cara-cara untuk menta`wilkan ayat Al-Qur’an dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil syar`iy, serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal isyarat.

Imam Al-Alausy dalam kitab tafsirnya mengemukakan sebagai berikut: “ Apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh Shufi tentang al-Qur’an adalah termasuk kedalam bab isyarat terhadap pengertian–pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki.

 Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual bukanlah yang dikehendaki. Karena keyakinan aliran Bathiniyyah yang ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari`at secara keseluruhan.

Tokoh-tokoh sufi kita tidaklah  bersikap demikian, oleh karena itu mereka menganjurkan agar tetap dipelihara penafsiran dan pengertian batin dari suatu ayat sebelum penafsiran, dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu diketahui.  Al-Zahabi mengatakan kitab tafsir yang bercorak tasawuf teoritis hanyalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an secara acak dan parsial yang dinisbatkan kepada Ibn Arabi dan yang terdapat di dalam kedua kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah dan al-Fushush, serta di dalam kitab tafsir yang bercorak beraneka ragam.

b.      Tasawuf Praktis,
Tasawuf praktis yaitu tasawuf yang mempraktekkan gaya hidup sengsara, zuhud, dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah SWT. Aliran ini menamakan tafsir mereka dengan tafsir al-isyari, yaitu menta’wil ayat-ayat, berbeda dengan arti dzahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi, namun dapat dikompromikan dengan arti dzahir yang dimaksud.

Mereka berkata, Tafsir Sufi dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1)   Tidak menafikan makna lahir/tekstual dari ayat Al-Qur’an.
2)   Penafsiran itu diperkuat oleh dalil syara` yang lain.
3)   Penafsiran itu tidak bertentangan denga  dalil syara` atau rasio.
4)   Penafsirnya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya itulah yang dikendaki Allah, bukan pengertian tekstualnya. Sebaliknya ia harus mengakui pengertian tekstual dari ayat Al-Qur’an yang ditafsir.

2.     Al-Tafsir al-Fiqhi (bercorak Fikih)

Dari Tasir bi Al Ma`tsur lahirlah tafsir Fiqhi, yaitu menafsirkan Al-Qur`an dengan ijtihad dalam mencari keputusan hukum dari Al-Qur’an, dan berusaha menarik kesimpulan hukum Syari’ah berdasarkan ijtihad, terutama dari ayat-ayat yang terdapat pada surat-surat yang turun di Madinah yang berisi Syari`at Islam dengan segala cabang dan macam-macamnya, yaitu shalat, zakat, haji, puasa, nikah, thalaq, mu`amalah, dan penjelasan tentang halal dan haram.

Hukum-hukum Islam yang mereka gali (istinbbath) dari Al-Qur’an itu tersebar dari mulut ke mulut, dihafal oleh generasi berikutnya secara estafet, sampai datang era penghimpunan dan penyusunan. Pada era ini lahirlah orang-orang yang memperhatikan dan mengkaji produk-produk istinbath itu, sehingga ia berkembang dan tersebar. Dari sini timbullah madzhab-madzhab yang berbeda-beda dikalangan umat islam sehingga terjadi banyak kasus-kasus hukum. Terhadap kasus-kasus itu para ulama menyelesaikannya berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnahh, Al-Qiyas, dan sumber hukum yang lain.

3.     Al-Tafsir al-Falsafi (bercorak Filsafat / Falsafat)
Al-Tafsir al-Falsafi dilihat dari tokoh-tokoh Islam yang mendalami kajian filsafat terbagi kepada dua:
1)    Golongan yang menolak filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal berusaha menjauhkan umat dari kajian tersebut. Diantara kitab-kitab tafsir yang ditulis berdasarkan corak falsafi ini adalah kitab tafsir Mafatih Al-Ghaib oleh al-Fakhr al-Razi tahun  606 H.
2)    Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat, meskipun di dalamnya ditemukan ide-ide yang bertentangan dengan Nash dan Syara’. Kelompok ini berupaya mengkompromikan atau mencari titik temu antara falsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan dan hendak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan teori-teori filsafat mereka semata, akan tetapi mereka gagal, oleh karena tidaklah mungkin nash al-Qur’an mengandung teori-teori mereka dan sama sekali tidak mendukungnya.


4.     Al-Tafsir al-Ilmi (bercorak Science)
Al-Tafsir al-Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat kauniyah berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan dan keunikannya, dan berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap gejala atau fenomena alam. Para ulama telah memperbincangkan kaitan antara ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang, sejauh mana paradigma-paradigma ilmiah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan penggalian berbagai jenis ilmu pengetahuan, teori-teori  baru dan hal-hal yang ditemukan setelah lewat masa turunnya Al-Qur’an, yaitu hukum-hukum alam, astronomi, kimia, dan penemuan-penemuan lain yang dengannya dapat dikembangkan ilmu-ilmu lain, seperti kedokteran, zoology, botani, geografi dan lainnya.
Sikap para ulama terhadap tafsir `Ilmy dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a.     Sebagian dari mereka yang mendukung tafsir `Ilmy dan bersifat terbuka, sehingga mereka menjadikan Al-Qur’an sebagi mu`jizat ilmiah, oleh karena itu ia mencakup segala macam penemuan teori-teori ilmia modern. Pendapat mereka ini didasarkan atas firman Allah (Q.S. 6:38), sebagai berikut:

مَا فَرَّطْنَ فِى الْكِتَابِ مِنْ شَيْئ….
“ Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab (Al-Qur`an)”.

b.     Sebagian yang lain menolak tafsir `Ilmy. Mereka tidak melangkah jauh untuk memberikan makna-makna yang tidak dikandung dan dimungkinkan oleh ayat dan menghadapkan Al-Qur’an kepada teori-teori ilmiah yang jelas-jelas terbukti tidak benar setelah berpuluh-puluh tahun, oleh karena teori-teori itu bersifat relatif. Mereka berpendapat tidak perlu masuk terlalu jauh dalam memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan kebenaran-kebenaran ilmiah dan teori-teori itu, tetapi sebaliknya kita harus menempuh cara yang mudah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengungkapkan makna-makna yang ditunjukkan oleh teks ayat.

Selain dua sikap ulama tersebut diatas, ada diantara ulama yang bersikap moderat. Mereka mengatakan:”Kita sangat perlu mengetahui cahaya-cahaya ilmu yang mengungkapkan kepada kita hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang dikandung oleh ayat-ayat kauniyyah dan yang demikian itu tidak ada salahnya. Banyak hikmah didalamnya yang jika dikaji oleh orang ahli akan jelaslah rahasia-rahasianya, tampaklah cahayanya dan mampu menjelaskan rahasia kemu`jizatannya.Di antara tafsir yang bercorak al-‘Ilmi ini adalah tafsir Mafatih al-Ghaib karya besar al-Imam al-Fakhr al-Raziy. Imam Al-Ghazaliy melalui kitabnya al- Ihya’ Ulumuddin dan Jawahir Al-Qur’an. Sedangkan As-Suyuthi melalui kitabnya al-Itqan

5.     Al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’i ( bercorak Sosial)

Yaitu tafsir dengan corak baru yang tidak memberi perhatian kepada segi Nahwu, bahasa, istilah-istilah Balaghah, dan perbedaan-perbedaan madzhab; sebuah tafsir yang justru menjauhkan pembaca dari inti al-Qur’an, sasaran dan tujuan akhirnya, oleh karena kenyataan menunjukkan bahwa perpustakaan-perpustakaan Islam telah dipenuhi oleh kitab-kitab tafsir yang memalingkan umat Islam dan sasaran-sasaran al-Qur’an dan makna-makna yang bernilai sangat tinggi.
Kelompok ulama yang menafsirkan Al-Qur’an dengan corak Al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’i selain segi-segi kekurangannya, mampu mengungkapkan segi balaghah al-Qur’an dan kemu`jizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju oleh Al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam yang agung dan tatanan-tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya, mampu memecahkan problematika umat Islam khusunya, dan manusia pada umumnya, dengan mengedepankan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan ajaran-ajaran yang dengannya dapat diperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, memadukan antara Al-Qur’an dan teori-teori Ilmiah yang mampu mengikuti perkembangan waktu dan manusia, dan mampu menolak kesamaran, keraguan dan dugaan yang salah terhadap al-Qur’an dengan argument-argumen yang kuat yang mampu menundukkan dan menolak kebatilan, sehingga jelas bahwa al-Qur’an itu benar.

6.     Al-Tafsir Maudlu’i (Metode Tematik)
Yang dimaksud dengan Al-Tafsir Maudhlu’i (Metode Tematik) ialah yang membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab an-nuzul, kosakata dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, baik argument itu berasal dari al-Qur’an, hadits, maupun pemikiran rasional.
Satu surah dalam Al-Qur’an sekalipun sub-sub temanya berbeda, pada hakikatnya merupakan satu tema dan mengarah kepada satu tujuan, dan sekalipun ia mengandung banyak makna dan bagian, pada hakikatnya ia merupakan satu kesatuan yang bagian-bagiannya tidak dapat dipisah-pisahkan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Model Studi Hadits Kontemporer

Studi Al-Qur'an dan Hadits di Era Kontemporer