Dakwah Multikultural
Reformasi secara
umum berarti perubahan terhadap suatu sitem yang telah ada pada suatu
masa, Dalam bahasa Indonesia selalu dipakai kata
modern, modernisasi dan modernisme, seperti yang terdapat dalam “aliran-aliran
modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi”. Modernisme dalam masyarakat
Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah
paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk
disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern.
Perkembangan
pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh banyaknya para santri yang telah
mengecap pendidikan formal yang lebih tinggi dan adanya proses dakwah yang
baik di masjid. Jadi dapat dipahami bahwa proses pembaharuan pendidikan di
Indonesia berawal dari kegiatan-kegiatan dakwah dan majlis talim yang ada di
masjid. Hal ini memberi kesan bahwa masyarakat secara tidak langsung
membentuk sebuah wadah yang pada akhirnya menjadi gerakan untuk melakukan
pembaharuan dalam pendidikan Islam.
Sejak
abad ke-20, gerakan pembaruan pemikiran di dunia Islam terjadi secara
besar-besaran dengan munculnya tokoh-tokoh Muslim ataupun organisasi terkemuka
di berbagai negara, seperti Mesir, Iran, Pakistan (India), dan Indonesia. Ide-ide
pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran dan gerakan Islam di
Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya, sangat
mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak
dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari luar Indonesia, dalam makalah ini
penulis akan menjabarkan bagaimana reformasi pendidikan islam di Indonesia pada
awal abad 20.
Pembaruan dan
Kebangkitan Pendidikan Islam di Indonesia
Latar belakang pembaruan pendidikan Islam di Indonesia
dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, pembaruan yang bersumber dari
ide-ide yang muncul dari luar yang dibawa oleh para tokoh atau ulama yang
pulang ke tanah air dari luar negeri (misalnya Makkah, Madinah, Kairo, dan
lain-lain). Gagasan-gagasan yang mereka bawa dari luar negeri itu menjadi
wacana untuk pembaruan di Indonesia setelah mereka kembali.
Kedua, yaitu faktor dari
dalam negeri banyak mempengaruhi pembaruan pendidikan di Indonesia. Kondisi
tanah air pada awal abad ke-20 adalah sedang dikuasai oleh Barat. Dalam bidang
pendidikan, pemerintah kolonial Belanda melakukan kebijakan pendidkikan
diskriminatif. Yaitu membagi lembaga pendidikan menjadi tiga strata. Strata
pertama adalam strata tertinggi yaitu sekolah untuk anak-anak Belanda. Strata kedua
adalah untuk anak-anak bumiputra yang orang tua mereka mempunyai kemampuan
ekonomi dan mempunyai posisi di pemerintahan, mereka juga dapat disebut
kelompok elit masyarakat Indonesia. Strata terendah adalah anak-anak bumiputra,
yaitu kelompok orang-orang yang hanya boleh menempuh pendidikan Sekolah Desa (3
tahun) atau Sekolah Kelas Dua (5 tahun).
Dengan setting historis
pada awal abad ke-20 ini ada dua trend-dialektis sosio-kultural yang dihadapi
dunia pendidikan Islam pada saat itu. Pertama, pada awal abad ke-20
ini merupakan era pencerahan dan kebangkitan (lembaga) pendidikan Islam pada
umumnya. Kedua, pada abad tersebut juga merupakan era pergerakan
nasional dan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Sementara itu di
kalangan umat Islam memiliki lembaga pendidikan pesantren, rangkang, dayah,
surau. Dengan menekankan mata pelajaran agama yang bersumber dari
kitab-kitab klasik. Pendidikan pesantren berbeda dengan sistem sekolah-sekolah
pemerintah. Melihat kondisi yang demikian, maka sebagian tokoh-tokoh umat Islam
berupaya untuk melaksanakan pembaruan di dalam bidang pendidikan Islam.
Di
kalangan Muhammadiyah berdiri sekolah-sekolah yang mengambil nama sama dengan
sekolah pemerintah HIS, MULO, AMS yang diberikan tambahan muatan keagamaan di
dalamnya. Sekolah itu diberikan nama HIS met de Qur’an,
MULO met de Qur’an, dan sebagainya.
Selain
itu di Sumatera Barat juga memelopori berdirinya madrasah, yang sistemnya
mendekati sistem sekolah pemerintah dan berbeda dengan sistem pesantren
Steenbrink, menyebutkan ada beberapa faktor pendorong bagi pembaruan pendidikan
Islam di Indoesia pada permulaan abad kedua puluh, yaitu:
Sejak
tahun 1900, telah banyak pemikiran untuk kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah yang
dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada.
Dengan kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah mengakibatkan perubahan dalam
bermacam-macam kebiasaan agama. sumber pokok Islam ini memainkan peran ganda
dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Lebih khas lagi, kedua sumber
tersebut memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu.
Pertama, prinsip-prinsip seluruh ilmu dipandang kaum Muslim terdapat di dalam
al-Qur’an semuanya. Kedua, dapat menciptakan sebuah iklim yang kondusif bagi
pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu,
pencarian ilmu dalam berbagai segi berujung pada penegasan Tauhid (Keunikan dan
Keesaan Tuhan).
Al-Qur’an
mengandung kebenaran religious dan moral yang diwahyukan oleh Tuhan. Sekalipun
wahyu ini disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan bangsa Arab pada abad ke-7,
pokok-pokoknya memiliki validitas universal dan mengandung petunjuk bagi umat
manusia abad ke-21 dan selanjutnya.
Menurut
al-Banna, pemahaman yang autentik tentang Islam mensyaratkan pengenalan
al-Qur’an dan Sunnah, dua sumber otoritatif untuk menetapkan peraturan Islam
dalam setiap keadaan. Kaum muslim harus mempelajari Kitab Suci-nya agar dapat
pemahaman yang komprehensif tentang agamanya, bukan semata tunduk kepada
otoritas keagamaan yang ada. Dalam beribadah, kaum muslim haruslah berlandaskan
pada kitab suci dan tidak boleh mempercayai kemujaraban azimat, jampi-jampi,
mantera, dan ramalan. Secara umum, kaum muslim harus memerangi bid’ah dalam
praktik agama. Corak pendidikan yang diinginkan oleh Islam ialah
pendidikan yang mampu membentuk “manusia yang unggul secara intelektual, kaya
dalam amal serta anggun dalam moral kebijakan”. Untuk meraih tujuan ini diperlukan
suatu landasan filosofis pendidikan yang sepenuhnya berangkat dari cita-cita
al-Qur’an tentang manusia.
Dorongan
kedua, adalah sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda.
Kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintaha kolonial diciptakan untuk
mendukung sistem birokrasi penjajah demi memperkuat eksistensi kolonialisme.
Pada masa penjajahan, sesuai dengan misi kolonialisme, pendidikan Islam begitu
dianaktirikan. Bahkan, pemerintah kolonial telah melahirkan peraturan-peraturan
yang membatasi bahkan mematikan sekolah-sekolah partikuler termasuk madrasah
dengan mengeluarkan peraturan yang terkenal wilde schoolen
ordonantie tahun 1933. Ini, karena kolonialisme pada awal abad ke-20
tersebut, memberlakukan kebijakan baru berupa politik etis, yang di satu sisi
memang menguntungkan (sebagian) masyarakat pribumi, karena pemerintah kolonial
memberikan andil dan kontribusi terhadap pendidikan dan pencerahan di tanah
air. Akan tetapi di sisi lain, kebijakan politik etis kolonial tersebut menjadi
boomerang bagi masyarakat kecil (wong cilik), karena kebijakan pengembangan
pendidikan hanya diberikan bagi para priyayi dan kaum bangsawan kelas menengah
ke atas. Pemberlakuan politik kolonial ini memicu sebagian tokoh agama
untukmendirikan lembaga-lembaga pendidikan (agama) yang bisa mewadahi kebutuhan
rakyat khususnya umat Islam sebagian rakyat mayoritas yang miskin. Dari sinilah
muncul trikotomi lembaga pendidikan Islam: pesantren, madrasah, dan sekolah,
meskipun fenomena pertumbuhan dan perkembangannya berlainan dan tidak
bersamaan. Menurut Kennedy, pendidikan mampu berperan
sebagai momok yang mengancam sistem kolonial.
Dorongan
ketiga, adalah adanya usaha-usaha dari Umat Islam untuk memperkuat
organisasinya di bidang sosial ekonomi.
Dorongan
keempat, berasal dari pembaruan pendidikan Islam. Dalam bidang ini cukup banyak
orang dan organisasi Islam tidak puas dengan metode tradisional dalam
mempelajari Qur’an dan studi agama. (Steenbrink, 1986: 46-47).
Bahwa
Umat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan
ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu, atau sebaliknya, mampu memahami wahyu
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satu kelemahan umat Islam,
bahkan para cendekiawannya adalah kebiasaan berhenti pada konsep normatif sehingga
mereka seakan telah puas hanya dengan hafal dalil-dalil Al-Qur’an dan
hadis. Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dimulai dengan munculnya
Sekolah Adabiyah. Sekolah ini adalah setara dengan sekolah HIS, yang di
dalamnya juga diajarkan agama dan Qur’an secara wajib. Tahun 1915, sekolah ini
menerima subsidi dari pemerintah dan kemudian mengganti namanya
menjadi Hollandsch Maleische School Adabiyah.
MAI
asal mulanya adalah singkatan dari Madrasah Arabiyah Islamiyah, yang
didirikan oleh Mualim Sa’id Joban pada sekitar tahun 1926 M dengan tujuan untuk
membentuk generasi Muslim yang berakhlakul karimah, berilmu, beramal dan
bertakwa kepada Allah Swt yang dipersiapkan untuk menjadi manusia yang siap
pakai dalam menjawab tantangan zaman serta dinamika kehidupan masyarakat.
Menurut
Mahmud Yunus yang disebutkan di dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia yang ditulis oleh Haidar Putra Daulay disebutkan
bahwa sekolah adabiyah adalah sekolah (agama) yang pertama memakai sistem klasikal,
berbeda dengan pendidikan di surau-surau yang tidak berkelas-kelas, tidak
memakai bangku, meja, papan tulis, hanya duduk bersila saja.
Pada
tahun 1915 di padang juga didirikan Diniyah School (Madrasah Diniyah) yang
didirikan oleh Zainuddin Labai al Yunusi. Madrasah ini mendapatkan perhatian
yang besar dari masyarakat Minangkabau. Setelah itu tersebarlah
madrasah-madrasah di beberapa Kota dan Desa di Minangkabau khususnya dan di
Indoesia pada umumnya.
Pada
tahap awal madrasah-madrasah yang ada di Sumatera Barat sebelum tahun 1931,
terkonsentrasi mengajarkan mata pelajaran agama. Perbedaannya dengan surau
adalah:
Madrasah memakai sistem klasikal. Kitab-kitab yang dibaca tidak selalu berpedoman pada kitab-kitab
klasik, akan tetapi memakai kitab-kitab baru, yaitu kitab-kitab yang diajarkan
di sekolah-sekolah Mesir.
Dimasukkan
dalam kurikulumnya sedikit pengatahuan umum seperti ilmu bumi dan menulis.
Pendidikan Islam hendaknya tidak dimaksukan untuk mengisi mental-spiritual anak
dengan pembinaan rohaniah semata, melainkan juga penguatan unsur jasmaniah
sehingga tercapai kebahagiaan utuh jasmani-rohani dan dunia-akhirat.
Islam mendorong keterlibatan aktif di dunia,
termasuk penyelidikan ilmiah atas alam yang membawa kemajuan teknologi.
Al-Banna percaya bahwa ajaran Islam tak bertentangan dengan capaian-capaian
ilmu pengetahuan, karena agama dan ilmu pengetahuan membahas tentang realitas
yang berbeda. Sikap ini menunjukkan kontinyuitas pemikiran reformis abad ke-19.
Dan pada konteks pembaruan Islam, sesungguhnya gagasan al-Banna tidak
menyimpang jauh dengan trend umum pembaruan yang lahir sekitar abad 18 sampai
awal abad 20-an.
Setelah
tahun 1931 madrasah mengalami modernisasi, yaitu dengan memasukkan mata
pelajaran umum ke madrasah. Hal ini dipelopori oleh pelajar-pelajar yang pulang
dari Mesir. Karena di Mesir mereka menerima pelajaran umum.
Madrasah
merupakan salah satu perwujudan hasrat umat Islam untuk melangkah pada dunia
yang disebut dengan alam kemajuan. Madrasah yang mula-mula memasukkan
pengetahuan umum dalam rencana pelajarannya adalah:
1. Al-Jamiah
Islamiyah di Sungayang Batusangkar, didirikan oleh Mahmud Yunus pada tanggal 20
Maret 1931. Al-Jamiah Islamiyah ini mempunyai tiga tingkatan:
- Ibtidaiyah, lama belajarnya
4 tahun. Pelajarannya:
Ilmu-ilmu agama, Bahasa Arab,
Pengetahuan Umum yang setingkat dengan Sekolah Schakel.
- Tsanawiyah, lama pelajarannya 4
tahun. Pelajarannya:
lmu-ilmu agama,
Bahasa Arab, Pengetahuan Umum yang setingkat dengan Normal School
Aliyah, lama belajarnya 4
tahun.
2. Normal
Islam (Kuliah Mu’allimin Islamiyah) didirikan oleh Persatuan Guru-guru Agama
Islam (PGAI) di Padang tanggal 1 April 1931 dan dipimpin oleh Mahmud Yunus.
3. Islamic
College, didirikan oleh Persatuan Muslim Indonesia (Permi) di Padang tanggal 1
Mei 1931, di pimpin oleh Mr. Abdul Hakim, kemudian digantikan oleh Mukhtar
Yahya.
Selain yang di atas,
berdiri pula madrasah-madrasah yang memasukkan pengetahuan umum dan pendidikan
dalam rencana palajarannya. Mata pelajaran umum dan agama di madrasah-madrasah
ini tidak sama dengan yang lain, ada yang memasukkan mata pelajaran umum 30%,
40%, dan ada juga yang memasukkan 50%. Madrasah itu misalnya adalah:
a. Training
College didirikan tahun 1934
b. Kuliah
Mubalighin?mubalighat
c. Kuliah
Muallimat Islamiyan didirikan tanggal 1 Februari
d. Kuliah
Dianah didirikan tahun 1940
e. Kuliah
Ulum
f. Kuliah
Syariah
g. Nasional
Islamic College
h. Modern
Islamic College.
Jadi
kesimpulannya adalah usaha-usaha pembaruan pendidikan Islam di Indonesia
dimulai pada awal abad kedua puluh. Dimotivasi oleh umat Islam baik dari dalam
diri umat Islam itu sendiri maupun dari luar umat Islam. Pembaruan pendidikan
Islam terkonsentrasi pada dua hal, yaitu sistem pendidikannya dan yang kedua
adalah pada materi pelajarannya. Sistem yang pada mulanya adalah nonklasikal
berubah menjadi sistem klasikal. Materi pelajarannya sebelum masuk ide-ide
pambaruan merupakan mata pelajaran agama saja dan berpedoman kepada kitab-kitab
klasik, menjadi berimbang antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.
Menurut
Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Islam Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru disebutkan :
Di
zaman modern ini, sistem lembaga pendidikan tinggi Islam harus diperbarui;
kurikulum harus ditingkatkan dengan memasukkan topic-topik beragam, berbobot
dan menarik. Beberapa aspek ajaran dan warisan Islam dapat dipandang sebagai
cabang pokok ilmu-ilmu humaniora, yang wilayah studinya mencakup: agama,
falsafah, etika, spiritualitas, sastra, seni, arkeologi, sejarah. Masing-masing
bidang studi tersebut dapat dijelaskan secara historis: awal, pertengahan,
klasik, modern, dan seterusnya.
Lembaga Pendidikan
Islam
Dengan
masuknya ide-ide pembaruan dalam bidang pendidikan, maka sistem dalam lembaga
pendidikan sebelum masuknya ide-ide pembaruan yang semula nonklasikal berubah
menjadi klasikal dilengkapi dengan manajemen pendidikan yang masih sederhana.
Metode mengajar guru yang semula adalah metode sorogan, wetonan dan
hafalan telah bervariasi sesuai dengan tuntutan sistem klasikal.
Cara sorogan ini
tentu lebih efektif daripada wetonan, karena kemampuan santri dapat
terkontrol oleh ustadz (kiai), akan tetapi tidak efisien karena memakan waktu
yang lama. Sedangkan wetonan lebih efisien tapi kurang efektif karena
tidak terkontrol langsung oleh pengajarnya. Akan tetapi, untuk kedua sistem
tersebut budaya tanggung jawab dan perdebatan tidak dapat tumbuh; terkadang
terjadi kesalahan yang diperbuat oleh sang kyai (ustadz) lantaran kantuk,
umpamanya, tidak pernah ada teguran atau kritik dari santri.
Materi
pelajaran yang semula adalah materi agama yang bertumpu pada kitab-kitab klasik
mulai dimasuki mata pelajaran nonkeagamaan. Secara kelembagaan, terutama
dalam konteks Indonesia, pembicaraan mengenai pendidikan Islam sebenarnya lebih
diwarnai oleh dua model pendidikan, yakni pendidikan dalam bentuk pesantren dan
pendidikan madrasah.
Pondok
pesantren adalah gabungan dari pondok dan pesantren. Istilah pondok mungkin
berasal dari kata funduk yang berasal dari bahasa Arab dan berarti
rumah penginapan. Akan tetapi dalam pesantren di Indonesia lebih mirip dengan
pemondokan dalam lingkungan padepokan (rumah sederhana yang dipetak-petak dalam
bentuk kamar-kamar yang digunakan sebagai asrama santri). Istilah pesantren
secara etimologi diartikan tempat santri. Jadi pondok pesantren bisa diartikan
yaitu lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta
mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam. Para pengamat dan peneliti
sering memberikan simpulan, santri dengan pesantrennya mempunyai kultur dan
tradisi yang khusus dan unik.
Sedangkan
madrasah dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan sebutan sekolah. Madrasah
sebagai nama dari sebuah lembaga pendidikan Islam baru populer setelah awal
abad kedua puluh. Madrasah adalah “sekolah umum yang bercirikan Islam”.
Pengertian ini menunjukkan bahwa dari segi materi kurikulum, madrasah
mengajarkan pengetahuan umum yang sama dengan sekolah-sekolah umum sederajat.
Hanya
saja yang membedakan madrasah dengan lembaga pendidikan umum adalah banyaknya
pengetahuan agama yang diberikan, sebagai ciri khas Islam atau sebagai lembaga
pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen Agama. Lahirnya lembaga ini
merupakan kelanjutan sistem pendidikan pesantren gaya lama, yang dimodifikasi
menurut model penyelenggaraan sekolah-sekolah umum dengan sistem klasikal.
Masuknya
ide-ide pembaruan pemikiran pendidikan Islam di Indonesia menginspirasi para
pembaru untuk mengadopsi nama madrasah sebagai nama sebuah lembaga
pendidikan Islam.
Salah
seorang pelajar Indonesia yang sedang belajar di Makkah adalah Haji Abdullah
Ahmad. Beliau lahir di Padang Panjang tahun 1878. Ia tertarik dengan penjabaran
pemikiran pembaruan melalui publikasi dengan jalan menjadi agen dari berbagai
majalah pembaruan. Ia tertarik mendirikan pendidikan yang sistematis, sebab
tidak semua anak-anak dari Padang Panjang dapat masuk sekolah-sekolah
pemerintah. Hal ini kemudian mendorongnya membuka sekolah Adabiyah, dengan
bantuan para pedagang pada tahun 1909.
Berhubung
karena kecilnya porsi pendidikan agama di sekolah ini sedangkan seluruh unsur
tradisional dalam waktu beberapa tahun saja ditinggalkan. Hal ini tidak
bisa diterima oleh masyarakat Minangkabau karena perubahan yang sangat cepat
itu.
Di
jawa, pada tahun 1914 didirikan Madrasah Taswirul Afkar yang didirikan oleh KHA
Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur. Pada mulanya madrasah ini hanya sebagai
tempat kursus, diskusi, dan musyawarah yang kemudian menjadi madrasah. Pada
tahun 1919 KH. Hasyim As’ary mendirikan Madrasah Salafiyah.
Beberapa
organisasi Islam pada awal abad kedua puluh banyak juga yang terlibat
mendirikan madrasah, misalnya Muhammadiyah yang didirikan oleh KHA Dahlan pada
tahun 1912, disamping mendirikan sekolah umum yang mengambil nama dari nama
sekolah Belanda, organisasi ini juga mendirikan madrasah.
Ada dua
jenis sekolah yang dibawah naungan Muhammadiyah. Pertama, sekolah umum
berbasis pelajaran umum dengan menambahkan mata pelajaran agama sebagai ciri
khas yang wajib diberikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Kedua, sekolah yang
berbasis ilmu-ilmu keagamaan, sekolah-sekolah ini yang kemudian digolongkan
kepada kelompok madrasah.
Dari
hal di atas dapat disimpulkan bahwa semangat dan ide pembaruan pendidikan Islam
yang muncul adalah suatu upaya untuk memperbarui sistem, metode, dan materi.
Kemudian pembaruan pada asasnya tidak bisa melepaskan diri dari sistem
pendidikan kolonial yang berlaku pada waktu itu. Dan terakhir adalah ide-ide
pembaruan belum seluruhnya dapat diterima oleh masyarakat muslim pada umumnya
dan terutama di kalangan ulama.
Ciri-ciri Pendidikan
Islam
Ada
beberapa indikasi pendidikan Islam sebelum dimasuki oleh ide-ide pembaruan:
1. Pendidikan
yang bersifat nonklasikal. Pendidikan ini tidak dibatasi waktunya, jadi
seseorang dapat tinggal di suatu pesantren kapanpun dia mau.
2. Mata
pelajaran adalah pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik dan
tidak diajarkan pelajaran umum. Seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan
kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar dari abad
pertengahan (abad ke-12 s/d abad ke-16).
3. Metode
yang digunakan adalah metode sorogan, wetonan, hafalan, dan
muzakarah.
4. Tidak
mementingkan ijazah sebagai tanda bukti seseorang telah selesai atau menamatkan
pelajarannya.
5. Kentalnya
hubungan antara santri dengan kyainya.
Indikasi terpenting
pendidikan Islam pada masa pembaruan adalah, pertama, dimasukkannya
mata pelajaran umum ke madrasah. Kedua, penerapan sistem klasikal
dengan segala kaitannya. Ketiga, ditata dan dikelola administrasi
sekolah dengan tetap berpegang pada prinsip manajemen pendidikan. Keempat,
lahirnya lembaga pendidikan Islam yang baru dan diberi nama madrasah.
Perkembangan
Organisasi Masyarakat
Pada awal abad
ke-20 dakwah Islam di Indonesia ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi
dakwah yang pada masa berikutnya berkembang menjadi organisasi masa (ormas)
Islam di antaranya: Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persatuan Islam
(Persis), Nahdhatul Ulama (NU), Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (Perti), Mathla’ul Anwar, Jam’iyyah Al-Washliyah, Nahdhatul Wathan
(NW), dan sebagainya. Kalau dilihat secara negatif, munculnya
organisasi-organisasi tersebut mencerminkan perpecahan umat Islam. Akan tetapi,
bila kita melihatnya melalui cara pandang yang benar, maka kita akan melihatnya
sebagai kekayaan dakwah Islam di Indonesia yang sangat luar biasa.
Dakwah Islam adalah dakwah yang komprehensif, mencakup
berbagai aspek dalam kehidupan manusia seperti ekonomi, kebudayaan, politik,
sosial, pendidikan, pemikiran, dan sebagainya. Selain itu, dakwah pun harus
menyentuh semua manusia di berbagai tempat. Demikian tuntutan dakwah Islam.
Bila cara pandang ini kita gunakan untuk melihat lahir dan berkembangnya
ormas-ormas Islam, maka kita akan mengerti bahwa keberadaan ormas-ormas
tersebut memang dibutuhkan dalam konteks dakwah Islam di Indonesia, sebab
setiap ormas lahir dengan kekhasan dakwah masing-masing. Kita lihat
contoh-contoh gerakan masing-masing dengan mainstream gerakannya.
Sarekat
Islam termasuk kelompok yang awal hadir. Organisasi ini didirikan pada tahun
1911. Penulis lain seperti Tamar Djaja malah berpendapat lahirnya lebih awal
lagi, yaitu tahun 1905. Pendirinya adalah H. Oemar Said Tjokroaminoto. Yang
menjadi perhatian mula-mula dari organisasi ini adalah masalah ekonomi umat
Islam. Saat itu, Belanda yang memonopoli ekonomi Indonesia memberikan hak-hak
ekonomi istimewa kepada para pedagang China. Sementara para pedagang Islam
banyak mendapatkan tekanan. Oleh sebab itu, organisasi ini kemudian didirikan.
Karena berkait dengan kebijakan politik-ekonomi, maka tidak bisa dihindarkan
bahwa kemudian Sarekat Islam banyak bergerak dalam bidang politik untuk
memperngaruhi kebijakan politik Pemerintah Hindia-Belanda terhadap umat Islam.
Bahkan yang diperjuangkan bukan hanya masalah kebijakan ekonomi, tetapi juga
kebijakan pendidikan, kesejahteraan sosial, dan sebagainya.
Pada
tahun 1912 Muhammadiyah lahir dari tantangan yang berbeda. Muhammadiyah di
Jogjakarta menghadapi Kristenisasi yang semakin intensif setelah diberlakukan
kebijakan Politik Etis Belanda sejak tahun 1900-an awal. Umumnya, orang-orang
Islam di-Kristenkan melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah), panti-panti
asuhan anak yatim, dan klinik-klinik kesehatan. Melihat kenyataan itu, Ahmad
Dahlan kemudian tergerak untuk membendung arus Kristenisasi ini dengan jurus
yang sama. Oleh sebab itu, segera melalui Muhammadiyah, didirikan sekolah-sekolah
Muhammadiyah dengan kurikulum tambahan pelajaran agama Islam, klinik-klinik
Muhammadiyah (PKO), dan panti-panti asuhan Muhammadiyah. Hingga saat ini
Muhammadiyah tercatat sebagai salah satu ormas Islam yang memiliki memiliki
lembaga pendidikan, rumah sakit, dan panti asuhan paling banyak di Indonesia
dibandingkan dengan ormas lainnya.
Pada
tahun 1914 lahir Al-Irsyad di Jakarta yang dipelopori oleh Ahmad Soorkati.
Organisasi ini berjasa besar dalam mempersatukan etnik Arab dengan etnik lain
di Indonesia seperti Jawa, Sunda, dan lainnya atas dasar Islam. Dalam hal ini
Al-Irsyad telah berhasil memperlihatkan bahwa sekalipun keturunan Arab secara
etnik berbeda dengan Jawa, Sunda, Batak, dan lainnya, namun dengan berpegang
pada Islam semuanya dapat menjadi satu di tempat yang sama, yaitu Indonesia.
Al-Irsyad telah berhasil berdakwah kea rah sana di kalangan keturunan Arab.
Selain itu, melalui Al-Irsyad banyak guru-guru bahasa Arab yang diundang
langsung untuk mengajarkan Bahasa Al-Quran dan hadis ini kepada masyarakat
Indonesia sehingga umat Islam Indonesia menjadi tidak lagi asing pada bahasa
Rasulullah Saw. ini.
Tahun
1923 berdiri Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Organisasi yang diberi warna
tersendiri oleh tokoh asal Singapura bernama Ahmad Hassan ini juga memiliki
posisi khusus dalam konteks dakwah Islam di Indonesia. Pilihan wilayah garapan
dakwah Persis adalah pada bidang pemikiran Islam dan dakwah bil-kitâbah. Di antara ormas-ormas Islam
baru, Persis adalah yang mula-mula memperkenalkan cara belajar Islam lebih
mudah, yaitu melalui bahasa Melayu (Indonesia). Sebelumnya, untuk belajar Islam
orang harus mempelajarinya dari kitab-kitab berbahasa Arab. Tapi di tangan
Persis, dipelopori belajar Islam dari Al-Quran dan hadis tapi dengan pengantar
Bahasa Indonesia (Melayu). Majalah yang diterbitkan Persis, Al-Lisaan adalah majalah pertama yang
isinya kajian tafsir, hadis, fikih, sejarah Islam, dan kajian Islam lainnya.
Persis juga ormas yang pertama menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa
Indonesia; juga hadis ke dalam bahasa Indonesia (Bulûghul Maram). Cara-cara Persis
ini kemudian menginspirasi banyak lembaga dakwah lain untuk memudahkan belajar
Islam bagi kalangan awam di negeri ini.
Tahun
1926 berdiri ormas terbesar, Nahdhatul Ulama (NU) di Surabaya. Sekalipun lahir
belakangan, namun sebetulnya peran para eksponen NU telah hadir lebih awal dari
semua ormas Islam di atas. Berdirinya NU adalah untuk mengikat para ulama dari
pondok-pondok pesantren yang ada seluruh Indonesia. Sampai hari ini, NU masih tetap
merupakan representasi kaum santri dari pesantren yang memperjuangkan tetap
dipertahankannya tradisi pengkajian ilmu-ilmu Islam di pondok-pondok pesantren
yang sudah ada sejak zaman Wali Songo dahulu. Kita semua tahu bahwa transmisi
ilmu-ilmu Islam dari para ulama sejak zaman dahulu hingga hari ini masih dijaga
baik oleh para ulama dan kiai di pesantren-pesantren. Berbagai disiplin ilmu
Islam seperti fikih, hadis, tafsir, kalam, bahasa Arab, ilmu akhlak dan
tasawuf, berkembang di pesantren-pesantren ini. Seandainya pesantren-pesantren
tidak ada dan tidak terpelihara, ilmu-ilmu tersebut mungkin sudah punah di
negeri ini. Padahal, ilmu-ilmu tersebut sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu,
berdirinya NU telah ikut menjaga ilmu-ilmu Islam dari kepunahan dengan menghimpun
pesantren-pesantren agar berani mempertahankan misi lembaga yang mereka
besarkan.
Ormas-ormas
Islam itu secara label banyak yang berjejaring nasional. Akan tetapi pada
kenyataannya, lahan dakwah yang digarap lebih luas daripada kemampuan ormas-ormas
itu untuk menjangkaunya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila kemudian di
berbagai daerah muncul juga ormas-ormas yang lain dengan aksentuasi kedaerahan
yang khas. Misalnya di Sumatera Barat muncul PERTI (Persatuan Tarbiyah
Islamiyah), di Medan berdiri Al-Washliyyah, di Nusa tenggara Barat berdiri
Nahdhatul Wathan (NW), di Palu Sulawesi Tengah berdiri Al-Khairaat, dan di
Banten berdiri Mathla’ul Anwar. Al-Ittihad Islamiyah (AII) yang didirikan K.H.
Ahmad Sanusi di Sukabumi dan Persarikatan Ulama yang didirikan oleh K.H. Abdul
Halim di Majalengka tahun 1930-an digabungkan menjadi Persatuan Umat Islam
(PUI). Semua organisasi yang berdiri pada paruh pertama abad ke-20 tersebut
masih bertahan sampai sekarang dengan garapan masing-masing.
Organisasi kemasyarakatan Islam atau sering disebut Ormas
Islam sungguh merupakan pilar penting dan strategis di negeri tercinta ini.
Lebih-lebih bagi Ormas Islam tertua yang telah menyertai perjalanan sejarah
bangsa ini. Sebutlah Sarekat Islam, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Nahdlatul
Ulama, dan lain-lain yang telah berdiri jauh sebelum Republik Indonesia lahir.
Kiprah gerakan Islam tersebut kendati berbeda orientasi dan aktivitasnya
sangatlah nyata. dan secara monumental telah menorehkan tinta emas dalam
perjalanan umat dan bangsa tercinta ini.
Seperti apa sejarah kelahiran gerakan Islam pada masa
penjajahan Belanda dan eksistensinya hingga saat ini ? Artikel selanjutnya
mengupas tentang sejarah kelahiran gerakan-gerakan Islam diantaranya
Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan NU.
Sejarah Kelahiran
Gerakan-gerakan Islam di Indonesia
Sejarah Muhammadiyah
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18
November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah
kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan
perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri
berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh
seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan
atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi
Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan
(menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan
nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai
berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung
organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad
saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam
sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar
supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan
demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan
umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal
berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan
amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi
pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang
kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di
Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada
ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari
Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai
Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru
Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta
interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para
pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri
Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide
dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi
untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai
Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama
yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan
itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl
Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler,
yang sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang
dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi
agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban,
ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya
diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama
Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang
kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai
Dahlan setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan
untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi
sebagaimana tradisi kyai atau dunia pesantren.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut
selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut
Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan
memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada
1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah”
(kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai
Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama
Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi
Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta
tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang
tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu
itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan
menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara
baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan
dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah
organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan
pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten
Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang
kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914.
Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan
ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal
Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, ”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun
lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di
Yogyakarta”. Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran
Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk
Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal Igama kepada
anggauta-anggautanya.”
Terdapat hal menarik, bahwa kata ”memajukan” (dan sejak
tahun 1914 ditambah dengan kata ”menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan
Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam ”Statuten
Muhammadiyah” pada periode Kyai Dahlan hingga tahun 1946 (yakni: Statuten
Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan
Tahun 1941). Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu:
1. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia
Nederland,
2. dan Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan
agama Islam kepada lid-lidnya.
Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang
sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat
Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran
Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran
Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk
mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang
maju dan menggembirakan.
Pada AD Tahun 1946 itulah pencantuman tanggal Hijriyah (8
Dzulhijjah 1330) mulai diperkenalkan. Perubahan penting juga terdapat pada AD
Muhammadiyah tahun 1959, yakni dengan untuk pertama kalinya Muhammadiyah
mencantumkan ”Asas Islam” dalam pasal 2 Bab II., dengan kalimat, ”Persyarikatan
berasaskan Islam”. Jika didaftar, maka hingga tahun 2005 setelah Muktamar ke-45
di Malang, telah tersusun 15 kali Statuten/Anggaran Dasar Muhammadiyah, yakni
berturut-turut tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950 (dua kali
pengesahan), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Asas Islam pernah
dihilangkan dan formulasi tujuan Muhammadiyah juga mengalami perubahan pada tahun
1985 karena paksaan dari Pemerintah Orde Baru dengan keluarnya UU Keormasan
tahun 1985. Asas Islam diganti dengan asas Pancasila, dan tujuan Muhammadiyah
berubah menjadi ”Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan
menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan
makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala”. Asas Islam dan tujuan
dikembalikan lagi ke ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dalam AD
Muhammadiyah hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta.
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu
melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya,
yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah
Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan,
sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan
Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam
lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat
Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui
tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah,
mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan
mengembalikan kepada sumbernya yang aseli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang
Shakhih, dengan membuka ijtihad.
Mengenai langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis
lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman, Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan
hasil temuan penelitiannya sebagai berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan
ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah,
membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan
kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam,
ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.”.
Adapun langkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” ialah
dalam merintis pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum.
Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori Kyai Dahlan, merupakan
pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga
dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern
tanpa terpecah kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36). Lembaga pendidikan Islam
”modern” bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah,
yang membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu. Pendidikan Islam
“modern” itulah yang di belakang hari diadopsi dan menjadi lembaga pendidikan
umat Islam secara umum.
Langkah ini pada masa lalu merupakan gerak pembaruan yang
sukses, yang mampu melahirkan generasi terpelajar Muslim, yang jika diukur
dengan keberhasilan umat Islam saat ini tentu saja akan lain, karena konteksnya
berbeda.
Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari Kyai Dahlan
dapat dirujuk pada pemahaman dan pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan
pelajaran tentang Surat Al-Maun, merupakan contoh lain yang paling monumental
dari pembaruan yang berorientasi pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian
melahirkan lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKU). Langkah momumental ini
dalam wacana Islam kontemporer disebut dengan ”teologi transformatif”, karena
Islam tidak sekadar menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah dan ”hablu min
Allah” (hubungan dengan Allah) semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam
memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia. Inilah ”teologi amal”
yang tipikal (khas) dari Kyai Dahlan dan awal kehadiran Muhammadiyah, sebagai
bentuk dari gagasan dan amal pembaruan lainnya di negeri ini.
Kyai Dahlan juga peduli dalam memblok umat Islam agar
tidak menjadi korban misi Zending Kristen, tetapi dengan cara yang cerdas dan
elegan. Kyai mengajak diskusi dan debat secara langsung dan terbuka dengan
sejumlah pendeta di sekitar Yogyakarta. Dengan pemahaman adanya kemiripan
selain perbedaan antara Al-Quran sebagai Kutab Suci umat Islam dengan
kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai Dahlan menganjurkan atau mendorong ”umat
Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang
inheren dalam ajaran-ajarannya”, sehingga Kyai pendiri Muhammadiyah ini
misalnya beranggapan bahwadiskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di
masjid (Jainuri, 2002: 78) .
Kepeloporan pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi tonggak
berdirinya Muhammadiyah juga ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan
‘Aisyiyah tahun 1917, yang ide dasarnya dari pandangan Kyai agar perempuan
muslim tidak hanya berada di dalam rumah, tetapi harus giat di masyarakat dan
secara khusus menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan kaum perempuan.
Langkah pembaruan ini yang membedakan Kyai Dahlan dari pembaru Islam lain, yang
tidak dilakukan oleh Afghani, Abduh, Ahmad Khan, dan lain-lain (mukti Ali,
2000: 349-353). Perintisan ini menunjukkan sikap dan visi Islam yang luas dari
Kyai Dahlan mengenai posisi dan peran perempuan, yang lahir dari pemahamannya
yang cerdas dan bersemangat tajdid, padahal Kyai dari Kauman ini tidak
bersentuhan dengan ide atau gerakan ”feminisme” seperti berkembang sekarang
ini. Artinya, betapa majunya pemikiran Kyai Dahlan yang kemudian melahirkan
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam murni yang berkemajuan.
Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya,
menurut Djarnawi Hadikusuma (t.t: 69) telah menampilkan Islam sebagai ”sistem
kehidupan mansia dalam segala seginya”. Artinya, secara Muhammadiyah bukan
hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi merupakan
suatu keseluruhan yang menyangut akhlak dan mu’amalat dunyawiyah. Selain itu,
aspek aqidah dan ibadah pun harus teraktualisasi dalam akhlak dan mu’amalah,
sehingga Islam benar-benar mewujud dalam kenyataan hidup para pemeluknya.
Karena itu, Muhammadiyah memulai gerakannya dengan meluruskan dan memperluas
paham Islam untuk diamalkan dalam sistem kehidupan yang nyata.
Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat
mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus
mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak
taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan
menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir
teoritik dan sekaligus beripiki praktik (K.R. H. Hadjid, 2005). Kyai Dahlan
tidak ingin umat Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan
hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang
sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad.
Dalam memahami Al-Quran, dengan kasus mengajarkan Surat
Al-Ma’un, Kyai Dahlan mendidik untuk mempelajari ayat Al-Qur’an satu persatu
ayat, dua atau tiga ayat, kemudian dibaca dan simak dengan tartil serta
tadabbur (dipikirkan): ”bagaimanakah artinya? bagaimanakah tafsir
keterangannya? bagaimana maksudnya? apakah ini larangan dan apakah kamu sudah
meninggalkan larangan ini? apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? sudahkah
kita menjalankannya?” (Ibid: 65). Menurut penuturan Mukti Ali, bahwa model
pemahaman yang demikian dikembangkan pula belakangan
oleh KH.Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas dan mendalam
ilmu agamanya, lulusan Al-Azhar Cairo, cerdas pemikirannya sekaligus luas
pandangannya dalam berbagai masalah kehidupan.
Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan
pembaruan dari pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas
pergumulannya dalam menghadapi kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat
Indonesia kala itu, yang juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara
lain:
1. Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga
menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat
Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula
agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi;
2. Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak
tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
3. Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir
kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
4. Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid
buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme,
dan tradisionalisme;
5. dan Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh
agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di
Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat (Junus Salam,
1968: 33).
Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah
adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan
Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi
doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi
ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari
pengaruh dan serangan luar (H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar
Nashir, 1990: 332).
Kendati menurut sementara pihak Kyai Dahlan tidak
melahirkan gagasan-gagasan pembaruan yang tertulis lengkap dan tajdid
Muhammadiyah bersifat ”ad-hoc”, namun penilaian yang terlampau akademik
tersebut tidak harus mengabaikan gagasan-gagasan cerdas dan kepeloporan Kyai
Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, yang untuk ukuran kala itu dalam
konteks amannya sungguh merupakan suatu pembaruan yang momunemntal. Ukuran saat
ini tentu tidak dapat dijadikan standar dengan gerak kepeloporan masa lalu dan
hal yang mahal dalam gerakan pembaruan justru pada inisiatif kepeloporannya.
Kyai Dahlan dengn Muhammadiyah yang didirikannya
terpanggil untuk mengubah keadaan dengan melakukan gerakan pembaruan. Untuk
memberikan gambaran lebih lengkap mengenai latarbelakang dan dampak dari
kelahiran gerakan Muhammadiyah di Indonesia, berikut pandangan James Peacock
(1986: 26), seorang antropolog dari Amerika Serikat yang merintis penelitian
mengenai Muhammadiyah tahun 1970-an, bahwa: ”Dalam setengah abad sejak
berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara, pergerakan itu tumbuh dengan cara
yang berbeda di bermacam macam daerah. Hanya di Indonesia saja gerakan
pembaharuan Muslimin itu menjadi kekuatan yang besar dan teratur. Pada
permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah pergerakan kecil kecil, pembaharuan di
Indonesia bergabung menjadi beberapa gerakan kedaerahan dan sebuah pergerakan
nasional yang tangguh, Muhammadiyah. Dengan beratus-ratus cabang di seluruh
kepulauan dan berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh negeri,
Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di
Asia Tenggara. Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang murni,
Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang besar di bidang
kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah
piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah
sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan
keagamaan swasta yang utama di Indonesia. ‘Aisyiah, organisasi wanitanya,
mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di dunia. Pendek kata
Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan terkuat di negara
terbesar kelima di dunia.”
Kelahiran Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan
memiliki inspirasi pada Islam yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis
sekaligus memiliki konteks dengan keadaan hidup umat Islam dan masyarakat
Indonesia yang berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah
sungguh telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi
pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk
beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya
ditampilkan secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli
yakni Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk
mengubah kehidupan manusia dari serba ketertinggalan menuju pada dunia
kemajuan.
Fenomena baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran
Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan Islam yang murni dan berkemajuan itu
dihadirkan bukan lewat jalur perorangan, tetapi melalui sebuah sistem organisasi.
Menghadirkan gerakan Islam melalui organisasi merupakan terobosan waktu itu,
ketika umat Islam masih dibingkai oleh kultur tradisional yang lebih
mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti lembaga pesantren dengan peran
kyai yang sangat dominan selaku pemimpin informal. Organisasi jelas merupakan
fenomena modern abad ke-20, yang secara cerdas dan adaptif telah diambil oleh
Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat, instrumen) untuk mewujudkan cita-cita
Islam.
Mem-format gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks
kelahiran Muhammadiyah, juga bukan semata-mata teknis tetapi juga didasarkan
pada rujukan keagmaan yang selama ini melekat dalam alam pikiran para ulama
mengenai qaidah “mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib”, bahwa jika
suatu urusan tidak akan sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi
wajib adanya. Lebih mendasar lagi, kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
melalui sistem organisasi, juga memperoleh rujukan teologis sebagaimana
tercermin dalam pemaknaan/penafsiran Surat Ali Imran ayat ke-104, yang
memerintahkan adanya “sekelompok orang untuk mengajak kepada Islam, menyuruh
pada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar”. Ayat Al-Qur‘an tersebut di
kemudian hari bahkan dikenal sebagai ”ayat” Muhammadiyah.
Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran
104 tersebut ingin menghadirkan Islam bukan sekadar sebagai ajaran
“transendensi” yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata.
Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidup. Apalagi
Islam yang murni itu sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi
Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam
dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba
kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala
kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit yang Membumi,
yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau Modernisme Islam di
Indonesia.
SEJARAH PERHIMPUNAN AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH
Perhimpunan Al-Irsyad
Al-Islamiyyah (Jam’iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri pada 6
September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah
Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru
dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.
Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-’Alamah
Syeikh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari
Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke Indonesia atas permintaan
perkumpulan Jami’at Khair -yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari
orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905.
Nama lengkapnya adalah SYEIKH AHMAD BIN MUHAMMAD ASSOORKATY AL-ANSHARY.
Al-Irsyad adalah organisasi Islam nasional. Syarat
keanggotaannya, seperti tercantum dalam Anggaran Dasar Al-Irsyad adalah: “Warga
negara Republik Indonesia yang beragama Islam yang sudah dewasa.” Jadi tidak
benar anggapan bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi warga keturunan Arab.
Perhimpunan Al-Irsyad mempunyai sifat khusus, yaitu
Perhimpunan yang berakidah Islamiyyah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, di bidang pendidikan, pengajaran, serta social dan dakwah
bertingkat nasional. (AD, ps. 1 ayat 2).
Perhimpunan ini adalah
perhimpunan mandiri yang sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan organisasi
politik apapun juga, serta tidak mengurusi masalah-masalah politik praktis (AD,
ps. 1 ayat 3).
Syekh Ahmad Surkati tiba di Indonesia bersama dua
kawannya: Syeikh Muhammad Tayyib al-Maghribi dan Syeikh Muhammad bin Abdulhamid
al-Sudani. Di negeri barunya ini, Syeikh Ahmad menyebarkan ide-ide baru dalam
lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Syeikh Ahmad Surkati diangkat sebagai
Penilik sekolah-sekolah yang dibuka Jami’at Khair di Jakarta dan Bogor.
Berkat kepemimpinan dan bimbingan Syekh Ahmad Surkati,
dalam waktu satu tahun, sekolah-sekolah itu maju pesat. Namun Syekh Ahmad
Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami’at Khair karena perbedaan paham yang
cukup prinsipil dengan para penguasa Jami’at Khair, yang umumnya keturunan Arab
sayyid (alawiyin).
Sekalipun Jami’at Khair tergolong organisasi yang
memiliki cara dan fasilitas moderen, namun pandangan keagamaannya, khususnya
yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para
pemuka Jami’at Khair dengan kerasnya menentang fatwa Syekh Ahmad tentang kafaah
(persamaan derajat).
Karena tak disukai lagi, Syekh Ahmad memutuskan mundur
dari Jami’at Khair, pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Dan di hari itu
juga Syekh Ahmad bersama beberapa sahabatnya mendirikan Madrasah Al-Irsyad
Al-Islamiyyah, serta organisasi untuk menaunginya: Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad
al-Arabiyah (kemudian berganti nama menjadi Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad
al-Islamiyyah).
Setelah tiga tahun berdiri, Perhimpunan Al-Irsyad mulai
membuka sekolah dan cabang-cabang organisasi di banyak kota di Pulau Jawa.
Setiap cabang ditandai dengan berdirinya sekolah (madrasah). Cabang pertama di
Tegal (Jawa Tengah) pada 1917, dimana madrasahnya dipimpin oleh murid Syekh
Ahmad Surkati angkatan pertama, yaitu Abdullah bin Salim al-Attas. Kemudian
diikuti dengan cabang-cabang Pekalongan, Cirebon, Bumiayu, Surabaya, dan
kota-kota lainnya.
Al-Irsyad di masa-masa awal kelahirannya dikenal sebagai
kelompok pembaharu Islam di Nusantara, bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam
(Persis). Tiga tokoh utama organisasi ini: Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, dan
Ahmad Hassan (A. Hassan), sering disebut sebagai “Trio Pembaharu Islam
Indonesia.” Mereka bertiga juga berkawan akrab. Malah menurut A. Hassan,
sebetulnya dirinya dan Ahmad Dahlan adalah murid Syekh Ahmad Surkati, meski tak
terikat jadwal pelajaran resmi.
Namun demikian, menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper,
yang benar-benar merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan ada
persamaannya dengan gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan
Al-Irsyad. Sedang Muhammadiyah, kata Pijper, sebetulnya timbul sebagai reaksi
terhadap politik pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu yang berusaha untuk
menasranikan orang Indonesia.
Muhammadiyah lebih banyak peranannya pada pembangunan
lembaga-lembaga pendidikan. Sedang Al-Irsyad, begitu lahir seketika terlibat
dengan berbagai masalah diniyah. Ofensif Al-Irsyad kemudian telah
menempatkannya sebagai pendobrak, hingga pembinaan organisasi agak tersendat.
Al-Irsyad juga terlibat dalam permasalahan di kalangan keturunan Arab, hingga
sampai dewasa ini ada salah paham bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi para
keturunan Arab.
Al-Irsyad juga berperan penting sebagai pemrakarsa
Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, bersama Syarekat Islam dan Muhammadiyah.
Sejak itu pula, Syekh Ahmad Surkati bersahabat dekat dengan H. Agus Salim dan
H.O.S. Tjokroaminoto. Al-Irsyad juga aktif dalam pembentuan MIAI (Majlis Islam ‘A’laa
Indonesia) di zaman pendudukan Jepang, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI)
dan lain-lain, sampai juga pada Masyumi, Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI)
dan Amal Muslimin.
Di tengah-tengah suasana Muktamar Islam di Cirebon,
diadakan perdebatan antara Al-Irsyad dan Syarekat Islam Merah, dengan tema:
“Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamisme kah atau Komunisme?”
Al-Irsyad diwakili oleh Syekh Ahmad Surkati, Umar Sulaiman Naji dan Abdullah
Badjerei, sedang SI Merah diwakili Semaun, Hasan, dan Sanusi.
Selaku penganut paham Pan Islam, tentu Syekh Ahmad
Surkati bertahan dengan Islamisme. Semaun berpendirian, hanya dengan komunisme
lah Indonesia bisa merdeka. Dua jam perdebatan berlangsung, tidak ditemukan
titik temu. Namun Syekh Ahmad Surkati ternyata menghargai positif pendirian
Semaun. “Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh dan jujur
bahwa hanya dengan komunisme lah tanah airnya dapat dimerdekakan!”
Peristiwa ini sekaligus membuktikan bahwa para pemimpin
Al-Irsyad pada tahun 1922 sudah berbicara masalah kemerdekaan Indonesia!
Seperti yang diajarkan Muhammad Abduh di Mesir, Al-Irsyad
mementingkan pelajaran Bahasa Arab sebagai alat utama untuk memahami Islam dri
sumber-sumber pokoknya. Dalam sekolah-sekolah Al-Irsyad dikembangkan jalan
pikiran anak-anak didik dengan menekankan pengertian dan daya kritik. Tekanan
pendidikan diletakkan pada tauhid, fikih, dan sejarah.
Sejak didirikannya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah bertujuan
memurnikan tauhid, ibadah dan amaliyah Islam. Bergerak di bidang pendidikan dan
dakwah. Untuk merealisir tujuan ini, Al-Irsyad sudah mendirikan ratusan sekolah
formal dan lembaga pendidikan non-formal di seluruh Indonesia. Dan dalam
perkembangannya kemudian, kegiatan Al-Irsyad juga merambah bidang kesehatan,
dengan mendirikan beberapa rumah sakit. Yang terbesar saat ini adalah RSU
Al-Irsyad di Surabaya dan RS Siti Khadijah di Pekalongan.
Tercatat banyak lulusan Al-Irsyad, baik dari kalangan
keturunan Arab maupun non-Arab yang telah memainkan peran penting di berbagai
bidang. Lulusan pribumi yang turut berperan penting dalam modernisme Islam di
Indonesia antara lain:
Yunus Anis: Alumnus Al-Irsyad
yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang menonjol dari Gerakan Muhammadiyah.
Ia mendapat kehormatan dijuluki “tulang punggung Muhammadiyah” karena
pengabdiannya sebagai sekretaris jenderal di organisasi tersebut selama 25
tahun.
Prof. Dr. T.M. Hasby As-Shiddique: Putera asli Aceh,
penulis terkenal dalam masalah hadist, tafsir, dan fikih Islam moderen. Guru
besar di IAIN Yogyakarta ini bahkan pernah menjabat Rektor Universitas
Al-Irsyad di Solo (sekarang sudah tutup)
Prof. Kahar Muzakkir: Berasal dari
Yogyakarta. Lulus dari Madrasah Al-Irsyad, Kahar Muzakkir melanjutkan studinya
di Dar al-Ulum di Kairo. Ia sangat aktif berjuang untuk kemerdekaan Indonesia
dan termasuk penandatangan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kemudian ia menjadi
Rektor Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
Muhammad Rasjidi: Menteri Agama
Republik Indonesia yang pertama, berasal dari Yogyakarta. Ia pernah menjadi
professor di McGill University di Montreal, Kanada, dan juga mengajar di
Universitas Indonesia, Jakarta. Semasa hidupnya menulis banyak buku.
Prof. Farid Ma’ruf: Asli Yogyakarta,
profesor di IAIN, yang juga salah satu tokoh besar Muhammadiyah di awal-awal
berdirinya. Lulusan Madrasah Al-Irsyad ini sempat menjabat Direktur Jenderal
Urusan Haji di Departemen Agama.
Al-Ustadz Umar Hubeis: Jabatan pertamanya
adalah sebagai Direktur Madrasah Al-Irsyad Surabaya. Di waktu yang bersamaan ia
aktif di Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Umar Hubeis bahkan pernah
menjadi anggota DPR mewakili Masyumi. Ia juga menjadi professor di Universitas
Airlangga, Surabaya. Semasa ia hidupnya beliau juga menulis beberapa buku,
terutama fikih. Yang terkenal adalah Kitab FATAWA.
Said bin Abdullah bin Thalib al-Hamdani: Lulusan Al-Irsyad
Pekalongan ini sangat menguasai fikih dan menjadi professor di Fakultas Syariah
IAIN Yogyakarta. Ia juga menulis buku-buku fikih. Di kalangan cendekiawan dan
intelektual Islam Indonesia, ia dijuluki Faqih Al-Irsyadiyin (cendekiawan
terkemuka di bidang hokum Islam dari Al-Irsyad). Sayang kebanyakan bukunya yang
umumnya ditulis dalam bahasa Arab, belum diterjemahkan.
Abdurrahman Baswedan: Pendiri Partai Arab
Indonesia (PAI) dan aktifis Masyumi ini pernah menjadi Wakil Menteri Penerangan
RI.
Namun perkembangan Al-Irsyad yang awalnya naik pesat,
kemudian menurun drastic bersamaan dengan masuknya pasukan pendudukan Jepang ke
Indonesia. Apalagi setelah Syekh Ahmad Surkati wafat pada 1943, dan revolusi
fisik sejak 1945. Banyak sekolah Al-Irsyad hancur, diporak-porandakan Belanda
karena menjadi markas laskar pejuang kemerdekaan. Sementara beberapa gedung
milik Al-Irsyad yang dirampas Belanda, sekarang berpindah tangan, tanpa bisa
diambil lagi oleh Al-Irsyad.
Sampai 1985, Al-Irsyad tinggal memiliki 14 cabang, yang
seluruhnya berada di Jawa. Namun berkat kegigihan para aktifisnya yang sudah
menyebar ke seluruh pelosok Nusantara, Al-Irsyad berkembang kembali, sejak
1986. Puluhan cabang baru berdiri. Dan kini tercatat sekitar 130 cabang, dari
Sumatera ke Papua.
Di awal berdirinya di tahun 1914, Perhimpunan Al-Irsyad
Al-Islamiyyah dipimpin oleh ketua umum Salim Awad Balweel.
Dalam Muktamar terakhir di Bandung (2000), yang dibuka Presiden
Abdurrahman Wahid di Istana Negara pada 3 Juli 2000, terpilih Ir. H. Hisyam
Thalib sebagai ketua umum baru, menggantikan H. Geys Amar SH yang telah
menjabat posisi itu selama empat periode (1982-2000).
Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki empat organ
aktif yang menggarap segmen anggota masing-masing. Yaitu Wanita Al-Irsyad,
Pemuda Al-Irsyad, Puteri Al-Irsyad, dan Pelajar Al-Irsyad. Peran masing-masing
organisasi yang tengah menuju otonomisasi ini (sesuai amanat Muktamar 2000),
cukup besar bagi bangsa. Pemuda Al-Irsyad misalnya, ikut aktif menumpas
pemberontakan G-30-S PKI bersama komponen bangsa lainnya. Sedang Pelajar
Al-Irsyad termasuk salah satu eksponen 1966 yang ikut aktif melahirkan KAPPI
(Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia).
Di luar empat badan otonom tersebut, Al-Irsyad
Al-Islamiyyah memiliki majelis-majelis, yaitu Majelis Pendidikan &
Pengajaran, Majelis Dakwah, Majelis Sosial dan Ekonomi, Majelis Awqaf dan
Yayasan, dan Majelis Hubungan Luar Negeri. Di luar itu ada pula Lembaga
Istisyariyah, yang beranggotakan tokoh-tokoh senior Al-Irsyad dan kalangan
ahli).
Sejarah Persatuan Islam
Tampilnya jam’iyyah
Persatuan islam (Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20
telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persis
lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam
dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme
yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik,
rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan
kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. Situasi demikian
kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformasi” Islam, yang pada gilirannya,
melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indinesia
untuk melakukan pembaharuan Islam.
Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu
kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh
H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah,
berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat
kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan
karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal
1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang
diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud
untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk
mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita
organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan
suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman
Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu
sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah
kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh
Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Tujuan dan Aktifitas
Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada
faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas
diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah,
kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan
majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya.
Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala
aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan
jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang
dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari
pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari
Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian
menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela
Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah
At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948),
majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah
yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan,
kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak
digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun
permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam
lainnya, serta masyarakat luas.
Kepemimpinan Persatuan
Islam
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di
bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir
yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan
menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan
Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan
anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan
pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca
kemerdekaan. Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system
organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi
tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua
diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960),
K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll. Pada
masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil;
pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi
terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan
negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad
Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982)
yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun
persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan
seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus
Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E.
Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H.
Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh
Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada
masa ini terdapat perbedaan yang ckup mendasar: jika pada awal berdirinya
Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy
paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive
edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
Persatuan Islam Masa
Kini
Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan
kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan
Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi
meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam
terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU
Kilas Sejarah Seputar
Pendirian NU; Dukungan KH Kholil Bangkalan terhadap KH. Hasyim Asy’ari
Artikel ini dikutip dari buletin Nahdliyah yang
diterbitkan PCNU Pasuruan edisi 1 dan 2 September dan Oktober 2006. Artikel ini
dimuat kembali agar generasi muda NU dan simpatisannya semakin memahami NU dan
mempertebal keimanan Ahlussunnah wal Jamaahnya.
Ada tiga orang tokoh
ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah
Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai
Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari
Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya
sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang
kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada
beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH.
Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada
Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim
diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai
Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga
menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab,
Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya
NU.
Keresahan Kiai Hasyim
Bermula dari keresahan
batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta
saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah /
organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan
pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai
dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil
keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan,
juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh
lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari
forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di
Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini
dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap
gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang
praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi
Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu
meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama
pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai
Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan
yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia
mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang
guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang
berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang
santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad
Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.
Tongkat “Musa”
“Saat ini Kiai Hasyim
sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil
kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Setelah memberikan
tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil
kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah berfirman:
”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah
tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk
kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman:
“Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba
ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah
ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan
kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang
tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu
sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil
memberikan dua keping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke
Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui
Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.
Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan
kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di
sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu
teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai
Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad
merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai
Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh
Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya
menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan.
Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah
selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan
lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad.
Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan
kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan
apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah.
Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa
sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta
mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah
dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi
Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil
Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin
Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui
Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke
Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa
menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab
langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama
penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie
tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk
berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya
berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau
butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai
dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama.
Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat
kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga.
Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh
Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu”
yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman
Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai,
saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil
menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya
Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian
tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang
diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih
memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan
bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak
terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki
arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak
bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama,
tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa
dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini
biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan
musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu,
tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian,
sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang
diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H,
“jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama
(NU).
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang
diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat
lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar
bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap
Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini
sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk
meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar
lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai
Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai
Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,”
papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai
Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan
sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain
itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya
dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat
pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.
Bapak Spiritual
Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses
pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran
lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu
peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar,
Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal
Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat,
konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada
Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan
kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang
tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu
pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya.
Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat
ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn
Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki
oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas
yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun
memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan
haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi.
Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits
Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai
(isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.
Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah
kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah
seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai
Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih
Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya
itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini
merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan integritas
Kiai Hasyim.
Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai
Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran
tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya
gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat.
Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al
Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam
berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.
Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga
kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan
kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan
secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:
“Barangsiapa mengaku
dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW,
orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”
Lebih tegas beliau
menyatakan:
“Orang yang mengaku
dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya
melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan sir
al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas Allah
Ta’ala.”
Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim,
para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga
bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar,
2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi
yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal
dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian
kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang
perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari.
Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang
mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di
kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai
Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit,
mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.
Wallahu a’lam.
Penulis: Moh. Syaiful
Bakhri
Penulis buku “Syaikhona
Cholil Bangkalan: Ulama Legendaris dari Madura” dan sekretaris Lajnah Ta’lif
Wan Nasr NU Kabupaten Pasuruan. Pemuatan artikel ini juga merupakan
penghormatan dan dukungan moril kepada PCNU Kab. Pasuruan yang berusaha
mendorong terciptanya masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlakul karimah
dengan menerbitkan buletin dua bulanan. Semoga usaha penerbitan ini bisa
istiqamah.
Riwayat Perjuangan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’
Jam’iyyah Nahdlatul
Ulama’ Lahir
Setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka
lakukan pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka
mengubah nama negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya
dari raja mereka yang pertama, Ibnu Sa’ud, mereka mengadakan
perombakan-perombakan secara radikal terhadap tata cara kehidupan masyarakat.
Tata kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara yang dianut oleh
golongan Wahabi, yang antara lain adalah ingin melenyapkan semua batu nisan
kuburan dan meratakannya dengan tanah.
Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia
yang banyak bermukim di negeri Hejaz, yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah,dengan memilih salah satu dari empat madzhab. Mereka sangat terkekang
dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan paham
yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai suatu
persoalan yang besar.
Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap
sebagai persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap sebagai
persoalan internasional, karena menyangkut kepentingan ummat Islam di seluruh
dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur menganggap penting untuk
membahas persoalan tersebut. Dipelopori oleh alm. KH. Abdul Wahab Hasbullah dan
almarhum hadlratus syaikh KH. Hasyim Asy’ari, diadakanlah pertemuan di langgar
H. Musa Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan tersebut dilahirkan satu organisasi
yang diberi nama Comite Hejaz, yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan
para tokoh muda.
Semula Comite Hejaz bermaksud akan mengirimkan utusan ke
tanah Hejaz untuk menghadap raja Ibnu Sa’ud. Akan tetapi oleh karena satu dan
lain hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya mengirimkan
telegram kepada raja Ibnu Sa’ud.
Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H,
hari Kamis, di lawang Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang disponsori
oleh Comite Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan
sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang diberi nama
“JAM’IYYAH NAHDLATUL ULAMA” dengan susunan pengurus HB (Hoof Bestuur) sebagai berikut:
Ra’is Akbar : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
Wakil Ra’is : KH. Said bin Shalih
Katib Awwal : KH. Abdul Wahab Hasbullah
Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz
Wakil Ra’is : KH. Said bin Shalih
Katib Awwal : KH. Abdul Wahab Hasbullah
Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz
Kehadiran Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ dimaksudkan sebagai
suatu organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari
segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan Islam di luar Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah di Indonesia pada khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya; dan
bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan Wahabi saja sebagaimana Comite
Hejaz. Disamping itu juga dimaksudkan sebaga organisasi yang mampu memberikan
reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda
kepada ummat Islam di Indonesia.
1926-1929
Setelah Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ lahir pada tanggal 31
Januari 1926 M, maka Comite Hejaz dibubarkan. Sedangkan semua tugas Comite
Hejaz yang belum dilaksanakan, dilimpahkan seluruhnya kepada Jam’iyyah NU.
Alhamdulillah, meskipun Jam’iyyah NU baru saja lahir, ternyata telah mampu
melaksanakan tugas-tugas yang berat; baik tugas yang dilimpahkan oleh Comite
Hejaz, maupun tugas yang diharapkan oleh ummat Islam kepadanya. Tugas-tugas
tersebut antara lain:
Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil
menyelenggarakan kongres Al Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh
organisasi Islam selain NU, seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya.
Diantara keputusan kongres tersebut adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu:
H.Umar Said Tjokroaminoto dari PSII dan KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, ke
Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan oleh raja Ibnu Saud (raja Saudi
Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam’iyyah NU juga mengirimkan utusan yang
khusus membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Ahmad
Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah kedua utusan ini berhasil dengan baik. Kedua
beliau ini pulang dengan membawa surat dari raja Sa’ud ke Indonesia tertanggal
28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928 M., nomor: 2082, yang isinya antara lain
menyatakan bahwa raja Ibnu Sa’ud menjanjikan akan membuat satu ketetapan yang
menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan Agama Islam menurut paham yang
dianutnya.
Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka
sejak lahir, Jam’iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara aktif terhadap
rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai:
1. Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya
mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Belanda dari
Eropa.
2. Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan
menggunakan ketentuan hukum di luar Islam.
3. Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara
Indonesia yang bermukim di luar negeri.
4. Dan lain-lainnya.
Walhasil, meskipun NU tidak pernah menyatakan sebagai
Partai Politik, namun yang ditangani adalah soal-soal politik.
1929-1942
Pada tanggal 5 September 1929 Jam’iyyah NU mengajukan
Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk Reglemen)
yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada tanggal 6
Februari 1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai
organisasi resmi dengan nama: “PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA” untuk jangka waktu
29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31 Januari 1926.
Hoofbestuur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama’ juga
berusaha membuat lambang NU dengan jalan meminta kepada para Kyai untuk
melakukan istikharah. Dan ternyata Almarhum KH. Ridlwan Abdullah, Bubutan
Surabaya berhasil. Dalam mimpi, beliau melihat gambar lambang itu secara
lengkap seperti lambang yang sekarang; tanpa mengetahui makna simbol-simbol
yang terdapat dalam lambang tersebut satu-persatu.
Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatul Ulama’ mendapat
sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar berhaluan salah
satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat, 4 sampai 5
bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang
antara lain:
o
Jam’iyyah Nahdlatul
Ulama’ dipimpin oleh para ulama’ yang menjadi guru dari para kyai yang tersebar
di seluruh Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
o
Kesadaran ummat Islam
Indonesia akan keperluan organisasi Islam sebagai tempat menyalurkan aspirasi
dan sebagai kekuatan sosial yang tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar.
Sebagai organisasi
sosial yang harus menangani semua kepentingan masyarakat, Nahdlatul Ulama’
memandang sangat perlu untuk membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi
muda yang sanggup melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU.
Untuk itu, pada tanggal 12 Februari 1938, atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim
selaku konsul Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang
menelorkan keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan
madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren.
Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu:
* Madrasah Umum, yang
terdiri dari:
o Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Mu’allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Mu’allimin ‘Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Mu’allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Mu’allimin ‘Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
* Madrasah Kejuruan (Ikhtishashiyyah), yang terdiri
dari:
o Madrasah Qudlat (Hukum).
o Madrasah Tijarah (Dagang).
o Madrasah Nijarah (Pertukangan).
o Madrasah Zira’ah (Pertanian).
o Madrasah Fuqara’ (untuk orang-orang fakir).
o Madrasah Khusus.
o Madrasah Tijarah (Dagang).
o Madrasah Nijarah (Pertukangan).
o Madrasah Zira’ah (Pertanian).
o Madrasah Fuqara’ (untuk orang-orang fakir).
o Madrasah Khusus.
Kelahiran Al Majlis Al
Islamiy Al A’la (MIAI)
Pada masa penjajahan Belanda, ummat Islam Indonesia
selalu mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah penjajah Belanda, disamping
penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh golongan di luar Islam kepada agama
Islam, Al Qur’an dan Nabi Besar Muhammad saw.. Untuk menghadapi hal tersebut,
maka Nahdlatul Ulama’ memandang perlu untuk mempersatukan seluruh potensi ummat
Islam di Indonesia.
Pada tahun 1937 Nahdlatul Ulama’ telah memelopori
persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia dengan membidani kelahiran dari Al
Majlis al Islamiy al A’la Indonesia (MIAI), dengan susunan dewan sebagai
berikut:
Ketua Dewan : KH. Abdul Wahid Hasyim, dari NU
Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno, dari PSII
Sekretaris (ketua) : H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah
Penulis : S.A. Bahresy, dari PAI
Bendahara :
Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno, dari PSII
Sekretaris (ketua) : H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah
Penulis : S.A. Bahresy, dari PAI
Bendahara :
1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad
2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah
3. Dr. Sukiman, dari PII
2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah
3. Dr. Sukiman, dari PII
Adapun tujuan
perjuangan yang akan dicapai oleh MIAI antara lain sebagai berikut:
o
Menggabungkan segala
perhimpunan ummat Islam Indonesia untuk bekerja bersama-sama.
o
Berusaha mengadakan
perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan ummat Islam Indonesia,
baik yang telah tergabung dalam MIAI maupun belum.
o
Merapatkan hubungan
antara ummat Islam Indonesia dengan ummat Islam di luar negeri.
o
Berdaya upaya untuk
keselamatan agama Islam dan ummatnya.
o
Membangun Konggres
Muslimin Indonesia (KMI) sesuai dengan pasal 1 Anggaran Dasar MIAI.
1942-1952 ; Kelahiran
Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI)
Pada masa penjajahan Jepang, MIAI masih diberi hak hidup
oleh Pemerintah Penjajah Jepang. Malah suara MIAI tetap diijinkan untuk terbit
selama isinya mengenai hal-hal berikut:
1. Menyadarkan rakyat atas keimanan yang sebenar-benarnya dan berusaha dengan
sekuat tenaga bagi kemakmuran bersama.
3. Khutbah-khutbah dan pidato-pidato keagamaan yang penting dari para ulama’
atau kyai yang terkenal.
4. Memberi keterangan kepada rakyat, bagaimana daya upaya Dai Nippon yang
sesungguhnya untuk membangunkan Asia Timur Raya.
5. Memperkenalkan kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-angsur.
Akan tetapi setelah Letnan Jendral Okazaki selaku
Gunseikan pada tanggal 7 Desember 1942 berpidato di hadapan para ulama’ dari
seluruh Indonesia yang dipanggil ke istana Gambir Jakarta, yang isinya antara
lain: Akan memberikan kedudukan yang baik kepada pemuda-pemuda yang telah
dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan dengan golongan lain asal saja
memiliki kecakapan yang cukup dengan jabatan yang akan dipegangnya, maka sekali
lagi Nahdlatul Ulama’ tampil ke depan untuk memelopori kalahiran dari Majlis
Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi yang dianggap mampu
membereskan segala macam persoalan kemasyarakatan; baik yang bersifat sosial
maupun yang bersifat politik, agar keinginan untuk menuju Indonesia Merdeka,
bebas dari segala macam penjajahan segera dapat dilaksanakan. Dan setelah
Masyumi lahir, maka MIAI pun dibubarkan.
Pembentukan laskar
rakyat
Pemerintah Penjajah Jepang memang mempunyai taktik yang
lain dengan Penjajah Belanda terhadap para ulama’ di Indonesia. Dari informasi
yang diberikan oleh para senior yang dikirim oleh pemerintah Jepang ke
Indonesia jauh sebelum masuk ke Indonesia (mereka menyamar sebagai pedagang
kelontong dan lain sebagainya yang keluar masuk kampung), penjajah Jepang telah
mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam serta menganut
paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, semuanya ta’at, patuh dan tunduk kepada komando
yang diberikan oleh para ulama’.
Oleh karena itu, penjajah Jepang ingin merangkul para
ulama’ untuk memukul bangsa Indonesia sendiri. Itulah sebabnya, maka dengan
berbagai macam dalih dan alasan, penjajah Jepang meminta kepada para ulama’
agar memerintahkan kepada para pemuda untuk memasuki dinas militer, seperti
Peta, Heiho dan lain sebagainya.
Sedang Nahdlatul Ulama’ sendiri mempunyai maksud lain,
yaitu bahwa untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan
kemerdekaan, mutlak diperlukan pemuda-pemuda yang terampil mempergunakan
senjata dan berperang. Untuk itu Nahdlatul Ulama’ berusaha memasukkan
pemuda-pemuda Ansor dalam dinas Peta dan Hisbullah. Sedangkan untuk kalangan
kaum tua, Nahdlatul Ulama’ tidak melupakan untuk membentuk Barisan Sabilillah
dengan KH. Masykur sebagai panglimanya; meskipun sebenarnya selama penjajahan
Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU selama penjajahan Jepang adalah
menggunakan wadah MIAI dan kemudian MASYUMI.
Masyumi menjelma
sebagai Partai Politik
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul
Ulama’ yang dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit kembali dan mengajak kepada
seluruh ummat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan tanah air yang
baru saja merdeka dari serangan kaum penjajah yang ingin merebut kembali dan
merampas kemerdekaan Indonesia.
Rais Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’,
Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, mengeluarkana fatwa bahwa mempertahankan
dan membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya.
Seruan dan ajakan NU serta fatwa dari Rais Akbar ini
mendapat tanggapan yang positif dari ummat Islam; dan bahkan berhasil menyentuh
hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga mereka tidak mau ketinggalan untuk
memberikan andil yang tidak kecil artinya dalam peristiwa 10 November ’45
Pengurus Besar NU hampir sebulan lamanya mencari jalan
keluar untuk menanggulangi bahaya yang mengancam dari fihak penjajah yang akan
menyengkeramkan kembali kuku-kuku penjajahannya di Indonesia.
Kelambanan NU dalam hal tersebut disebabkan karena pada
masa penjajahan Jepang NU hanya membatasi diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang
bersifat agamis,sedang hal-hal yang menyangkut perjuangan kemerdekaan atau
berkaitan dengan urusan pemerintahan selalu disalurkan dengan nama Masyumi.
Atas prakarsa Masyumi, di bawah pimpinan KH. Abdul Wahid
Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari organisasi-organisasi
Islam, mengadakan konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada
konggres tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi
dari Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ sebagai tulang punggungnya. Adapun susunan Dewan
Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap adalah sebagai berikut:
Majlis Syura (Dewan Partai)
Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
Ketua Muda I : Ki Bagus Hadikusuma
Ketua Muda II : KH. Abdul Wahid Hasyim
Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo
Anggota : 1. RHM. Adnan.
2. H. Agus Salim.
3. KH. Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH. Abdul Halim.
5. KH. Sanusi.
6. Syekh Jamil Jambek
Pengurus Besar
Ketua : Dr. Sukirman
Ketua Muda I : Abi Kusno Tjokrosuyono
Ketua Muda II : Wali Al Fatah
Sekretaris I : Harsono Tjokreoaminoto
Sekretaris II : Prawoto Mangkusasmito
Bendahara : Mr. R.A. Kasmat
Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
Ketua Muda I : Ki Bagus Hadikusuma
Ketua Muda II : KH. Abdul Wahid Hasyim
Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo
Anggota : 1. RHM. Adnan.
2. H. Agus Salim.
3. KH. Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH. Abdul Halim.
5. KH. Sanusi.
6. Syekh Jamil Jambek
Pengurus Besar
Ketua : Dr. Sukirman
Ketua Muda I : Abi Kusno Tjokrosuyono
Ketua Muda II : Wali Al Fatah
Sekretaris I : Harsono Tjokreoaminoto
Sekretaris II : Prawoto Mangkusasmito
Bendahara : Mr. R.A. Kasmat
Nahdlatul Ulama
Memisahkan Diri Dari Masyumi
Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai Masyumi
benar-benar di luar keinginan Nahdlatul Ulama’. Sebab Nahdlatul Ulama’ selalu
menyadari betapa pentingnya arti persatuan ummat Islam untuk mencapai
cita-citanya. Itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama’ yang dimotori
oleh KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan MIAI, MASYUMI, dan
akhirnya mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan Nahdlatul Ulama’ adalah
modal pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama’ pada
konggresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai
menjadi anggauta Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor
Nahdlatul Ulama’ juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam GPII
(Gabungan Pemuda Islam Indonesia).
Akan tetapi apa yang hendak dikata, beberapa oknum dalam Partai
Masyumi berusaha dengan sekuat tenaga untuk menendang NU keluar dari Masyumi.
Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam
Masyumi sangat menyulitkan gerak langkah mereka dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang bersifat politis. Apalagi segala sesuatu persoalan
harus diketahui / disetujui oleh Majlis Syura, mereka rasakan sangat menghambat
kecepatan untuk bertindak. Dan mereka tidak mempunyai kebebasan untuk
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Akhirnya ketegangan
hubungan antara ulama’/kyai dengan golongan intelek yang dianggap sebagai para
petualang yang berkedok agama semakin parah. Karena keadaan semacam itu, maka
para pemimpin PSII sudah tidak dapat menahan diri lagi. Mereka mengundurkan diri
dari Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya; sampai kemudian PSII menjadi
partai.
Pengunduran diri PSII tersebut oleh pemimpin-pemimpin
Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar Partai Masyumi ke-IV di
Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 – 19 Desember 1949, telah
diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Majlis Syura
yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi Penasihat yang tidak
mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus dilaksanakan.
Sikap Masyumi yang telah merendahkan derajat para ulama’
tersebut dapat ditolelir oleh warga Nahdlatul Ulama’. Namun PBNU masih berusaha
keras untuk memperhatikan persatuan ummat Islam. Nahdlatul Ulama’ meminta
kepada pimpinan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini dikembalikan menjadi
Federasi Organisasi-Organisasi Islam, sehingga tidak menyampuri urusan rumah
tangga dari masing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya. Namun
permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa Nahdlatul Ulama’ untuk mengambil
keputusan pada muktamar NU di Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk
keluar dari Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai.
Nahdlatul Ulama’ membentuk Liga Muslimin
Nahdlatul Ulama’ membentuk Liga Muslimin
Setelah Nahdlatul Ulama’ keluar dari Masyumi, Jam’iyyah
NU yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung pada persatuan
ummat Islam Indonesia. Untuk itu Nahdlatul Ulama’ mengadakan kontak dengan PSII
dan PERTI membentuk sebuah badan yang berbentuk federasi dengan tujuan untuk
membentuk masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum-hukum Allah dan sunnah
Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat tanggapan yang positif dari PSII dan
PERTI, sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952 diakan pertemuan yang mengambil
tempat di gedung Parlemen RI di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang
anggautanya terdiri dari Nahdlatul Ulama’, PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal
Irsyad.
Dekade 1965
Selama Nahdlatul Ulama’ menjadi Partai Islam, dalam gerak
langkah nya mengalami pasang naik dan juga ada surutnya. Saat kabut hitam melingkupi
awan putih wilayah nusantara pada tanggal 30 September 1965, kepeloporan
Nahdlatul Ulama’ muncul dan mampu mengimbangi kekuatan anti Tuhan yang
menamakan dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap Nahdlatul Ulama’ pada
saat itu betul-betul sempat membuat kejutan pada organisasi-organisasi selain
NU.
Keberhasilan Nahdlatul Ulama’ dalam menumbangkan PKI
dapat diakui oleh semua fihak. Dan hal ini menambah kepercayaan Pemerintah
terhadap Nahdlatul Ulama’. Nahdlatul Ulama’ sebagai Partai Politik sudah membuat
kagum dan dikenal serta disegani oleh setiap orang di kawasan Indonesia, bahkan
oleh dunia internasional. Apalagi mampu menumbangkan dan menumpas pemberontakan
Partai Komunis yang belum pernah dapat ditumpas oleh negara yang manapun di
seluruh dunia. Sehingga dengan demikian, Nahdlatul Ulama’ dihadapkan kepada
permasalahan-permasalahan yang sangat komplek dengan berbagai tetek-bengeknya.
Namun Nahdlatul Ulama’ sendiri dalam hal rencana perjuangannya yang terperinci,
mengalami pembauran kepentingan partai dengan kepentingan pribadi dari para
pimpinannya. Oleh sebab itu, pada sekitar tahun 1967, Nahdlatul Ulama’ yang
sudah berada di puncak mulai menurun. Hal ini disebabkan antara lain oleh
pergeseran tata-nilai, munculnya tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi penerus
dan lain sebagainya.
Pergeseran tata-nilai ini terjadi di saat Nahdlatul
Ulama’ menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955. Nahdlatul Ulama’ harus mempunyai
anggauta secara realita, terdaftar dan bertanda anggauta secara pasti. Demi
pengumpulan suara, maka apa-apa yang menjadi tujuan Nahdlatul Ulama’, kini
dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul Ulama’ membutuhkan anggauta
sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut aliran Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah yang membuat kabur antara tujuan,
alat dan sarana. Sebagai Partai Politik yang militan, Nahdaltul Ulama’ harus
berusaha agar dapat merebut kursi Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak mungkin;
demikian pula halnya jabatan-jabatan sebagai menteri. Hal itu dimaksudkan sebagai
alat untuk dapat melaksanakan program dalam mencapai tujuan partai. Akan tetapi
karena pengaruh lingkungan dan juga karena pergeseran nilai, maka
jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan sebagai alat yang harus dicapai dan
dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan. Dan hal ini sangat berpengaruh bagi
kemajuan dan kemunduran partai dalam mencapai tujuan.
Pada sekitar tahun 1967/1968, Nahdlatul Ulama’ mencapai
puncak keberhasilan. Akan tetapi sayang sekali, justeru pada saat itu ciri khas
Nahdlatul Ulama telah menjadi kabur. Pondok Pesantren yang semula menjadi
benteng terakhir Nahdlatul Ulama’ sudah mulai terkena erosi, sebagai akibat
perhatian Nahdlatul Ulama’ yang terlalu dicurahkan dalam masalah-masalah
politik.
Penyederhanaan
Partai-Partai
Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatul Ulama’ keluar sebagai
pemenang nomor dua. Hal tersebut membawa anggapan baru bagi masyarakat umum
bahwa sebenarnya kepengurusan Nahdlatul Ulama’ adalah sebagai hal yang luar
biasa; sementara di pihak lain terdapat dua partai yang tidak mendapatkan kursi
sama sekali, yaitu Partai MURBA dan IPKI, yang berarti aspirasi politiknya
terwakili oleh kelompok lain. Dari sinilah timbul gagasan untuk menyederhanakan
partai-partai politik.
Kehendak menyederhanakan partai-partai politik tersebut,
datangnya memang bukan dari Nahdlatul Ulama’. Akan tetapi Nahdlatul Ulama’
menyambut dengan gembira. Dan dalam penyederhanaan tersebut Nahdlatul Ulama’
tidak membentuk federasi, akan tetapi melakukan fusi. Namun demikian, ganjalan
pun terjadi, karena memang masing-masing pihak yang berfusi mempunyai
tata-nilai sendiri-sendiri.
Bagaimanakah
kenyataannya?
Kehidupan politik yang ditentukan oleh golongan elit
telah menyeret para pemimpin dan tokoh-tokoh Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ ke
dalam kehidupan elit. Padahal kehidupan elit semacam ini tidak terdapat dalam
tubuh Nahdlatul Ulama’. Sehingga kehidupan elit ini sebagai barang baru yang
berkembang biak dan hidup subur di kalangan Nahdlatul Ulama’. Maka timbullah
pola pemikiran baru yang mengarah kepada kehidupan individualis, agar tidak
tergeser dari rel yang menuju kepada kehidupan elit. Dari fusi inilah
rupa-rupanya yang membuat parah kondisi yang asli dari Jam’iyyah Nahdlatul
Ulama’ sejak mula pertama didirikan sebagai jam’iyyah.
Nahdlatul Ulama’
Kembali Kepada Khittah An Nahdliyah
Selama Nahdlatul Ulama’ berfusi dalam tubuh Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), tata-nilai semakin berjurang lebar; sementara
dalam tubuh Nahdlatul Ulama’ sendiri terdapat banyak ketimpangan dan
kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu yang lama, secara tidak disadari, Nahdlatul
Ulama’ telah menjadi kurang peka dalam menanggapi dan mengantisipasi
perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkuat kepentingan ummat dan bangsa.
Salah satu sebabnya adalah ketelibatan Nahdlatul Ulama’ secara berlebihan dalam
kegiatan politik praktis; yang pada gilirannya telah menjadikan Nahdlatul
Ulama’ tidak lagi berjalan sesuai dengan maksud kelahirannya, sebagai jam’iyyah
yang ingin berkhidmat secara nyata kepada agama, bangsa dan negara. Bahkan hal
tersebut telah mengaburkan hakekat Nahdlatul Ulama’ sebagai gerakan yang
dilakukan oleh para ulama’. Tidak hanya sekedar itu saja yang sangat
menyulitkan Nahdlatul Ulama’ dalam kancah politik selama berfusi dalam PPP;
akan tetapi silang pendapat di kalangan NU sendiri semakin tajam, sehingga
sempat bermunculan berbagai hepothesa tentang bagaimana dan siapa sebenarnya
Nahdlatul Ulama’.
Dari kejadian demi kejadian dan bertolak dari keadaan
tersebut, maka sangat dirasakan agar Nahdlatul Ulama’ secepatnya mengembalikan
citranya yang sesuai dengan khittah Nahdlatul Ulama’ tahun 1926. Hal ini
berarti bahwa Nahdlatul Ulama’ harus melepaskan diri dari kegiatan politik
praktis secara formal, seperti yang telah diputuskan dalam Musyawarah Alim
Ulama’ Nahdlatul Ulama’ (Munas NU) di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah
Sukorejo Situbondo Jawa Timur tahun 1982.
KESIMPULAN
Latar
belakang pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhi pembaruan yang
bersumber dari ide-ide yang muncul dari luar yang dibawa oleh para tokoh atau
ulama yang pulang ke tanah air dari luar negeri (misalnya Makkah, Madinah,
Kairo, dan lain-lain). Dan faktor dari dalam negeri banyak memperngaruhi
pembaruan pendidikan di Indonesia. Kondisi tanah air pada awal abad ke-20
adalah sedang dikuasai oleh Barat.
Dimana
umat Islam Indonesia mengalamai beberapa perubahan dalam bentuk
kebangkitan, agama, perubahan dan pencerahan. Di antara motivasinya adalah
dorongan untuk mengusir penjajah. Perlawanan terhadap kolonialisme menjadi
motivasi bagi umat Islam mengadakan pembaruan. Gerakan pembaruan tidak
akan berjalan dengan baik tanpa adanya perubahan di bidang pendidikan,
Disamping
itu gerakan pembaruan pemikiran di dunia Islam terjadi secara besar-besaran
dengan munculnya tokoh-tokoh Muslim ataupun organisasi terkemuka di berbagai
negara, seperti Mesir, Iran, Pakistan (India), dan Indonesia. Pembaruan
pendidikan Islam di Indonesia dimulai dengan munculnya Sekolah Adabiyah.
Madrasah ini didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 di Padang, Sumatera
Barat. Sekolah adabiyah adalah sekolah (agama) yang pertama memakai sistem
klasikal, berbeda dengan pendidikan di surau-surau yang tidak berkelas-kelas,
tidak memakai bangku, meja, papan tulis, hanya duduk bersila saja, Materi
pelajarannya sebelum masuk ide-ide pambaruan merupakan mata pelajaran agama
saja dan berpedoman kepada kitab-kitab klasik, menjadi berimbang antara
ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.
Setelah masa kemerdekaan bukan
berarti masalah dakwah berhenti. Tantangan justru semakin banyak dan kompleks.
Oleh sebab itu, walaupun sudah ada ormas-ormas yang lebih lama,
organisasi-organisasi dakwah baru terus bermunculan. Ada yang lokal khas
Indonesia, ada pula yang berjejaring internasional. Ternyata semuanya memiliki
perhatian (concern)
yang berbeda-beda sehingga satu sama lain cenderung saling melengkapi daripada
saling menegasikan.
Di lapangan memang kadang-kadang
terjadi mis-komunikasi antar aktivis dakwah sehingga memicu konflik.
Sekali-kali konflik yang terjadi berujung pada bentrokan fisik. Akan tetapi,
kalau dikaji secara mendalam ternyata semuanya berakar dari komunikasi yang
tidak terjalin dengan baik sehingga muncul zhan dan syak wasangka yang tidak
berdasar. Ketika semua dikembalikan kepada prinsip dasar akidah yang sama
sesungguhnya di antara ormas-ormas ini sama sumber berangkatnya. Memang ada
perkara yang diikhtilafkan dan sering menjadi biang konflik. Akan tetapi,
melalui komunikasi yang baik dan mutual
understanding untuk
memahami argument masing-masing umumnya ikhtilaf itu bisa dipahami dengan baik
dan tidak menimbulkan konflik berkepanjangan. Wallâhu
A’lam.
Komentar
Posting Komentar